1% Kesenian 1% Literasi: Ayo Kontrak Politik

Oleh: Marlin Dinamikanto

ADAKAH calon kepala daerah yang berkomitmen 1% APBD untuk anggaran kesenian? Ditambah 1% untuk Literasi?

Zaman Pudjangga Baroe di bawah pemerintahan kolonial saja mampu menerbitkan sastra-sastra bermutu kok sekarang sastrawannya mbayar dhewe. Itu tidak logis. Kebangkitan gerakan intelektual (seni dan literasi) mungkin bisa dimulai dari daerah – bersamaan momentum Pilkada Serentak pada tahun 2024 atau 2025 nanti (belum diputuskan jadwalnya oleh pemerintah dan DPR).

Dengan absennya gerakan intelektual berbasis masyarakat, pantas saja kalau Hoak segera memukau ruang publik. Pantas saja kalau dagelan slapstik mendominasi layar televisi. Karena memang tidak ada apresiasi seni yang memadahi sejak dini. Rasa keindahan – estetik, dibiarkan hilang dari peradaban. Digantikan hal-hal yang konyol dan banal. Bagaimana dengan 10 hingga 20 tahun nanti?

Bagusnya masyarakat kesenian sudah terbiasa mandiri. Tidak menggantungkan hidup dari negara. Meskipun jalan ngesot dan terseok-seok, kesenian yang tidak vulgar dan banal tetap hidup berserak di jantung masyarakat – dari Sabang sampai Merauke. Membuat bangsa ini tidak serta merta kehilangan imajinasi untuk masa depan yang lebih baik. Tetap optimis meskipun sudah puluhan tahun dunia kesenian hanya dianggap sebelah mata oleh siapa pun pemerintahan yang berkuasa.

Artinya, masyarakat lebih sadar tentang pentingnya character building, membangun kebudayaan sehingga Indonesia tetap dianggap sebagai bangsa yang beradab – kendati perlahan dan pasti tidak bisa dipungkiri terkikis dan tergerus menjadi sekedar hiburan yang tidak ada urusannya dengan pendidikan karakter atau kecerdasan suatu bangsa. Niscaya pula jati diri kita sebagai bangsa yang memiliki peradaban adiluhung hanya akan menjadi cerita masa lalu.Itu tidak boleh dibiarkan.

Negara – tentunya – harus tetap hadir mengurus kebudayaan – termasuk kesenian dan literasi di dalamnya. China, Uni Eropa, India, Inggris, AS, Australia dan lainnya bisa menjadi bangsa besar karena memiliki tradisi literasi yang gemilang. Literasi tidak pernah diserahkan penuh kepada pasar. Melainkan menjadi hal yang pokok diurus oleh negara – tanpa ada keinginan intervensi atau proyek buku tipu-tipu tentunya. Pekerja seni, penulis berbagai bidang dan sastrawan berdaulat penuh atas gagasan dan karyanya. Hak-hak kekayaan intelektual dihargai dan dijaga. Itulah tugas negara.

Cekaknya anggaran tidak boleh menjadi apologi untuk mengucilkan kesenian dan literasi. Karena seni dan literasi adalah investasi jangka panjang untuk meningkatkan harkat dan martabat kemanusiaan. Ketangguhan suatu bangsa sangat ditentukan oleh pendidikan hari ini untuk menumbuhkembangkan manusia-manusia Indonesia yang kreatif dan imajinatif. Enterpreneurship dengan sendirinya akan terbangun di lingkungan manusia Indonesia yang cerdas dan berbudaya.

Untuk itu, kawan-kawan pekerja seni, penulis apapun bidang yang anda geluti, sastrawan dan lainnya, mari kita mulai melakukan kontrak politik kepada pihak-pihak yang ingin memperpanjang atau mengganti kekuasaan. Paling tidak, itulah komitmen yang bisa didesakkan di tahun politik – sehingga bukan hanya terpukau kepada figur melainkan juga komitmennya dalam membangun kebudayaan bangsa ini ke depan.

Zaman Belanda saja ada Poedjangga Baroe masak sekarang Balai Pustaka yang mestinya menjadi trigger kebangkitan literasi dibiarkan melik-melik seperti senthir tukang pecel di pinggir lapangan setiap ada wayangan. Jangan sampai pula muncul kesan, Belanda lebih perhatian dalam membangun sastra dan kebudayaan. Bukan begitu?[]

*) Penulis adalah seniman

marlin dinamikantosastrawanseniman