Aku Dijual Orangtuaku Sejak Lahir: Keluarga Bohongan #2

Benar dugaanku selama ini. Tak terbayangkan sebelumnya kalau aku bukan anak kandung mereka. Mengapa ayah dan ibu tidak bilang dari dulu? Mengapa baru sekarang? Ternyata mereka adalah keluarga bohongan

REKAYOREK.ID Keesokannya Dinda diboyong orangtuanya ke Surabaya. Pertama kali melihat Surabaya, Dinda kaget. Sebab Surabaya beda dengan Bogor. Di sini (Surabaya), selain ramai, hawanya juga sangat panas.

Dinda tinggal di kawasan Pucang. Rumah cukup besar namun tidak mewah. Berpagar putih dan memiliki taman yang hanya sepetak.
“Rumah yang indah!” kenang Dinda.

Dinda kemudian diperkenalkan dengan saudara-saudaranya. Dua anak laki-laki, sepantaran dia datang. Yang satu gemuk dengan rambut ikal, dan yang satu kurus, berkulit putih dengan membawa handphone di tangannya.

“Hai, Dinda. Cantik sekali kamu!” sahut anak laki-laki berbadan gemuk.

“Dinda, ini Rama dan yang ini Ivan,” ayah Dinda memperkenalkan.

Di Surabaya Dinda disekolahkan di sekolah daerah Manyar Sambongan. Dengan mengenakan jilbab Dinda kerap diantar ayahnya sekolah.

Hari pun berganti. Tak terasa usia Dinda sudah 13 tahun. Kue ulang tahun disajikan di meja. Itulah acara ulang tahun pertama Dinda. Sebelumnya Dinda tak pernah merayakan hari ulang tahunnya. Kebahagiaan Dinda semakin lengkap manakala kedatangan sang nenek dari Bogor.

“Sungguh aku menyangka nenek akan datang pada ulang tahunku. Kulihat pada hari itu wajah nenek tampak sangat cantik. Tapi rupanya itu adalah malam terakhir kami berpesta. Sebab esoknya, nenek meninggal dunia setelah terpeleset di kamar mandi. Tak kubayangkan sebelumnya, orang yang selama ini merawatku sejak kecil telah dipanggil oleh Tuhan. Wajahnya yang cantik terlihat pucat dengan balutan kain kafan. Air mataku tak tertahankan sewaktu melihat wajah nenek,” perlahan air mata Dinda mulai meleleh.

Perempuan ini tampak begitu rapuh tiap kali membicarakan neneknya. Sedari tadi Dinda berusaha untuk menutupi kegelisahan.

Saat itu Dinda mengantarkan neneknya ke tempat peristirahatan terakhir. Hanya ada pohon-pohon besar dan batu batu nisan tertata rapi disana. Terdengar suara isak tangis dari ibunya.

“Selamat tinggal, Nek!” ucap Dinda.

Sepeninggal nenek, hidup berjalan normal. Dinda lulus SMP dengan nilai memuaskan. Tapi ada satu keganjalan sewaktu Dinda melihat raport sekolahnya.

“Di situ aku melihat nama ayahku tidak sama dengan nama ayahku yang selama ini membesarkanku. Yang seharusnya Farhan, di raport ditulis Imam Saputro?”

Dinda pun memberanikan diri bertanya ibunya.

“Ibu, nama ayah kok ditulis begini?” tanya Dinda.

Kontan, ibu Dinda kaget mendengar pertanyaan tersebut. Buru-buru mereka menjawabnya,

“Mungkin gurumu salah tulis, Sayang,” jawab ibu Dinda dengan wajah pucat.

“Iya, pasti salah tulis,” sang ayah buru-buru mengamini.

Sejak itu Dinda menjadi seorang pendiam. Pikirannya kian tidak menentu. Hingga suatu hari sepulang sekolah. Setiba di rumah Dinda melihat mobil orang tuanya terparkir di teras rumah.

“Mereka sudah pulang rupanya,” Dinda membatin.

Dinda pun masuk ke kamar untuk ganti baju. Karena kamarnya bersebelahan dengan kamar orang tuanya, secara tidak sengaja ia mendengar dua orang sedang berbicara.

“Gak bisa, Pa. Kita harus ngasih tahu Dinda soal ini. Dia harus tahu, Pa,” kata suara itu, tak lain ibunya.

Karena penasaran Dinda memberanikan mengintip dari celah pintu.

“Jangan, Ma. Pasti dia down kalau tahu dia bukan anak kandung kita!” sahut ayahnya.

Dinda kaget mendengar hal itu.

“Mendengar itu aku sontak kaget. Benar dugaanku selama ini. Tak terbayangkan sebelumnya kalau aku bukan anak kandung mereka. Mengapa ayah dan ibu tidak bilang dari dulu? Mengapa baru sekarang? Ternyata mereka adalah keluarga bohongan,” kata Dinda.

“Esoknya aku menanyakan hal itu ke mereka. Sengaja aku tidak masuk sekolah. Sebab pikiranku tidak karuan.

“Apa jawaban mereka?”

“Aku tanya ke mereka, apa benar aku ini bukan anak kandung kalian? Mendengar ituu mereka kebingungan,” kata Dinda.

Wajah Dinda memandang ke arah langit. Kembali rokoknya dihisap dalam-salam. Kembali pula dari mulutnya mengalir sebuah cerita.

Saat itu ibu Dinda bertanya, “Din, tahu dari mana kamu soal itu?” tanya sang ibu terbata-bata.

“Semalam aku mendengar ayah dan ibu bicara soal itu. Apa bener?” jawab Dinda.

Tak berkutik dengan pertanyaan itu, mereka lantas berkata jujur.

“Ya, benar. Kamu bukan anak kandung kami,” jawab ibu Dinda.[bersambung]

Komentar (0)
Tambah Komentar