REKAYOREK.ID Anak anak muda Surabaya menyongsong tahun emas, 2045. Siapapun mereka, tanpa terkecuali, harus paham diri dan jati diri bangsa di tengah percaturan global. Siapa kuat akan terlihat. Siapa lemah akan tergilas.
Indonesia adalah bangsa besar. Tentunya harus kuat. Literasi aksara adalah kekuatan sebagai penyambung lidah (berbagi ilmu dan pengetahuan) dan pengecap rasa (pencari wawasan).
Literasi membuka cakrawala. Literasi peneguh jatidiri bangsa. Utamanya literasi (aksara) yang beragam wujudnya. Ada aksara Jawa, Bali, Sunda, Lampung dan Batak misalnya. Itulah Indonesia.
Anak muda Surabaya dalam rangka memperingati Hari Aksara Internasional (sedunia), tengah mempersiapkan diri untuk berbagi informasi melalui sebuah ꦏꦺꦴꦭꦧꦺꦴꦫꦱꦶ kolaborasi apik antara komunitas aksara Jawa Surabaya Puri Aksara Rajapatni (PAR), Surabaya Next Leader (SNL), Wartawan Pokja Taman Surya (POTAS), Paguyuban Cak-Ning Surabaya, Karang Taruna (KARTAR) Surabaya dan LUdrukan Nom Noman Tjap Arek Surabaya (LUNTAS).
Dalam rapat koordinasi lengkap pertama pada Rabu, 28 Agustus 2024, peringatan berskala global dengan praktik lokal ini (think globally, act locally) akan menyampaikan pesan pesan luhur di balik aksara yang akan dikemas melalui seni ludruk Surabaya. Temanya mengangkat hubungan antara pimpinan dan rakyat sebagaimana tertuang dalam sebuah legenda Aji Saka.
Seperti apa legenda Aji Saka dan kisahnya terkait dengan Aksara Jawa? Bagaimana pula evolusi Aksara Kawi, Aksara Jawa Kuna dan Jawa Baru. Berikut catatan dari pegiat dan pengamat Aksara Jawa, Bayu Nerviadi, yang bisa kita simak untuk lebih mengenal Aksara Nusantara ini.
Siapa gerangan yang melahirkan Legenda Ajisaka?
Dalam beberapa kisah, aksara Jawa Baru (Carakan) tercipta dari Legenda Aji Saka. Aksara Jawa, yang tersusun dari ha-na-ca-ra-ka (dengan 20 huruf konsonan), mengubah pula wajah bahasa dari bahasa Jawa Kuno menjadi bahasa Jawa Baru.
Cukup dengan Carakan 20, semua kosa kata bahasa Jawa Baru bisa dituliskan. Kosa kata bahasa Jawa Kuno, yang mengandung Mahaprana, secara perlahan-lahan disulap menjadi Alpaprana.
Kerumitan perbedaan bunyi [s] dipangkas menjadi hanya satu [s] saja. Bunyi vokal panjang pun dikerdilkan menjadi vokal pendek, namun tak mengubah pesona dari kata itu sendiri.
Bahkan satu dua bunyi vokal diftong bahasa Jawa Kuno, yang seakan-akan menurun dari bahasa Sansekerta pun disirnakan dan membuat aksara serta sandangan vokal menjadi lebih sederhana.
Legenda Aji Saka ini adalah legenda, yang merevolusi aksara Jawa atau yang mencipta bahasa Jawa Baru?
Pertanyaan kedua, mana yang lebih dahulu muncul? Aksara Carakan 20 dulu atau evolusi kosa kata bahasa dahulu? Bukankah jati diri bangsa tersingkap melalui bahasa yang terpahat melalui aksara?
Apakah kisah Aji Saka hanya sekedar kisah, ataukah ada makna lain di baliknya? Mungkin kita tidak akan pernah tahu pasti, karena legenda ini sudah muncul sejak abad 16 atau 17, ketika sejarah aksara Jawa Baru (Carakan) tersusun.
Siapakah sebenarnya tokoh dibalik Aji Saka? Ia diceritakan datang ke pulau Jawa pada abad pertama masehi, tahun 78 M, dan membawa peradaban baru bagi bangsa ini.
Peradaban baru? Ataukah hanya wajah baru dari aksara dan bahasa?
Siapa yang bisa menyalahkan, banyak orang Jawa yang tak mampu memahami dan tersesat dalam labirin kosa kata dan kalimat yang tersusun dari bahasa Jawa Kuno?
Aksara Kawi adalah rimba belantara yang mengandung 33 aksara Wyanjana lengkap dengan aksara Alpaprana, Mahaprana, Anuswara, dll, 16 aksara suara dan sandhangan vokal pendek dan panjang. Ini adalah syarat mutlak jika ingin menulis dalam bahasa Jawa Kuno.
Untuk menulis bahasa Jawa Baru, induk aksara Kawi dipangkas, dimodifikasi dan dipotong-potong sedemikian rupa, sehingga beberapa aksara tak digunakan lagi.
Sejak itu terjadilah pergeseran fungsi aksara dan perombakan bentuk pasangan aksara Jawa yang pola perubahan ini tak terjadi di aksara Bali.
Siapakah maestro sastra Jawa pertama yang melakukannya, sehingga mampu mengubah sejarah dan wajah aksara Jawa?
Pertanyaan besar ini sejatinya membutuhkan jawaban yang akurat agar kegelisahan para pegiat aksara Jawa bertata tulis Kawi bisa reda setelah menemukan alasannya.
Hanya saja, jawaban ini tidak mudah dan nampaknya belum akan segera tiba saat ini karena ada benang merah yang terputus dalam evolusi bentuk aksara Kawi ke aksara Jawa.
Perlukah mendefinisikan ulang wujud aksara Jawa yang digunakan untuk mengukir bahasa Jawa Baru?
Pertanyaan retoris ini tak pula butuh jawaban, karena pergolakan aksara Jawa tak akan menjadi sebuah dalih untuk bisa melestarikan aksara Jawa. Yang terjadi malah sebaliknya, karena jika masalah internal ini tak kunjung usai, maka yang tampak di permukaan adalah “kesulitan beraksara Jawa”.
Para pelajar dan pembelajar aksara Jawa bisa kebingungan, bahkan bisa memilih untuk mundur saja. Siapakah yang akan rugi dan merana? Tak lain dan tak bukan, dia adalah: AKSARA JAWA. Lestari Budayaku.@Bayu Nerviadi/PAR/nng