REKAYOREK.ID Suara tangisan tiba-tiba pecah di dalam ruang sidang Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Suara tangisan itu keluar dari mulut Dian Seicillia yang merupakan istri dari terdakwa Irwan Tanaya.
Dian Seicillia menangis karena tidak sanggup mendengar tuntutan yang dibacakan jaksa penuntut umum (JPU) I Gede Willy Pramana terhadap suaminyi Irwan Tanaya. Jaksa pengganti itu menuntut terdakwa Irwan dan Benny Soewanda dengan penjara 54 bulan.
Dalam tuntutannya, ada dua pertimbangan yang menjadi tolok ukur JPU. Pertama, pertimbangan yang memberatkan, kedua terdakwa itu berbelit-belit dalam memberikan keterangan. Kedua, perbuatan terdakwa berpotensi menghilangkan gaji pelapor Richard Sutanto sebesar Rp 58 juta.
Richard juga mengaku kehilangan dua merk dari pihak ketiga (padahal hal itu tidak bisa dibuktikan). Terakhir perbuatan para terdakwa itu meresahkan masyarakat.
Sementara pertimbangan yang meringankan adalah kedua terdakwa belum pernah dihukum dan mereka merupakan tulang punggung keluarga.
Para terdakwa itu terjerat pasal 266 ayat (1) Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Usai persidangan, keluarga Irwan yang hadir dalam persidangan itu merasa tuntutan itu terlalu berat. Sebab, mereka merasa Irwan tidak pernah melakukan tindak pidana yang dituduhkan itu.
“Pak Jokowi tolong pak. Anak saya dijerumuskan ke sel. Padahal, anak saya tidak salah. Kami butuh keadilan pak presiden. Tolong bantu kami agar hukum di Indonesia ditegakkan seadil-adilnya,” kata ibu terdakwa Irwan, Swee saat ditemui usai persidangan di PN Surabaya, Rabu (19/1).
Di waktu yang sama, juru bicara tim penasihat hukum terdakwa, Drs Bima Putera Limahardja,SH merasa kalau ada kejanggalan dalam tuntutan itu. Sebab, ada pertimbangan jaksa yang tidak ada dalam dakwaan. Yakni, pelapor yang merasa dirugikan karena gaji sebesar Rp 58 juta hilang.
Pertimbangan itu tidak pernah sama sekali tertuang dalam dakwaan sebagai obyek perkara. Di dakwaan hanya tertuang kalau Richard Sutanto mengalami kerugian sebesar 200 lembar saham. Total kerugian yang dialami saksi pelapor itu sebesar Rp 200 juta.
Parahnya lagi, di persidangan awal, Richard sendiri tidak mengakui isi dakwaan JPU. “Pelapor tidak mengetahui isi dakwaan. Ia malah menyalahkan dakwaan jaksa. Kalau saksi korban atau pelapor saja sudah membantah, terus persidangan ini jalan atas dasar apa? Apalagi sampai tuntutan,” tegasnya.
Juga saksi penting yakni notaris Adhi Nugroho tidak dihadirkan dalam persidangan. Padahal, berkaitan pemberian keterangan palsu sesuai dalam pasal 266.
“Kenapa notaris yg menerbitkan akte tidak dihadirkan dalam pemeriksaan ataupun dalam persidangan. anehnya lagi, kenapa kasus ini dinyatakan lengkap di kejaksaan,’ ucapnya.
Lalu, kalau Richard mengaku ada kerugian, fakta yang ditemukan selama persidangan, saham yang dituduhkan tadi tetap ada. Selain itu, ahli juga mengatakan kalau RUPS luar biasa itu dilakukan sudah sesuai dengan SOP. “Ahli juga menegaskan kalau kasus ini harus ada keterangan notaris,” bebernya.
Karena itu, Bima menegaskan kalau tuntutan jaksa itu tidak sesuai dengan fakta persidangan. Karena itu, tim penasihat hukum terdakwa itu akan melaporkan kondisi yang mereka alami itu ke presiden RI dan ke Kejaksaan Agung.
“Hukum jangan tajam ke bawah dan tumpul ke atas dong,” tegasnya.
Sementara itu, dikonfirmasi terpisah, JPU Sulfikar mengatakan kalau pertimbangan memberatkan itu dituliskan berdasarkan fakta persidangan.
“Tidak ada melihat ke sisi lainnya. Pertimbangan itu sesuai dari fakta persidangan saja,” ucapnya.@ali