Oleh: A. Zaenuri
BASUKI Rachmat lahir di Banjarmasin, 24 April 1937. Kedua orang tuanya asli Jawa, masa kanak-kanaknya di Ngawi, dan penguasaan bahasa jawanya mumpuni. Bekerja di majalah berbahasa jawa Jaya Baya memegang rubrik ‘Wawasan Luar Negeri’ dan ‘Komentar Redaksi’.
Pada saat itu di era 70-an juga membuat program acara “Apresiasi Sastra Jawa” di TVRI Surabaya, yang ternyata banyak disukai oleh pemirsa televisi lokal ini. Sebagai wartawan telah mengantarkan Basuki Rachmat memiliki banyak relasi nara sumber, termasuk konsulat-konsulat luar negeri yang ada di kota Surabaya. Hal ini pula yang mengantarnya diundang kebeberapa negara besar berkaitan dengan penguasaan dan perhatiannya terhadap kebudayaan khususnya budaya jawa.
Semua tamu dari negara lain yang berhubungan dengan Basuki Rachmat selalu menggunakan bahasa Jawa yang kromo inggil (bahasa Jawa halus). Pantas saja kalau saat itu Komandan Korem 084 Bhaskara Jaya, Blegoh Sumarto mengomentari Basuki Rachmat yang berkaitan dengan budaya Jawa.
“Gak koyok Basuki Rachmat, Londo barang didadekno Jowo (Tidak seperti Basuki Rachmat, orang Belanda dijadikan Jawa).”
Ini menunjukan rasa hormat pak Blegoh pada Basuki Rachmat yang tidak saja menjunjung tetapi juga kecintaannya pada budaya Jawa di mata orang asing.
Visi kewartawanannya memang luar biasa, begitu dia menjadi Pemimpin Redaksi (Pemred) majalah berbahasa Jawa Jaya Baya arahan-arahannya membuat para wartawan semakin yakin dengan kemampuan kepemimpinannya.
Dunia kewartawanan disenangi Basuki sejak masih sekolah menengah. Saat menjadi siswa di SMA Negeri 2 Surabaya, dia sudah mengasuh media sekolah ’VITA’ namanya (1955). Meskipun di Jaya Baya sebagai tokoh puncak tapi dia juga banyak menulis di media masa berbahasa Indonesia dengan bermacam-macam gagasan.
Perjalanan karir, kerja keras, dan prestasi yang dilaluinya baik sebagai wartawan maupun seniman tidak memiliki waktu yang panjang.
Di usia 48 tahun atau tepatnya 30 Desember 1985, Basuki Rachmat meninggal dunia. Pada usia-usia tersebut adalah masa produktif bagi seorang kreator untuk mencapai puncak pikiran-pikiran cemerlangnya. Penyakit levernya yang semakin parah dan selama itu tidak pernah dirasakan dan diceritakan.
Saat itu Basuki Rachmat di Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jatim, juga menjabat sebagai wakil ketua yang membidangi pendidikan. Demikian juga oleh Gubernur Jawa Timur pada saat itu juga ditunjuk menjadi sekretaris Panitia Nilai-nilai 10 Nopember dan ikut mendirikan Dewan Kesenian Surabaya.
Banyak orang yang mempertanyakan Basuki Rachmat itu seniman, wartawan, atau politikus? Pertanyaan ini hampir tidak pernah terjawab karena ketiga disiplin ilmu tersebut memang sangat berkaitan di dalam pergulatan hidupnya.
Ketika Manifesto Kebudayaan dinyatakan sebagai organisasi terlarang Basuki Rachmat menjadi sosok yang serba sulit. Sebagai jurnalis dia tidak boleh berkecimpung di dunia wartawan dan sebagai seniman tidak boleh membuat kegiatan seni dan lain sebagainya lebih-lebih yang berhubungan dengan aktivitas pergerakan. Setiap gerak lakunya kemana-mana selalu diawasi.
Pada era Orde Baru masih berlanjut, Basuki Rachmat bersama pelukis Amang Rachman dijebloskan sebagai tahanan politik oleh pemerintah selama 45 hari, hanya karena membiarkan para seniman muda dibawah naungan Dewan Kesenian Surabaya, yang dimotori oleh Bambang Sujiyono ‘berunjuk rasa’ sambil berbaris dan berjalan sepanjang jalan.
Akibatnya beberapa seniman diinapkan di rumah tahanan Korem o84 Bhaskara Jaya. Lalu Basuki Rachmat dan Amang Rachman memohon kepada Blegoh Sumarto selaku komandan Korem agar anak-anak segera dibebaskan. Namun kata Blegoh Sumarto, kalau anak-anak dibebaskan apa Basuki Rachmat dan Amang Rachman bersedia dijadikan jaminan!
Lalu pak Bas dan pak Amang menyatakan kesediaannya dan anak-anak dipulangkan kecuali Bambang Sujiyono yang masih ditahan sedang Basuki Rachmat dan Amang Rachman menyusul sebagai penghuni baru.
Gambaran inilah yang melekat pada Basuki Rachmat, pada saat itu, antara; kesenian, politik dan jurnalis berbaur menjadi satu.
Dan bagi Basuki Rachmat dunia jurnalis itu bagai oksigen yang selalu dibutuhkan oleh setiap makhluk hidup. Sedang kita-kita ini adalah ikan-ikan yang berhamburan dimana-mana, dan seni itu sendiri adalah airnya. “Untuk politik nanti dulu?”selanya.
Politikus belum tentu wartawan, tapi wartawan tidak dapat tidak, pasti bersangkut paut dengan masalah-masalah politik. Dia harus mengerti politik dan harus menganggap politik itu alat penting bagi bangsa yang merdeka.
Namun siapa yang ‘tahu’, siapa sesungguhnya Basuki Rachmat?Basuki Rachmat dalam disain besar politik saat itu dia juga sadar keberadaannya, bahwa dirinya tidak pernah sengaja bersangkut paut dengan politik praktis.Tak pernah menjadi anggota organisasi atau anak organisasi politik apapun.
Jalan Menuju Panggung
Basuki Rachmat, kalau mau menggarap drama jalan ceritanya mesti diceritakan dulu pada istrinya. Kalau istrinya bisa memahami dan menerima secara komunikatif, naskah tersebut berkembang ke penulisan.Bagi Basuki Rachmat pendapat istrinya adalah mewakili penonton atau mewakili orang awam yang pemahaman teaternya hanya bisa menangkap secara umum.
Memang Basuki Rachmat ini mempunyai banyak keunikan dan kemisterian dalam perjalanan karirnya.
Selain di dunia seni teater, yang memberi warna kuat dalam penggalian nilai-nilai tradisi Ludruk, Ketoprak dan Wayang Orang. Nilai penggalian ini juga disentuhkan ke garapan teaternya sehingga nilai pertunjukannya menjadi ispriratif menarik bagi teater-teater yang ada di Indonesia. Bahkan Rendra juga pernah mengakui, bahwa naskah dan pertunjukan drama Basuki Rachmat mempunyai kelebihan yang kuat dan menarik dalam mengadaptasi naskah-naskah barat.
Naskah-naskah barat yang diadaptasi oleh Basuki Rachmat, pasti mempunyai keluwesan tersendiri sehingga terkesan yang muncul adalah pertunjukan dari timur atau kekuatan lokal muncul dengan kuat.
Demikian juga Umar Kayam pada acara Sarasehan Teater Rakyat di Surabaya tahun 1985. Dia mengatakan, bahwa Basuki Rachmat menduniakan Ludruk.
Karya-karya Basuki Rachmat
Anastasia (1975)
Naskah sandiwara 3 babak, karya Marcelle Maurette, terjemahan Basuki Rachmat, ini adalah produksi Dewan Kesenian Surabaya yang ke-2 (produksi pertama “Lawan Catur”) yang didukung oleh grup-grup teater di Surabaya antara lain: Bengkel Muda Surabaya, Teater Merdeka, Sandradekta, dan Lekture.
Para pemainnya: Anang Hanani, Nunuk Sugiarto, Bambang Sujiyono, Niki Kosasih, Ny. Mai B Poedjianto, Koeswandono, Marzuki, Vencentius Djauhari, Hare Rumemper, Anna Iksan, serta Soenarto Timoer.
Dan sederet nama staf produksi antara lain: Hasyim Amir, Amang Rahman, Rony Tripoli, Bawong SN, Amir Kiah, Wally Sherdil, Fadjar Randah, Budi Sr. serta Tadjuddin Nur.
Naskah Anastasia adalah sebuah lakon dengan latar belakang sejarah dan politik, namun kisahnya sendiri adalah kisah tentang kemanusiaan: tentang penderitaan, harapan, dan impian. Yang di dalamnya ada cinta, kemunafikan, intrik-intrik kekuasaan, sebagaimana lakon yang berlatar politik dan kekuasaan.
Kisah bermula dari meletusnya revolusi besar di Rusia, revolusi sosial untuk menghancurkan kekaisaran (Kaisar Rusia, Tsar Nikolai II) yang korup.
Anastasia satu-satunya keluarga Tsar yang lolos dari kecamuk revolusi. Dan teka-teki Anastasia tidak pernah terpecahkan dalam sejarah.
Drama Anastasia dari Rusia pada masa-masa Orde Baru sangat aktual dan sensitive terhadap kondisi politik yang berlangsung saat itu. Naskah ini menjadi penuh muatan kritik yang diarahkan pada pemerintah karena posisi pemerintah terlalu kuat pada saat itu.
Begitu ada gejala yang sedikit mengarah kritis, pemerintah sangat protektif terhadap segala bentuk ideologi yang tidak searah. Sedikit ada ketidak cocokan langsung ada tuduhan ‘merah’. Sedikit ada argumentasi yang kritis langsung ada tuduhan ‘merah’.
Semua yang mengarah ke Negara Rusia…………. ‘Merah……….. merah………. merah’.
Lalu di sekitar teman-teman seniman dan wartawan muncul celetukan ……………..”Mulai dulu Rusia itu sudah Merah ya…….?”. Joke ini sangat multi intepretatif dan longgar sehingga bisa diceletukan pada kondisi berfikir yang tidak mendapat jalan keluar atau jalan buntu pada saat itu.
Labirin ((1978)
(Naskah Prancis, Judul Asli “La Blanchisserie” di tulis David Guerdon, terjemahan Basuki Rachmat).
Drama ini produksi Bengkel Muda Surabaya yang ke 29.
Pemainnya : Sam Abede Pareno, Silvia Djaelani, Bawong SN, Hermin Munif, Anang Hanani, Sian Dyhs, Wally Sherdil, Ny. Mai B Poedjianto.
Menurut mas Bas, lakon ini ditulis pada tahun 1962 dan digolongkan dalam apa yang disebut “theatre of the disengaged men”, suatu aliran atau kecenderungan yang lahir setelah berkembangnya “teater absurd”.
Jika dalam “teater absurd” ditampilkan manusia-manusia yang lamban dan tak berdaya, maka dalam “theatre of the disengaged men” kita melihat tokoh-tokoh yang – walaupun tidak berdaya menyelesaikan persoalannya – tampak lebih aktif mendodrak lingkungan yang merongrongnya. Meskipun pendobrakan itu lebih mirip tindakan putus asa.
Mas Bas juga merekonstruksi pikiran-pikiran David Guerdon yang dituangkan ke drama ini. Bahwa lakon ini merupakan sebuah parable kontemporer tentang manusia-manusia modern yang kesepian, tidak memiliki kesanggupan berkomunikasi secara wajar dengan lingkungannya dan tidak memiliki sesuatu yang pasti untuk dijadikan pegangan dalam hidup.
Lingkaran Keadilan (1980 dan 1985)
Naskah Jerman ini judul aslinya “Der Kaukasische Kreidekreis” yang di tulis oleh Bertold Brecht, terjemahan dan di adaptasi Basuki Rachmat. Sutradara: Basuki Rachmat. Assisten Sutradara: Hare Rumemper.
Drama ini produksi Bengkel Muda Surabaya dan teater Surabaya. Dimainkan: Bawong S Nitiberi, Sian Dyhs, Nazar Batati, Dindy Sapardi, Yu Lin, Endang sulistyowati, Aries Yuliana, Oyeck, Chusnul Huda, Busro, Solikin, Parmin RAS, Ruslan Guyen, Gatot HS, Widji, Pangky Kentut, Basuki Pecut dan lain-lain.
Drama ini di tulis oleh Brecht, untuk menghadirkan ‘Epik Theater’ sebagai lawan ‘Dramatik Theater’.
Drama ini adalah sebuah bentuk lakon yang tidak hanya berkisar pada puncak-puncak konflik melainkan menyebar dalam ruang dan waktu yang lebih luas serta melibatkan banyak peran.
Dalam hal akting, Brecht menghendaki para pemain tetap berada di luar peran, dan memainkannya seraya menganalisa, mengomentari dan mengeritik tingkah laku peran tersebut.
Sandiwara Brecht tidak berusaha memberi ilusi kepada penontonnya, tetapi justru merangsang mereka berfikir kritis dan obyektif.Dan menurut mas Bas, suatu hal yang tidak asing dalam teater Asia pada umumnya.
Dari sini Basuki Rachmat menyadur dengan bebas – dengan beberapa penyimpangan yang disengaja oleh penyadur – dari lakon ‘Der kaukasische Kreidekreis’ karya Bertold Brecht.
Drama ini sempat pentas di banyak kota: Di Surabaya di Taman Budaya Jawa Timur, di Solo di pendopo Sasono Mulyo, di Jakarta di Taman Ismail Marzuki di Bandung di gedung Rumentangsiang.
Darmi-Darmo (1982)
Karya: Bertold Brecht. Diterjemahkan dan diadaptasi oleh Basuki Rachmat. Produksi Bengkel Muda Surabaya bersama Teater Surabaya.
Dimainkan: Bawong SN, Roni Tripoli, Gatot, Sian Dyhs, Eko, Yono, Parmin Ras, Basuki, Endang Sulistyowati, Chusnul Huda Sholeh, Busro Yusuf, Ruslan Guyen, Pangky Kentut dan lain-lain.
Seperti Lingkaran Kapur Putih, garapan Darmo-Darmi juga digarap model teater Epik. Naskah-naskah Bertold Brecht adalah naskah Eropa tapi konsep-konsep garapannya sangat ke Timur sekali, lebih-lebih tentang pemikiran sosialisnya sangat kuat yang disinergikan dengan penggalian nilai-nilai Islam. Misalnya di Lingkaran Kapur Putih, tentang perebutan anak Raja, antara pengasuh Istana dan istri Raja.
Di pengadilan, hal ini dimenangkan pengasuh istana karena pengasuh Istana ini lebih dekat rasa keibuannya kalau di banding istri Raja yang selalu sibuk dengan harta kekayaannya saja.
Peristiwa ini diambil oleh Brecht, ketika Nabi Sauleman memberi keputusan pengadilan tentang perebutan anak.
Demikian juga ketika orang-orang kaya meminta keadilan untuk menggugat orang-orang miskin yang sedang mencuri, memperkosa, selalu dimenangkan orang miskin. Karena pelaksanaan pengadilannya memakai pendekatan konsep-konsep humanisme sosial sehingga lebih berpihak pada rakyat kecil.
Hal ini masih selaras dengan naskah Darmi-Darmo. Ketika para Dewa sudah sepakat mau memberi keputusan hari kiamat segera tiba karena semua ummat di dunia sudah tidak mematuhi lagi pada aturan-aturan yang diperintahkan oleh Tuhan Maha Kuasa dan tingkat kerusakan ini tidak bisa di tolong lagi.
Namun ketika ada utusan 3 Dewa yang turun ke bumi untuk membuktikan kalau memang sudah tidak ada orang yang baik lagi, menjadi terpatahkan. Karena para Dewa yang turun ke bumi ini telah menemukan seorang perempuan dari kelas bawah yang hidup sehari-harinya berjualan membuka warung. Perempuan yang hidupnya sendirian ini berbudi pekerti baik dan suka menolong sesama.
Dari sinilah hari kiamat dibatalkan……………
Cerita ini juga ada dituntunan hari kiamat yang ada dalam ajaran agama. Tentang tanda-tanda hari kiamat yang akan tiba.
Basuki Rachmat melihat naskah ini menunjukan rasa kagumnya pada perempuan yang rela menghadapi berbagai masalah.Oleh karena itu latar belakang cerita naskah ini tentang warung yang selalu dimiliki atau di tunggu seorang perempuan.
Warung adalah tempat orang berkumpul dari berbagai penjuru tempat, di warung mereka datang untuk makan dan minum.
Makan dan minum adalah sarana manusia untuk bertahan hidup.Jadi warung ibarat ‘IBU’, dia selalu didatangi oleh anak-anaknya untuk mampir menyusui atau sedang butuh asupan. Semua itu dihadirkan tanpa keluhan meskipun sesulit apapun keadaannya mereka selalu menyambut dengan keramahan.
Seperti halnya orang yang hadir di warung selalu mendapat keramahan yang menyenangkan. Sehingga yang dikenyangkan tidak hanya perangkat tubuhnya saja tapi juga perasaan batinnya.
‘Keranda’
Sayang naskah ini tidak sempat digarap karena Basuki Rachmat pulang ke rahmatullah.
Naskah Keranda ini sama halnya dengan naskah-naskah sebelumnya. Ditulis oleh penulis asing lalu diterjemahkan dan diadaptasi. Gagasannya tentang perjuangan kelas, ada jarak yang diskriminatif antara raja dan rakyat jelata. Peran utamanya perempuan.
Ceritanya seorang raja yang mempersunting perempuan cantik yang cerdas dari golongan rakyat jelata dimana keberadaannya dijadikan sebagai selir. Sebenarnya anak tersebut tidak mau dipersunting raja, oleh berbagai tekanan sebagai rakyat jelata akhirnya harus berpasrah diri pada kenyataan. Namun di balik kenyataannya perempuan muda ini menyimpan dendam berat pada raja yang selalu menganggap remeh kaum jelata.
Sebagai selir dia mulai berusaha memainkan perannya dengan segala kecerdasannya, dia mulai bisa merubah diri dari kondisi ketertekanan menjadi keleluasaan. Semua sektor-sektor pokok yang menghidupi dinamika kerajaan dia kendalikan, khususnya dibidang ekonomi. Karena dorongan dendam pada raja yang begitu tinggi itulah yang membuat keberaniannya tidak terukur sehingga dalam waktu yang tidak lama dia mulai punya simpatisan yang luar biasa. Sedikit demi sedikit para simpatisannya ini mulai dibentuk sebagai kekuatan yang berdiri dibelakangnya.
Dia semakin popular dan simpatisannya berubah menjadi pendukung dirinya yang mempunyai etos luar biasa. Perempuan muda ini semakin hari semakin menjadi harapan orang bawah yang selalu menginginkan perubahan hidup.
Selain popular, dia juga kaya, dia juga besar di mata rakyat dan dimana-mana selalu dieluk-elukan. Begitu kekuatan rakyat yang di belakangnya sudah memuncak tekadnya untuk mendukung rasa dendam pada raja. Lalu membuatlah serentetan rencana untuk membunuh raja.
Dalam rencana pertemuan dengan raja para pendukung di suruh mempersiapkan ‘keranda’. Dan ternyata pertemuan yang sudah direncanakan itu benar-benar tidak ada halangan, semua berjalan lancar.
Dalam waktu sekejab dia menusuk sang raja dengan mengeluarkan rasa dendam yang sudah tersimpan begitu lama di dalam hatinya. Raja mati tersungkur dan sesuai dengan apa yang direncanakan, tepat jatuh tersungkur kebelakang dan masuk di keranda yang sudah disiapkan.@
*) Penulis adalah Teaterawan