REKAYOREK.ID Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Unesa melalui Pusat Literasi menyelenggarakan diskusi dan bedah buku Trilogi Kartini karya Prof Dr-Ing Wardiman Djojonegoro, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI tahun 1993-1998 dan Ketua Umum Yayasan Puteri Indonesia pada 20 Mei 2025 di Gedung Rektorat Unesa Kampus 2 Lidah Wetan, Surabaya secara hybrid.
Buku Trilogi Kartini karya Prof Wardiman itu terdiri atas 3 karya. Pertama, buku kumpulan surat-surat kartini tahun 1899-1904 yang menghimpun 179 surat kartini dan 11 artikel memo yang dikumpulkan dari Belanda dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Kedua, buku biografi berjudul “Kartini, Hidupnya, Renungannya, dan Cita-citanya.” Ketiga, buku inspirasi berjudul “Inspirasi Kartini dan Kesetaraan Gender Indonesia.
Kegiatan yang diselenggarakan bertepatan dengan peringatan Hari Kebangkitan Nasional 2025 itu diapresiasi Direktur Sekolah Pascasarjana Unesa, Prof Dr Bambang Yulianto, MPd. Menurutnya, kegiatan selain bentuk memperingati Hari Kebangkitan Nasional, juga membangkitkan dan memperkuat literasi.
Bambang mengatakan, kajian dan berdiskusi tentang pemikiran kartini dalam karya Prof Wardjiman adalah momen menghidupi literasi. Penelitiannya tentang surat-surat Kartini itu tidak mudah karena surat-surat Kartini sangat jarang berada di Indonesia dan kebanyakan di luar negeri, terutama di Belanda.
“Pengumpulan surat kartini ini sangat banyak bahkan mendapat anugerah dari MURI serta UNESCO. Ini menjadi inspirasi bagi kita kaum muda,” ungkapnya.
Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani, juga menyampaikan sambutannya melalui Zoom Meeting. Ia mengatakan bahwa karya trilogi tersebut merupakan inspirasi seluruh masyarakat Indonesia tidak hanya perempuan.
Pemikiran RA Kartini, ungkap Sri Mulyani, jauh melampaui zamannya. Bahkan. bisa disebut jenius. Baginya, peluncuran buku ini adalah upaya untuk terus menggali dan mendapat inspirasi guna memajukan bangsa Indonesia.
“Generasi muda yang akan meneruskan cita-cita bangsa kita, dan Kartini bisa menjadi tokoh yang diteladani. Semoga ini membuka kesadaran dan motivasi untuk memajukan bangsa Indonesia dengan mengkaji kembali pikiran-pikiran Kartini” ungkapnya.
Sebagai penulis, Wardiman Djojonegoro membeberkan bahwa keinginannya menulis buku tersebut bersumber dari keresahaan Kartini, karena perempuan zaman itu adalah manusia kelas dua tidak boleh keluar rumah jika tidak bersuami. Kartini ingin menyuarakan pikirannya hingga kemudian menemukan sahabat pena.
Salah satu sebab ia terpanggil menulis buku ini, kata Wardiman, bermula sewaktu kelas 2 SMP di Surabaya. Saat itu, ia melihat buku Kartini di toko pinggir jalan yang ditulis oleh Abendanon. Ia kaget ternyata ada seorang gadis berumur 20 tahun yang menulis gagasan inovatif tentang kaumnya.
Ketika dewasa, Wardiman memiliki kesempatan berkunjung ke Belanda. Pada 2022, ia menemukan 12 surat tambahan di arsip nasional Belanda. Akhirnya, bukunyaa selesai dengan jumlah 1.400 halaman.
“Selain mengikuti bedah buku, buku ini juga sedang saya terjemahkan ke dalam Bahasa Inggris,” terangnya.
Sementara itu, Prof Drs Nasution, MHum, Ph.D, Pakar Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Unesa berpendapat bahwa refleksi terhadap nilai-nilai Kartini harus murni tanpa ada niatan lain. Sayangnya, sekarang ini, justru banyak yang menjadikan Kartini sebagai bahan politik identitas. Padahal yang terpenting seharusnya pemikirannya.
“Kalau kita mau benar-benar membaca karyanya akan sadar bahwa Kartini tidak sekadar menginginkan kebebasan tetapi bagaimana memperjuangkan kepentingan bersama untuk mendapat hak yang setara agar menjadi pribadi yang Merdeka,” ungkapnya.
Dr Sjafiatul Mardliyah, SSos, MA, Kepala Pusat Gender dan Anak Unesa memberikan tanggapannya. Ia melihat bahwa pemikiran Kartini sebagai new social movement. Kartini berhasil meninggalkan artefak atau karya dalam catatan sejarah. Surat-surat Kartini banyak menyoroti kasus pendididkan, budaya, dan sosial masyarakat. @azhar