Begandring Soerabaia Sumber Penelitian Ilmiah

REKAYOREK.ID Sejumlah pelajar SMA mendatangi Lodji Besar pada Sabtu sore (28/1/2023) dalam rangka melakukan penelitian dengan Narasumber dari Perkumpulan Begandring Soerabaia.

Tiga siswi dari SMA Al Hikmah Surabaya dan 5 lainnya dari keluarga siswa Lab School Unesa Surabaya. Siswa dari Al Hikmah meneliti Begandring Soerabaia sebagai entitas perkumpulan. Sedangkan siswa Lab School Unesa meneliti tradisi Pengantin Pegon, sebuah tradisi mantenan khas Surabaya.

Kelompok siswi SMA Al Hikmah, yang terdiri dari Azalia Azzahrah, Azahra Aulia Putri dan Maulida Istianah, melakukan penelitian tentang peran komunitas Begandring Soerabaia dalam kaitannya dengan Pelajaran KIR (Karya Ilmiah Remaja) di bidang edukasi sosial humaniora.

Azalia Azzahrah meneliti Begandring Soerabaia setelah mendengar adanya komunitas yang intens melakukan penelitian di bidang sejarah dan budaya Surabaya dan menghasilkan karya karya kolaboratif dengan berbagai pihak, yang diantaranya dengan pemerintah Kota Surabaya.

“Karena itu kami ingin tau bagaimana Begandring bisa melakukan kegiatan kegiatan yang inspiratif dan bermanfaat bagi Surabaya”, jelas Azalia yang menerangkan mengapa mendatangi sekretariat Begandring Soerabaia di jalan Makam Peneleh itu.

Di sekretariat, yang berlabel Lodji Besar, mereka ditemui pengurus Begandring yang diantaranya Nanang Purwono (ketua), Kuncarsono (pendiri) dan Fathurrozi (fotografer). Dalam kaitan dengan penelitiannya,

Azalia dan kawan kawan menanyakan berbagai hal mulai dari bagaimana Perkumpulan Begandring Soerabaia ini bisa terbentuk, siapa saja orang orang yang duduk dalam kepengurusan Begandring, apa saja kegiatan Begandring, dengan pihak mana saja Begandring berkolaborasi, apa saja yang menjadi obyek penelitian Begandring dan apa harapan dan tujuan Begandring dalam berorganisasi.

Nanang, yang langsung menemui mereka, salut atas pertanyaan pertanyaan yang sangat berbobot bagi siswa kelas 11 SMA.

“Meski masih SMA, pertanyaan pertanyaan mereka sudah setingkat mahasiswa. Pertanyaannya sangat analistis”, ungkap Nanang.

Sambil ngobrol santai di atas panggung kecil di teras Lodji Besar, diskusi ilmiah pun berjalan santai ala anak muda tapi serius. Mereka merekam audio setiap pembicaraan dan pertanyaan-jawaban. Dari kegiatan wawancara itu terlihat formasi kerja kelompok yang apik karena masing masing dari ketiga anggota kelompok itu bergantian melontarkan pertanyaan yang terstruktur.

Nanang dan kelompok Al Hikmah Surabaya. Foto: tim

 

Begitu sebaliknya, mereka juga ditanya oleh Nanang dengan tujuan untuk menambah pemantapan akan penelitian yang mereka lakukan.

“Dengan menjawab pertanyaan pertanyaan, mereka semakin lebih mengenal mengapa mereka melakukan penelitian”, kata Nanang yang sekaligus menjadi pembimbing dalam penelitian itu.

Misalnya ketika ditanya, menurut pendapat mereka, mengapa Begandring melakukan upaya pelestarian sejarah, budaya dan cagar budaya kota Surabaya. Mereka bisa menjawab bahwa ada banyak tempat di Surabaya yang menyimpan nilai sejarah, tapi ada yang kurang dipedulikan.

“Nah, kami menemukan bahwa komunitas begandring mempunyai program yang berhubungan dengan pelestarian sejarah dan kami ingin mengetahui lebih jauh tentang peran Komunitas Begandring dalam melestarikan sejarah lokal surabaya” jawab Azalia.

Mereka pun yakin bahwa dari hasil penelitian ini, secara khusus, akan memberikan manfaat bagi mereka bertiga.

“Iya, tentu saja penelitian ini akan bermakna. Selain kami bisa mengetahui tentang Komunitas Begandring, tanpa disadari kami juga jadi lebih mengenal tentang sejarah Surabaya. Dengan adanya penelitian ini kami harapkan komunitas begandring semakin dikenal publik. Untuk ke depannya, kami akan lebih memedulikan sejarah lokal surabaya dan mengajak teman teman kami agar lebih peduli pula”, jelentreh Azalia mewakili kawan kawannya.

Secara langsung, ketika mereka mengamati tempat yang menjadi markas Begandring, Lodji Besar yang dibangun pada 1907, mereka sudah terbawa masuk pada nuansa proses pelajaran sejarah kota Surabaya. Menurutnya tempat ini mendukung proses berkegiatan Begandring Soerabaia.

Azalia: “Dari yang saya amati, tempat ini memiliki nuansa yang unik seperti zaman dulu dan cocok digunakan untuk bercengkrama ataupun berdiskusi”.

Azahra Aulia Putri: “Dari arsitektur bangunannya, hiasan yang dipilih mulai dari foto iklan jaman dahulu, lagu yang diputar, lampu lampunya yang warna kuning, serta perabotan dan menu makanan yang dijual (apalagi yang namanya indische tadi, saya sangat tertarik). Markas Begandring memberikan nuansa tahun 1900-an, dan bisa membuat saya membayangkan suasana ketika dulu.

Maulida Istianah: “Yang bisa saya amati dari kunjungan ke kafe Lodji Besar ini adalah interaksi anggota Begandring satu sama lain yang dekat dan santai namun profesional. Hal ini bermakna bagi saya bahwa dengan interaksi yang santai seperti pertemanan, suatu komunitas dapat terbentuk kuat dan saling melengkapi. Yang menakjubkan adalah walaupun santai, Komunitas Begandring tetap dapat bekerja secara profesional.

Nanang menyimpulkan bahwa dengan bertanya kepada mereka sebagai upaya feed back, maka dapat diketahui bahwa mereka sudah mulai mengenal tentang Begandring yang menjadi obyek penelitian.

Pengantin Pegon

Pengantin Pegon adalah obyek Kebudayaan di kota Surabaya. Pengantin Pegon adalah pengantin khas Surabaya yang keberadaannya luntur dimakan jaman. Karenanya berdasarkan Undang Undang 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, salah seorang pengurus Begandring Soerabaia pernah melakukan penelitian tentang Pengantin Pegon. Bahkan salah satu anaknya dinikahkan dengan menggunakan adat mantenan Pegon.

Yatim S Bekti adalah salah seorang pengurus Begandring Soerabaia itu.

“Saya menikahkan anak saya dengan menggunakan adat pengantin Pegon. Tradisi ini merupakan percampuran adat yang ada di jamannya. Menurut sebuah literasi, pengantin Pegon ini sudah ada di tahun 1880-an”, jelas Yatim ketika menemui peneliti siswi SMA Lab School Unesa Surabaya di Lodji Besar pada Sabtu sore (29/1/2023).

Yatim S Bekti (beruseng) dan Fathurrozi (membelakangi) menjadi narasumber kelompok siswi Lab School Unesa Surabaya. Foto: tim

 

Manten Pegon adalah upacara pernikahan atau proses pertemuan antara mempelai laki-laki dengan pihak mempelai perempuan yang lahir dari akulturasi antara budaya Eropa (Belanda), Arab, Cina dan Jawa di wilayah Surabaya.

Keunikan inilah yang menarik perhatian siswi Lab School Unesa Surabaya. Adalah tepat ketika Yatim S Bekti menjadi narasumber dalam penelitian ini karena Yatim secara empiris pernah menikahkan anaknya dengan gaya Manten Pegon.

“Pak Yatim ini juga pernah menjadi Nara sumber dalam penulisan dan penyusunan buku Ensiklopedia Kearifan Lokal Kota Surabaya yang diterbitkan oleh Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Surabaya yang bekerjasama dengan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga baru baru ini”, jelas Nanang Purwono yang ikut membersamai kelompok peneliti Lab School Unesa di Lodji.

Kristania Ika Lestari dan Grecia Hamashia Allow, yang melakukan penelitian ini, tidak hanya melahirkan sebatas laporan tekstual, tapi mereka akan menunjukkan pakaian pasangan pengantin Pegon dalam bentuk peragaan busana.

Busana Pengantin Pegon terbilang langka. Justru melalui penelitian yang hasilnya akan diperagaan oleh siswi Lab School ini adalah bentuk upaya pemajuan Kebudayaan sebagaimana tertuang dalam Undang Undang 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.

Pengantin Pegon adalah salah satu contoh obyek dalam Ritus, yang menjadi salah satu dari 10 obyek Pemajuan Kebudayaan. Ritus adalah tata cara pelaksanaan upacara atau kegiatan yang didasarkan pada nilai tertentu dan dilakukan oleh kelompok masyarakat secara terus menerus dan diwariskan pada generasi berikutnya, antara lain, berbagai perayaan, peringatan kelahiran, upacara perkawinan, upacara kematian, dan ritual kepercayaan beserta perlengkapannya.

Nanang dan Yatim membersamai kelompok Lab School Unesa. Foto: tim

 

Perlengkapan upacara perkawinan Pengantin Pegon adalah pakaian yang dikenakan. Tidak banyak warga kota Surabaya yang mengenal perkawinan dengan tata cara Pengantin Pegon. Pengantin Pegon ini sebagai cerminan keberagaman etnis Surabaya karena ini perpaduan etnis Eropa, Arab, China dan Jawa.

“Pengantin Pegon adalah cermin pluralisme kota Surabaya”, tegas Nanang.

Nanang berharap, seiring dengan upaya pemajuan Kebudayaan sesuai dengan amanah UU 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, akan semakin banyak kegiatan kegiatan penelusuran terhadap 10 obyek pemajuan Kebudayaan di Surabaya seperti yang ditujukan oleh siswi Lab School Unesa Surabaya.

Selama ini tidak hanya dua sekolah yang menjadikan Begandring Soerabaia sebagai sumber penitian. Masih ada lembaga sekolah lainnya yang njujug Begandring Soerabaia sebagai mitra dalam penelitian penelitian. Selain datang dari entitas dalam negeri, Begandring juga mitra dari lembaga lembaga luar negeri.@Tim

Komentar (0)
Tambah Komentar