Berlin dan Kisah Tentang Anak Semua Bangsa

Dua hal ini selalu menjadi pertanda bahwa aku sudah lelah: suara laju trem dan senja di langit Berlin. Di musim dingin seperti ini, cahayanya selalu pudar, menjadi kelabu.

Mereka menyebutnya Straßenbahn Berlin. Ini adalah sistem trem utama di kota ini, yang dioperasikan oleh Berliner Verkehrsbetriebe, perusahaan transportasi utama di Berlin. Konon, trem di Berlin ini menjadi sistem trem terbesar ketiga dan tertua di dunia. Beroperasi sejak tahun 1865.

Aku, sering menantikan senja di langit Berlin dari kaca trem ini. Aku bisa menyaksikan bagaimana senja itu perlahan menghilang, dan digantikan langit kelabu musim dingin.

Di luar, aku kira suhu sudah 6 derajat celcius. Aku bersiap berhenti di stasiun Albertinenstraße. Jarak sudah dekat. Terbayang-terbayang terus di kepalaku; kasur dan segelas anggur.

Aku merapikan posisi topi penghangat dari pantulan kaca trem. Trem berhenti di Stasiun Albertinenstraße di Weißensee. Ini wilayah setingkat dengan kelurahan di kawasan Bezirk Pankow, Berlin. Di sini aku tinggal.

Aku bergegas turun. Menundukan sedikit kepala dan memasukan tangan di saku-saku jaket. Sama seperti kebanyakan orang yang harus berjalan di suhu udara yang membekukan badan ini.

Sudah setahun aku tinggal di Berlin, ibukota Jerman. Aku bersama 28 orang, menjadi bagian dari Weltwärts South-North Program. Ini merupakan program untuk tinggal, merasakan hidup dan bekerja di Jerman.

Kami berasal dari beberapa benua. Ada yang berasal dari benua Latin, Afrika dan Asia. Kami tinggal dan hidup seperti masyarakat Jerman, pada umumnya.

Program ini diselenggarakan oleh IJGD (Internationale Jugendgemeinschaftsdienste), sebuah organisasi non-pemerintah yang telah berdiri sejak tahun 1949.

Sejak didirikan, IJGD banyak membangun program dan kegiatan, yang fokusnya untuk memberikan kesadaran kepada anak-anak muda, tentang kondisi sosial yang mereka hadapi. Juga, mendukung anak-anak muda untuk mengembangkan kapasitas dirinya, terutama terhadap tanggung jawab sosial.

Weltwärts South-North Program, juga menjadi bagian dari program yang didukung dan didanai oleh Bundesministerium für wirtschaftliche Zusammenarbeit und Entwicklung (BMZ). Ini adalah Kementerian Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan Negara Federal Jerman.

BMZ, setiap tahun mengadakan program ini, yaitu memberikan kesempatan anak-anak muda dari Asia-Afrika atau budaya lain, untuk bisa mendapatkan pengenalan terhadap budaya di Jerman atau di Eropa.

Tujuan utamanya adalah agar masyarakat –terutama anak-anak mudanya– bisa mengembangkan kehidupan mereka dan menularkan nilai-nilai penghargaan dan penghormatan pada perbedaan manusia.

Jerman, memang masih punya persoalan dengan toleransi kehidupan bersama orang-orang yang berasal dari ras yang berbeda. Dan, ini menjadi urusan yang ditangani serius oleh pemerintah di sana.

***

Berlin, sebuah legenda. Cerita yang menggetarkan dunia itu, dimulai pada tahun 1989. Kisah bersatunya kembali dua negara, yang ditandai dengan runtuhnya tembok pembatas mereka: Tembok Berlin.

Die Berliner Mauer atau Tembok Berlin mulai dibangun pada tahun 1961. Tahun, yang juga menjadi tanda bagaimana dua wilayah yang mulanya bersatu pada berbagai rentetan peristiwa sepanjang Perang Dunia, akhirnya dipisah oleh tembok pembatas.

Masing-masing diklaim oleh mereka yang merasa memiliki kekuasaan. Di wilayah timur Berlin, dikuasai oleh Uni Soviet. Di bagian barat, diduduki oleh tiga negara: Inggris, Prancis dan Amerika.

Peninggalan sisa-sisa tembok pembatas yang legendaris itu, saat ini dinamakan dengan East Side Gallery. Ini adalah salah satu tempat yang selalu menyita banyak waktuku di Berlin.

Ini kenikmatan yang hampir sempurna: duduk di tepi sungai di samping East Side Gallery, sembari membawa Mustafa Döner Kebab di tas, lalu memandang ke arah Oberbaumbrücke sambil sesekali membayangkan masa-masa ketika kota ini terbelah dua: Berlin Timur dan Berlin Barat.

Ya, membayangkan bagaimana kota Berlin saat itu dikelilingi oleh GDR (German Democratic Republic). Ini merupakan negara bentukan kekuasaan Uni Soviet dengan ibu kota Berlin Timur.

Sementara, wilayah barat dikuasai oleh Inggris, Prancis dan Amerika. Karena alasan itu pula wilayah barat kemudian terblokade.

Jalur distribusi pangan di wilayah barat Berlin hanya bisa dilakukan melalui udara. Suplai pangan dilakukan melalui bandara Tempelhof, yang saat ini telah berubah menjadi lapangan luas. Tempat dimana keluarga dan anak-anak muda sering berkumpul untuk berolahraga, bermain musik, piknik atau menikmati hari sambil membaca buku.

Setelah tembok Berlin runtuh, Berlin menjadi kota yang berubah. Berlin seperti mesin diesel, bergerak menjadi kota modern dengan banyak peninggalan sejarah. Berlin kini memiliki gedung-gedung modern di sepanjang wilayah Postdamerplazt hingga wilayah hipster di daerah Kreuzberg.

Berlin juga memiliki kehidupan yang mengesankan: Berlin lifestyle!

Gaya hidup Berlin memiliki daya tarik tersendiri. Cara dan gaya hidup orang-orang di Berlin, sangat mengesankan. Sederhana, namun berkelas. Terutama, waktu party yang selalu ada di sepanjang waktu di akhir pekan.

Hampir semua bar dan club malam akan buka di akhir pekan.

Di akhir pekan, kita bisa melihat bagaimana gaya hidup anak-anak muda Berlin. Begitu bebas –atau, sesekali juga terkesan liar– dan memiliki kreatifitas, yang bagi kita terlihat sangat aneh.

Yang membedakan adalah ketika berkomunikasi dengan mereka. Dalam dandanan yang aneh sekalipun, termasuk anak-anak muda yang hobi bertato, akan ditemukan diskusi-diskusi yang kritis. Analisis berpikir yang tajam dan luar biasa.

Sungguh mengesankan. Setidaknya, ini meyakinkan aku, bahwa melihat seseorang tidak bisa dari penampilan saja. Bahkan saat mereka sedang bersenang-senang dalam kehidupan akhir pekannya, mereka tetap menjadi pribadi yang kritis dan toleran.

Sering ketika aku menunggu kereta di peron stasiun, dan menyaksikan gaya berpakaian anak-anak muda Berlin, rasanya begitu aneh. Atau, tepatnya terlihat unik.

Begitu mendengar diskusi atau perbincangan mereka, rasanya tidak seperti yang terlihat. Ada diskusi dan perbincangan tentang toleransi yang begitu dalam. Juga, sikap menghargai yang tinggi, dan tentu saja rasa keingintahuan yang besar.

Di saat seperti itu, kadang aku berpikir, ada apa dengan sistem pendidikan kita? Kenapa berbeda dengan di negara lain?

Tentu, aku tidak membenarkan perilaku anak-anak muda Berlin yang bertentangan dengan norma-norma bangsa kita. Namun, kebebasan dan ekspresi yang mereka miliki, telah membentuk anak-anak muda di Berlin menjadi berbeda.

Sepanjang pengetahuanku dalam perjalanan di Berlin dan beberapa tempat di Eropa, mereka terlihat begitu menikmati hidupnya. Mereka tidak mementingkan penilaian orang terhadap dirinya. Mereka berkarya, bekerja, lalu menikmati hidupnya.

Tinggal di Berlin, bagiku seperti berada di dunia berbeda, dari dunia yang selama ini aku kenal. Aku bisa bergerak dan maju, dikelilingi anak-anak muda yang luar biasa. Ini makin menyadarkan betapa sedikit yang aku tahu tentang kehidupan. Berlin menjadi tempat melatih diri, untuk mulai belajar memilah mana yang baik dan mana buruk.

***

Berlin punya masalah? Ya, tentu saja. Inilah yang juga menjadi alasan aku (akhirnya) ikut dalam Weltwärts South-North Program. Program ini sudah puluhan tahun dirintis dan dikembangkan oleh Internationale Jugendgemeinschaftsdienste (IJGD).

Fokus utamanya adalah mengembangkan kesadaran hidup bertoleransi, terutama di kalangan anak-anak muda Berlin. Bahwa, pada prinsipnya manusia memiliki hak yang sama. Manusia tidak bisa membedakan ras satu dengan ras lain, sebagai alasan untuk merendahkan. Apalagi melecehkan.

Pemerintah Jerman serius mengembangkan program ini. Di antara masyarakat di Berlin, masih ada yang menganggap bahwa ras lain lebih rendah dari mereka.

Program ini dikembangkan dengan cara melibatkan berbagai anak-anak muda, dari berbagai bangsa untuk hidup dan bergabung dengan masyarakat Berlin. Dengan begitu, masyarakat Berlin akan melihat secara langsung bagaimana kehidupan anak-anak muda bangsa lain.

Melalui Weltwärts South-North Program, kami yang dipilih dianggap mampu bekerjasama dengan orang-orang Jerman. Kami dinilai bisa memberi saran dan keputusan pada mereka.

Populasi di Berlin saat ini, ada sekitar 3,3 juta. Mayoritas adalah warga Jerman. Tapi, jumlah warga dari bangsa lain mulai bertambah. Ada imigran dari berbagai negara: Arab, India, Afrika dan kawasan Latin.

Berlin adalah kota terbesar di Jerman dengan luas 732 kilometer. Selain imigran, yang juga mulai hidup di Berlin adalah para refugee atau pengungsi dari negara-negara yang sedang mengalami konflik.

Bagi warga asing yang sedang menempuh pendidikan di Berlin, atau hidup dengan kelas ekonomi yang cukup, hubungan sosial tidak menjadi masalah. Tapi, bagi imigran dan refugees, persoalan rasialis dan toleransi menjadi perhatian serius pemerintah Jerman.

Tentu, belum terjadi konflik fisik. Sampai saat ini, aku belum menemukan adanya konflik fisik yang disebabkan karena masalah ini. Namun, pelecehan dan bullying, tetap dianggap sebagai persoalan serius oleh pemerintah.

Aku sendiri, tentu saja pernah di-bully. Ceritanya saat aku bersama teman-teman pulang dari party. Sekitar habis subuh. Kami naik trem. Kira-kira ada lima atau enam gerbong.

Kebetulan, saat itu aku di gerbong bersama anak muda dari India dan Vietnam. Tiba-tiba, datang seorang anak muda Berlin, mendatangi kami. Dia bertanya, darimana kami berasal.

Setelah kami jawab, dengan keras dia berteriak di gerbong:”Orang-orang Asia ini membuat dunia kita lebih sempit di kota kita.”

Kemudian dia bertanya, apa yang kami lakukan di sini. Ketika kami jawab bahwa kami bekerja, dia kembali berteriak:”Orang-orang seperti ini mengambil kesempatan kita untuk bekerja.”

Menyakitkan? Ya, tentu saja. Tapi, justru karena alasan inilah aku dan kawan-kawan mengikuti program untuk makin menyadarkan generasi muda di Berlin, bahwa setiap manusia memiliki perbedaan. Tidak ada alasan untuk melecehkan atau merendahkan manusia lain, hanya karena perbedaan asal-usulnya.

Apa yang terjadi di Berlin, bagi kami cukup bisa dimaklumi. Di beberapa kota di Jerman, situasinya lebih ekstrim dari itu. Di wilayah selatan, misalnya. Ada wilayah bernama Bavaria, yang warganya dikenal konservatif.

Di tempat itu, ada sebuah kota bernama Rostok. Sebuah peristiwa penyerangan pernah terjadi pada sebuah bangunan. Penyebabnya, karena di bangunan itu dijadikan tempat untuk menampung imigran dari negara-negara di kawasan Arabia, Asia dan Afrika.

***

Selain bekerja, di Berlin aku bersama dengan 28 kawan-kawan yang mengikuti program, memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan seminar bersama kawan-kawan kami dari Jerman. Setidaknya, ada lima seminar yang kami gelar untuk membahas persoalan yang ada.

Di luar itu, aku memiliki waktu cuti liburan selama 26 hari kerja. Dan, di hari cuti inilah aku gunakan waktu untuk bepergian. Salah satunya ke kota bernama Freiburg, di Jerman Selatan.

Aku diundang Rhea. Aku mengenalnya saat sama-sama kuliah di Bandung. Aku diundang untuk mengunjungi keluarganya.

Perjalanan ke Freiburg bisa dengan kereta. Saat melintasi kota-kota dan wilayah antara Berlin dan Freiburg, rasanya aku seperti di negeri Narnia. Semua jalanan diselimuti salju. Pemandangan sangat indah, mempesona. Selama perjalanan, aku hampir tidak berpaling dari kaca jendela kereta.

Aku dijemput orangtua Rhea begitu tiba di Freiburg. Ibunya seorang Profesor Social Work di Jerman. Aku canggung, awalnya. Bayanganku, bertemu dengan seorang profesor harus bisa bersikap dengan tepat. Paling tidak, tidak boleh salah bicara.

Ternyata benar, pikiranku salah. Profesor ini terlihat begitu sederhana. Sama seperti orang-orang di Berlin pada umumnya.

Setelah menyimpan barang di rumahnya, aku diajak keliling kota Freiburg dengan berjalan kaki. Kami menikmati cheese cake di toko kue yang cantik. Benar-benar kua terenak yang pernah aku rasakan.

Sang profesor bercerita bahwa dia lebih sering bersepeda dari rumah ke kota atau ke universitasnya. Sederhana. Tidak memiliki sopir pribadi ataupun asisten rumah tangga.

Selama tinggal di rumahnya, sang profesor sendiri yang memasak, dan berbelanja di supermarket dengan tote bag yang dibawanya sendiri. Malam hari, dia bergelut dengan buku dan meja kerja untuk mempersiapkan bahan-bahan atau kajian.

Dia tidak peduli orang mau menilainya seperti apa ketika berjalan-jalan, bersepeda, atau berbelanja. Pemandangan baru, yang agak sulit aku temukan di negeriku sendiri.

Tinggal di Berlin, seperti kado terindah yang diberikan Tuhan. Di sini aku melihat dunia. Aku melihat cakrawala. Membuka ruang yang luas untuk pengalaman, dan tentu saja, membuka pikiran tentang kehidupan dan perjuangan.

Seorang yang pernah aku temui di sebuah bar, pernah berkata padaku. Dan, akan aku ingat betul nasehatnya itu:”Jika dunia adalah sebuah buku, maka seseorang yang tidak menjelajahi dunia, hanya membaca satu halaman saja.”(*)

Penulis: Fajar Putra NurahmanPeserta Weltwärts South-North Program

berlinFajar Putra Nurahmanjerman
Komentar (0)
Tambah Komentar