Case Van Der Linden, Arek Suroboyo Berdarah Belanda Jadi Saksi Perang 10 November

Ketika akan terjadi serangan bom dan tembakan yang dilancarkan Sekutu, Mohammad Jasin menyuruh keluarga Case untuk masuk ke markas Polisi Istimewa dan bersembunyi di bawah tangga.

REKAYOREK.ID “My parents supported the young Republic of Indonesia from 1949 -1954. My Dad was as the legal advisor for the city of Soerabaia and my mom was as the Mathematic teacher at the SMA,” ujar Case van der Linden, warga negara Amerika berdarah Belanda, kelahiran Surabaya 1939.

Di saat kita tengah memperingati Hari Pahlawan 2021, Case yang sudah hidup di belahan bumi lainnya teringat masa kecil ketika menyaksikan pecah perang Surabaya pada 1945. Usinya kala itu sekitar 6 tahun dan kini sudah 82 thun, tapi Case masih memiliki ingatan yang baik. Ia ingat betul seperti apa ganasnya perang Surabaya.

Case ketika tinggal di Jl Coen Boulevard antara 1945-1947.

Case dan ibu serta dua saudara perempuannya ketika itu tinggal di Jalan Embong Kemiri 20. Tapi karena pecah perang ia dan saudara perempuannya diboyong oleh ibunya ke Coen Boulevard no 6 (kini Jalan Polisi Istimewa).

Ada sosok yang berpengaruh di balik perpindahan ini. Yaitu Komandan Polisi Istimewa Mohammad Jasin yang tidak lain adalah sahabat dari bapaknya Case van der Linden, yang bernama J. J. Van der Linden.

Ketika harus mengungsi ke Jalan Coen Boulevard, sang ayah memang tidak ada di rumah karena sedang menjadi tawanan perang POW di Burma. Bapaknya Case adalah seorang tentara, sama seperti Mohammad Jasin.

“After all the hostilities my Dad, after he returned from POW in Burma, made a contact with Mohammed Jasin and thanked him for keeping a watch over us”, cerita Case melalui Facebook.

Di Jalan Coen Boulevard, Case beserta Ibu dan adik adiknya tinggal di depan markas Polisi Istimewa. Dengan begitu Mohammad Jasin bisa menjaga keluarga Case.

Bahkan ketika akan terjadi serangan bom dan tembakan yang dilancarkan Sekutu, Mohammad Jasin menyuruh keluarga Case untuk masuk ke markas Polisi Istimewa dan bersembunyi di bawah tangga.

Rumah keluarga Case di Jalan Embong Kemiri 20 Surabaya.

“Before all of this, Mohammed Jasin had told us to take refuge in their head quarters de Broeders school under the big staircase with Indonesian women and children”.

Di saat bersembunyi di bawah tangga, Case dan para pengungsi lainnya bisa mendengar pembicaraan pasukan Polisi Istimewa di bawah komando Mohammad Jasin yang baru saja balik dari bertempur di tengah kota.

Suasana mencekam. Menakutkan.

Kemudian Mohammad Jasin memberitahu ibunya Case bahwa di markas Polisi Istimewa pun bisa tidak aman karena akan menjadi target serangan Sekutu.

Kemudian Mohammad Jasin menarik mereka dari markas Polisi Istimewa dan akhirnya keluarga Case bersembunyi di sebuah rumah pojok di jalan yang sama. Ketika itu rumah ini adalah toko daging.

Setelah masuk rumah, terdengarlah pemboman di sekitar rumah. Mengerikan menurut Case. Itu adalah peristiwa yang tidak dapat dilupakan dalam hidupnya.

“We ended up staying at the Corner house. It was a meat store. It had a big walk in freezer with big brick walls. When the English came with their tanks. They shot up every corner of the house. It was about ½ hour to an hour long. No one in the freezer got hurt but in the same places, the thick walls were reduced to inches”, cerita Case yang menyaksikan pasca pemboman tentara Sekutu di sekitar persembunyiannya.

Case dan keluarga di depan rumah Jalan Embong Kemiri.

Setelah pemboman terjadi dan tidak ada suara lagi dan suasana aman, mereka sempat keluar rumah. Bahkan ibu Case sempat melihat serpihan pecahan peluru dan memungutnya. Lalu menyimpannya.

“Outside the freezer house, we picked these shells up like shells at the beach. My mom kept them and I brought them with me in 1960”, tambah Case.

Hingga kini, Case masih mengoleksinya dan menjadikan bukti peristiwa Surabaya yang tak pernah ia lupakan.

Ayah Case Penasehat Hukum Walikota Surabaya

Perang usai. Pada 1947, keluarga Case kembali ke rumah keluarga di Jalan Embong Kemiri 20. Namun, masih belum bisa bersatu dengan sang bapak. Bapaknya masih di Burma sebagai POW (prisoner of war).

Malam perpisahan di kediaman Walikota Surabaya. Bapaknya Case dan ibunya di depan walikota R Moestajab (berkaca mata).

Tahun 1949, J. J. Van der Linden pulang dan bersatu dengan keluarga. Mereka hidup bahagia dan semakin bahagia karena J. J van der Linden, yang sudah kenal dengan pejabat Surabaya, mulai bekerja di pemerintah kota Surabaya yang waktu itu walikotanya dijabat H. Doel Arnowo. Menurut Case, bapaknya memiliki hubungan yang baik dengan Doel Arnowo, yang juga sebagai tokoh pejuang Surabaya. Doel Arnowo tercatat sebagai wali kota Surabaya mulai tahun 1950 – 1952. Lalu walikota Surabaya berganti ke R. Moestajab Soemowidagdo (1952 – 1956).

Di bawah kepemimpinan walikota Moestajab, J. J. Van der Linden menjadi penasehat hukum walikota. Peranan J. J. Van der Linden kala itu cukup besar di lingkungan pemerintahan kota Surabaya. Terlebih setelah adanya peralihan kekuasaan dari pemerintah Belanda ke pemerintah Indonesia dan banyak nasionalisasi yang terjadi dan membutuhkan pendampingan hukum. J. J. Van der Linden lah yang kala itu sebagai pendamping walikota untuk urusan urusan hukum dan pemerintahan.

Surabaya mulai membangun sebagai bagian dari pemerintahan baru Republik Indonesia. Kala itu umur Indonesia masih seumur jagung. Belum genap 10 tahun. Namun pada tahun 1954, keluarga van der Linden harus berangkat ke Belanda. Pindah ke Belanda. Meninggalkan kampung halaman tercinta. Surabaya.

Menurut Case, keluarga van der Linden sudah lima generasi tinggal di Surabaya. Bahkan makam keluarga van der Linden masih berada di Makam Belanda Peneleh. Satu batu prasasti dari buyut nya sudah hilang, kecuali nisan prasasti dari adik bapaknya yang bernama Sylvia, yang masih tertempel di sana.

Pada tahun 1978, bapaknya sempat berkunjung ke Surabaya beserta keluarga. Termasuk mengajak Case van der Linden. Kedatangannya ke Surabaya untuk memugar makam keluarga. J. J. Van der Linden sempat mencoba menghubungi kawan kawan sesama pejabat di pemerintahan kota Surabaya, tapi terkabar sudah meninggal dunia. Termasuk Doel Arnowo yang meninggal pada 1985. Sementara mantan walikota R. Moestajab Soemowidagdo meninggal pada 1956.

Case van der Linden dan keluarga kini tinggal di Amerika Serikat.

Selain merenovasi makam keluarga di Makam Belanda di Peneleh, mereka sempat melihat jejak jejak mereka di Jalan Embong Kemiri, kediaman Walikota Surabaya serta Balai Kota. Tidak lupa rumah di jalan Coen Boulevard yang selanjutnya berubah nama menjadi Jalan Polisi Istimewa.

Bagi Case, Surabaya menyimpan banyak kenangan. Surabaya adalah kampung halaman. Ia tidak bisa melupakannya meski ia sudah berkwarganegaraan Amerika Serikat.[Nanang]

10 NovemberCase Van Der LindenHari Pahlawan