Denok Deblong #3

Ditinggal Minggat Ayahnya

Oleh: Jendra Wiswara

Pernah suatu saat, ada dua laki-laki berusaha merebut cinta ibunya, Nini Denok bercerita. Ibunya saat ini memang penari primadona.

“Dan, itulah yang akhirnya membuat ibu berhenti menjadi penari. Karena, beliau merasa sering membuat masalah buat orang. Dia merasa, banyak laki-laki yang berusaha merebut cintanya.” 

Nini Denok tersenyum.

Bibirnya mengembang. Agak tipis dan menembar pesona.

Melihat wajahnya, tentu bisa dibayangkan bagaimana wajah ibunya saat masih menjadi penari. Bisa juga dibayangkan bagaimana para lelaki merebut cinta pada penari.

Senyumnya memang mistis. Mengundang misterius. Menembus ke wilayah paling primitif: birahi!

* * *

Udara mulai dingin. Nini Denok mondar-mandir. Dari tempat kompor gas menuju tempat gelas.

Pantatnya megal megol. Bergoyang. Padat. Pemandangan indah bagi yang memandang.

Sepertinya, darah penari begitu kuat di tubuh Nini Denok. Setiap gerakan tubuhnya, setiap libasan tangannya pada rambutnya yang panjang, setiap gerakan pantatnya, sepertinya benar-benar diatur.

Gerakan-gerakan itu seolah memanggil, memompa lelaki untuk membangkitkan syahwatnya. Sampai kemudian, ia tertawa.

Itu terjadi waktu ia ditanya:

“Nini cantik. Ibunya tentu cantik juga. Dan pasti, ayahnya tampan?’’

‘’Ha… ha… ha… Berarti Mase kenal ayah saya ya? Lha wong aku sendiri tidak kenal siapa ayahku,’’ kalimatnya terdengar seenaknya saja.

“Lho, kok?’’

“Iya. Dulu, ibuku pernah kawin. Terus ditinggal. Terkadang, para penari yang menikah tidak dihargai oleh pasangannya. Tapi tidak semua. Banyak juga penari yang mendapatkan kebahagiaan dari pasangannya. Mungkin apesnya ibu saja mengalami kejadian itu,’’ kalimatnya mulai tenang sambil membawa segelas kopi hangat.

Sampai kini, Nini Denok tak tahu siapa ayah kandungnya. Masalahnya dulu, saat ibunya sedang mengandung dirinya, bapaknya kabur dengan perempuan lain.

Perempuan ini kemudian berkisah tentang perjalanannya menjadi penari. Saat itu, hujan di luar warung mulai deras. Airnya menggenang. Jalanan dipenuhi air, yang terus merembes menuju lereng gunung. Udara begitu dingin. Sesekali petir menyambar. Suaranya menyebar ke gunung. 

“Pada usia sepuluh tahun, ibu sudah mengajariku menari.”

Ia kemudian tertunduk diam. Matanya berlarian ke luar. Menatapi hujan yang tak juga reda. Agak lama ia tak berbicara.

Mungkin, di air hujan, ia melihat masa kecilnya. Ia mungkin masih merasakan, bagaimana tangan mungilnya, jari-jarinya yang lentik, dipegangi sang ibu untuk menirukan gerak tari. Gerak yang begitu pelan, dalam itungan gamelan: ’’Ji… Ro… Ji… Ro… Ji!’’

“Kata nenek saat aku masih di gendongan, ibu sering bilang kalau besar nanti aku harus menjadi penari yang termasyhur seperti dia.’’

Dia berhenti lagi. Ia kembali ke dapur dan balik membawa kopi yang telah diseduh. Kopi itu buatannya sendiri: digiling sendiri. Kopi yang dicampur jagung. Kopi yang sangat kental.[bersambung]

 

denok
Komentar (0)
Tambah Komentar