REKAYOREK.ID Tubuhnya kurus kering, wajah pucat, kurang istirahat. Ia mengalami sakit paru-paru dan harus dioperasi. Sehingga saat keluar masuk hutan bersama pasukannya, dia harus ditandu.
Dengan satu paru-paru, keadaan Panglima Besar Jenderal Sudirman benar-benar sangat lemah. Namun demikian, semangat dan kecintaan terhadap Tanah Air membuat lelaki kurus ini justru diperhitungkan. Belanda pun dibuat kalang kabut.
Pak Dirman, sebutan Jenderal Sudirman, memilih jalan gerilya karena suatu kondisi. Dengan jumlah pasukan, persenjataan dan logistik yang minim, tidak memungkinkan bagi pasukan Indonesia untuk berhadap-hadapan dengan Belanda.
Untuk urusan bela negara, Pak Dirman memang tak kenal kompromi. Ia telah mengambil sumpah jabatan untuk melindungi negara sampai mati. Sumpah yang ia tulis lalu ia bacakan sendiri saat pelantikannya sebagai panglima besar. Sementara Presiden Soekarno dan seluruh panglima divisi hanya menyaksikan dan mengamini pembacaan sumpah sakral itu.
Setelah membuat keputusan penting: ia keluar dari Kota Yogyakarta untuk berperang gerilya dan mulai memetakan rute gerilya.
Gunung Wilis dipilih menjadi tujuan akhir perjalanan mereka. Gunung Wilis dinilai strategis karena di tempat itu, panglima setempat telah menyiapkan Markas yang dilengkapi pemancar radio. Fasilitas itu memudahkan panglima untuk mengirimkan komando ke anak buahnya ke penjuru tanah air.
Ya, dalam perang gerilya, tugas prajurit bukan cuma memanggul senjata seperti lazimnya perang, melainkan juga memanggul ideologi. Bukan bukan cuma pelopor pertempuran tetapi pelopor ideologi.
Sejarah menunjukkan perang gerilya yang dipimpin Pak Dirman senantiasa sebagai pelopor perjuangan ideologi. Rakyat yang tertindas, rakyat yang terjajah, rakyat yang teraniaya oleh pendudukan, mengepalkan tangannya untuk mengenyahkan penjajahan, si penindas dan si penduduk yang kejam. Penderitaan perjuangan akan terasa ringan jika dipikul bersama dibandingkan dengan kesengsaraan penindasan, penjajahan dan pendudukan yang kejam.
Strategi gerilya Pak Dirman ini kemudian menjadi puncak kegemilangan perjuangan anak bangsa. Strategi itu berhasil mempersulit Belanda dan kemudian dicontoh Vietnam dalam perang melawan Amerika Serikat. Bahkan Che Guevara yang dikenal tokoh revolusioner juga melakukan hal serupa (perang gerilya) sebelum menumbangkan kediktatoran rezim Kuba.
Dalam memimpin perang gerilya melawan Belanda sejak Desember 1948 hingga Juli 1949, Pak Dirman tidak main-main. Dan, ia tidak pernah sekalipun tertangkap. Bersama pasukannya, Pak Dirman telah menempuh perjalanan selama tujuh bulan sepanjang 1.000 kilometer.
Rute gerilya Pak Dirman menjadi sangat legendaris. Dia memulai taktik perang gerilya dari wilayah Yogyakarta dengan memasuki wilayah Mataraman. Wilayah Mataraman dipilih karena bukan tanpa alasan.
Menurut Achmad Zainal Fachris, sejarawan dan penggiat Komunitas Budayawan Eling Handarbeni Hangrungkepi Upaya Madya (Edhum) Kediri mengatakan, rute Pak Dirman menyusuri wilayah tertimur (Mataraman) hingga kembali ke barat dan berakhir di Yogya lagi, karena hasil perjanjian Renville wilayah Republik menyempit.
Disebutkan saat itu wilayah Arek sudah dikuasai Belanda. Jika masuk wilayah itu sama dengan bunuh diri. Dan yang tersisa adalah wilayah Mataraman. Di wilayah ini, Pak Dirman dan pasukannya menuju ke kantung-kantung gerilya yang jumlah massanya besar.
“Saat sampai kantung gerilya, Sudirman pun menggelorakan agar ikut serta melawan tentara Belanda,” ujar Zainal.
Kediri, Ponorogo, Trenggalek, Pacitan, dan Nganjuk dipilih karena masa itu memiliki pendukung besar. Hal itu bisa dirunut dari banyaknya mantan tentara yang berasal dari santri pondok. Pasalnya, pesantren-pesantren di wilayah Mataraman adalah basis massa bekas prajurit Pangeran Diponegoro.
“Sang Jenderal juga menyasar para pasukan Hisbullah maupun Sabilillah yang berasal dari kaum santri untuk ikut bergerilya,” terangnya.
Rute yang ditempuh Pak Dirman, yakni Yogyakarta, Bantul, dusun Bakulan (Kecamatan Jetis, Bantul), Kretek (Kecamatan Kretek, Bantul), dusun Grogol (Desa Parangtritis Kecamatan Kretek, Bantul), Parangtritis (Kecamatan Kretek, Bantul), Panggang (Kecamatan Panggang, Gunungkidul), Paliyan (Kecamatan Paliyan, Gunungkidul), Playen (Kecamatan Playen, Gunungkidul), Wonosari, Semanu, Bedoyo (Ponjong, Gunungkidul), Pracimantoro (Pracimantoro, Wonogiri), Eromoko, Wuryantoro, Wonogiri, Jatisrono (Wonogiri), Purwantoro (Wonogiri), Sumoroto (Kauman, Ponorogo), Ponorogo, Jetis (Jetis, Ponorogo), Sambit (Sambit, Ponorogo), Sawoo (Sawoo, Ponorogo), Nglongsor (Tugu, Trenggalek), Trenggalek, Kalangbret, Tulungagung, Kediri, Karangnongko, Goliman (Desa Parang Banyakan, Kediri), Bajulan (Loceret, Nganjuk), Salamjudeg, Makuto, Sawahan, Ngliman (Nganjuk), Gedangklutuk, Wates, Serang, Desa Jambu (Ponorogo), Desa Wayang (Pulung Ponorogo), Dusun Banyutowo (Pulung, Ponorogo), Desa Sedayu (Ponorogo), Dusun Warungbung (Sooko, Ponorogo), dusun Gunungtukul (Desa Suru Sooko, Ponorogo), Desa Ngindeng (Kecamatan Sawoo, Ponorogo), Desa Tumpakpelem (Kecamatan Sawoo, Ponorogo), Nglongsor (Kecamatan Tugu, Trenggalek), Trenggalek (Trenggalek), Karangan (Kecamatan, Karangan, Trenggalek), Suruhwetan (Suruh Trenggalek), Dongko (Trenggalek), Panggul (Kecamatan Panggul, Trenggalek), Desa Bodag (Panggul, Trenggalek), Desa Nogosari (Ngadirojo, Pacitan), Gebyur, Pringapus (Tulakan Pacitan), Desa Wonosidi (Tulakan, Pacitan), desa Ketro (Tulakan Pacitan) dusun Wonokerto (Kecamatan Nawangan, Pacitan), Tegalombo (Tegalombo, Pacitan), Mujing (Nawangan, Pacitan), Nawangan (Nawangan, Pacitan), Ngambarsari (Kecamatan Karangtengah, Wonogiri), Dusun Sobo (desa Pakisbaru, Kecamatan Nawangan, Pacitan). Kembali ke Yogyakarta : dusun Sobo (desa Pakisbaru, Kecamatan Nawangan, Pacitan), Tirtomoyo (Kecamatan Tirtomoyo, Wonogiri), Baturetno (Kecamatan Baturetno, Wonogiri), dusun Pulo (desa Kasihan kecamatan Ngadirojo Wonogiri), Karangbendo (Wonogiri), Ponjong (Kecamatan Ponjong, Gunungkidul), desa Karangmojo (Kecamatan Karangmojo, Gunungkidul), desa Gari (Kecamatan Wonosari Gunungkidul), Piyungan (kecamatan Piyungan, Bantul), Prambanan (Kecamatan Prambanan, Sleman).
Rute gerilya tidak mengenakkan
Selama gerilya, pasukan Pak Dirman kadang melakukan tugas yang berbeda, tidak sekedar perang. Mereka harus mencari bahan makanan, keluar masuk desa menginap di rumah penduduk, merawat yang luka, menandu Pak Dirman atau kawan terluka hingga berkilo-kilo jauhnya.
Gerilya Pak Dirman dilakukan secara sembunyi-sembunyi, mengepung daerah pertahanan musuh, melakukan serangan dengan mendadak dan kemudian menghilang di kegelapan malam atau masuk ke daerah persembunyian di hutan-hutan dan gunung-gunung. Tak terhitung, berapa kali mereka berhadapan dengan serdadu Belanda selama bergerilya.
Sebagian pasukan pengawal gugur dalam pertempuran. Banyak prajurit yang bertempur di kota menyusul Pak Dirman untuk menambah kekuatan. Rute gerilya sangat tak mengenakkan di wilayah selatan, melalui Gunung Kidul. Rute ini dikenal daerah rawan kekurangan pangan.
Di sini Pak Dirman dan pasukannya berada di titik nadir, antara hidup dan mati. Mereka sangat kelaparan. Asupan gizi kurang. Makanan bergantung dari warga yang ikhlas mengirim bantuan makanan. Jika tak ada bantuan makanan, mereka terpaksa memakan buah-buahan yang ditemui di hutan untuk bertahan hidup.
“Bagaimana kami bertahan hidup selama berbulan-bulan bergerilya? Jawabannya adalah mukjizat Tuhan. Karena kami sering tidak makan, bahkan sampai tiga hari tidak makan,” terang Ajudan II Jenderal Soedirman, Mayor Purnawirawan Abu Arifin.
Meski keadaan Pak Dirman sangat lemah, tetapi dia masih memikirkan anak buahnya. Bahkan dia menawari pasukannya yang tidak kuat agar kembali ke kota. “Apa jawaban kami, tidak ada dari kami (prajurit) yang mau kembali, karena kami sudah seiya sekata dengan panglima sampai mati,” kata Abu.
Saat paling mengerikan saat tentara Belanda mengepung Pak Dirman di hutan rotan sekitar Kediri hingga 5 hari 5 malam. Itu kondisi sangat genting. Kesehatan Pak Dirman semakin menurun. Sakitnya kian parah. Ia tak bisa lagi digendong. Untuk memulihkan kondisi, Pak Dirman butuh asupan makanan. Sementara para pejuang sendiri juga menahan lapar karena berhari-hari tertawan di hutan. Di saat yang sama, serdadu Belanda tetap mengepung dan tak memberikan ruang untuk memperoleh bantuan makanan.
Namun Ajudan 1 Soepardjo Rustam alias Pardjo memilih ambil risiko. Ia mencoba keluar hutan meski kawasan itu telah dikepung tentara Belanda. Pardjo harus bisa keluar hutan menuju desa terdekat untuk mendapatkan makanan, bagaimanapun caranya.
Tidak ada benda berharga yang dimiliki pengawal untuk ditukar dengan makanan ke penduduk desa. Pardjo akhirnya mengangkut kemeja usang dan sarung bekas dengan harapan bisa dibarter dengan nasi.
Ia mencari pos pasukan Belanda yang paling lemah. Dari situ, ia berusaha menyelinap meski maut tetap mengintai. “Boro-boro dapat nasi, rakyat saja susah cari makan. Akhirnya kemeja dan sarung itu ditukar dengan oyek (tiwul),” kenang Pardjo.
Tak pernah berhenti berdzikir
Di mata anak buahnya, Pak Dirman dikenal sosok penyabar dan saleh. Bahkan dalam kondisi sakit saat bergerilya di hutan, dia tidak pernah berhenti berdzikir. Menurut orang-orang yang pernah terlibat dalam gerilya, itulah rahasia kekuatan Pak Dirman.
Pernah suatu ketika, Pak Dirman nyaris ditangkap Belanda. Ada salah satu anak buahnya yang berkhianat dan memberitahu tempat persembunyian Pak Dirman. Belanda lantas mengepung. Pak Dirman yang juga seorang santri lantas memilih tidak bersembunyi. Dia malah ikut menggelar doa tahlilan bersama prajuritnya di rumah penduduk. Begitu para tentara musuh menyergap persembunyian Pak Dirman, mereka tidak percaya bahwa yang sedang tahlilan itu adalah Jenderal Sudirman.
Kesalehan Pak Dirman lainnya juga ditunjukkan saat ditanya oleh anak buahnya. Mereka bertanya mengapa Pak Dirman kuat bergerilya padahal kondisinya sedang sakit. Sudirman saat itu menjawab sambil tersenyum. Dia bilang bahwa dia tidak pernah “gantung wudu”. Artinya, dia selalu berwudu.
“Kamu mau tahu jimatku? Kamu tahu air kendi yang selalu aku bawa ini? Jimat pertamaku, aku selalu dalam keadaan suci. 24 jam setiap hari aku menjaga wudhu. Kalau batal aku langsung wudhu lagi. Jimat keduaku, aku menjaga salatku. Jimat ketigaku, aku berjuang hanya untuk negara dan bangsa ini tanpa pernah secuil pun memikirkan diriku pribadi,” jawab Pak Dirman.
Setiap bertemu dengan penduduk desa, Pak Dirman selalu minta air di dalam kendi untuk berwudhu. Menurut Sardiman, sejarawan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), hal itu menguatkan anggapan jika kekuatan Sudirman pada air wudhu. Dia juga berprinsip tidak pernah meninggalkan salat dalam keadaan apa pun. Jika tidak bisa berdiri, ia salat dalam keadaan duduk. Jika tidak bisa duduk, salat dilakukan dengan berbaring.
Hampir semua orang tahu Pak Dirman sangat dekat dengan Islam. Para anak buahnya bahkan kerap memanggil Pak Dirman dengan sebutan Kajine, istilah Jawa untuk panggilan Pak Haji. Padahal dia belum pernah ke Mekkah.
Dalam perjalanan gerilya, setiap mampir di pedesaan atau kampung, Pak Dirman selalu menyelenggarakan pengajian. Tiap malam, walau ia tengah menderita penyakit paru-paru yang kronis, Pak Dirman selalu menunaikan salat tahajud. Maklum, Pak Dirman dulunya berasal dari keluarga santri.
“Dengan menjaga wudhu, salat dan rajin puasa itulah, Pak Dirman selalu ikhlas berjuang untuk rakyat. Sikap prihatinnya juga tampak ketika dia menghadapi masalah dan selalu sabar dalam mencari solusi,” tutur Sardiman.
Di kalangan tentara dan masyarakat, Pak Dirman kerap mengobarkan semangat jihad. Hubungan dengan pesantren-pesantren diugemi sebagai kedekatan antara santri dan ulama. Sebagai contoh, pada waktu pertempuran di Magelang, kemudian di Ambarawa, Pak Dirman sering ada di Payaman (sebelah utara Magelang) dan bekerja sama dengan pondok pesantren yang dipimpin Kyai Siraj. Pesantren ini banyak menggiring santrinya untuk berjihad dalam pertempuran Ambarawa.
Bukti lain Pak Dirman dekat dengan perjuangan Islam adalah pada pertengahan tahun 1946, beliau mengunjungi laskar Hisbullah-Sabilillah Surakarta yang sedang mempersiapkan kembali maju ke medan perang di Alas Tuo dan Bugen. Waktu itu diadakan pertemuan di rumah Kyai H. Adnan di Tegalsari, Surakarta. Kedatangan sang jenderal besar kontan makin menambah semangat juang anggota Hisbullah-Sabilillah yang tengah bersiap berangkat ke medan perang.
Keikhlasan yang dimiliki Pak Dirman selama gerilya, membuat rakyat menaruh hormat dan turut mendukung perjuangannya. Setiap perjalanan gerilya Pak Dirman, selalu mendapat tempat di hati warga.
Salah satu persinggahan Pak Dirman di Desa Bajulan, Kecamatan Loceret, Kabupaten Nganjuk, Menjadi lokasi untuk mengecoh lawan. Di sini semangat warga melindungi Pak Dirman dan pasukan sangat kentara.
Tukiyem, 80, wanita asal Dusun Salam Judeg Desa Blongko Kecamatan Ngetos menceritakan dia menjadi saksi hidup rumahnya pernah disinggahi oleh Pak Dirman yang sedang menghindar dari kejaran Belanda.
Dalam ingatan Tukiyem, saat Belanda melakukan serangan di persinggahan Pak Dirman di Bajulan, kala itu pasukan memilih berpindah tempat dan menginap di rumah Tukiyem.
Sekitar pukul 15.00 WIB, saat itu Pak Dirman ditandu oleh pasukannya singgah dan diantar oleh Radi, seorang perangkat desa yang merupakan paman Tukiyem. Saat itu usia Tukiyem masih tujuh tahun dan dia tinggal bersama ibunya Rakiyem.
“Kulo tasih iling pas dugi teng griyo enten suwanten bledosan dateng ngandap mriko (Saya masih ingat ketika datang ke rumah, ada suara ledakan di bawah sana),” ujar wanita lanjut usia ini.
Demi keamanan pasukan, Tukiyem diwanti-wanti ibunya agar merahasiakan keberadaan tamu besar dan memanggil Pak Dirman dengan sebutan Pakde (paman).
Kenangan lain yang dirasakan Tukiyem adalah saat dipan (tempat tidur dari bambu) miliknya yang terletak di ruang tengah rumah, tempat ia biasa istirahat digunakan untuk tidur oleh Sudirman. “Namung sewengi nginep terus mlampah maleh pas srengenge mletek (hanya semalam menginap lalu pergi lagi saat matahari terbit),” terang Tukiyem.
Yang paling diingat Tukiyem saat ia diminta untuk memasak dan menyajikan kepada pasukan Sudirman. Kala itu yang paling mungkin dan mudah didapat adalah memasak daun ubi kayu yang dikenal beracun. Ia dan ibunya menyajikan makanan dengan ikhlas. Istilah beracun itu bukan berarti daun yang mereka sajikan mengandung racun.
“Kulo kaleh biyung dikengken masak godhong ron racun. Ning nggih mboten mendemi (saya sama ibu diminta memasak daun singkong racun. Tapi ya tidak mematikan),” imbuh Tukiyem sambil pandangannya menerawang mengingat sesuatu.
Selama menginap di rumah Tukiyem, Pak Dirman dan pasukannya sempat menggali lubang sedalam satu meter di belakang rumahnya. Lubang itu dipakai untuk mengubur sejumlah dokumen penting yang dibawa Pak Dirman dari Desa Bajulan. Hingga kini menjadi sesuatu yang masih dirahasiakan dan tidak ada satupun yang mengetahui. “Mboten enten sing ngertos (tidak ada yang tahu),” kenang Tukiyem.
Adapun kenangan terakhir Pak Dirman sebelum berpisah dengan Tukiyem, dia berpesan agar kelak Tukiyem jangan menikah dengan tentara. “Pesan Pak Dhe, ojo rabi karo tentara, mergo ditinggal lungo nek usum perang, rabio karo tani sing iso mulyakne wong luwe (Pesan Paman, jangan menikah dengan tentara, jika musim perang ditinggal pergi, menikahlah dengan petani yang bisa mensejahterakan orang lapar),” pungkasnya.
Pak Dirman adalah satu contoh pemimpin yang mendedikasikan perjuangan untuk hal-hal yang tidak bersifat material. Keikhlasannya menjadi sumber kekuatan. Dia pun menjadi istimewa di mata rakyat. Dan, rakyat pun membalasnya dengan ikhlas.[]