REKAYOREK.ID Pemberian gelar Doktor dan Profesor Honoris Causa alias Dr Prof (HC) kepada Megawati Soekarnoputri dari Universitas Pertahanan (Unhan) pada Jumat (11/6/2021), menjadi heboh.
Sebabnya, gelar itu diberikan setelah Megawati menulis sebuah jurnal sebagai syarat untuk mendapatkan gelar Doktor dan Profesor Kehormatan.
Jurnal berisi 18 halaman yang ditulis Megawati berjudul Kepemimpinan Presiden Megawati pada Era Krisis Multidimensi, 2001-2004. Megawati dalam paper yang dibuatnya memuji kepemimpinan Presiden ke-5 RI. Dokumen itu dipublikasikan di Jurnal Pertahanan dan Bela Negara edisi April 2021, Volume 11 Nomor 1 keluaran Unhan.
Pemberian gelar ini menjadi heboh terutama di kalangan mahasiswa. Pasalnya mereka meyakini pemberian gelar terhadap Megawati terlalu mudah. Padahal untuk menyandang gelar doktor harus menempuh studi akademis yang cukup panjang. Dimulai dari jenjang sarjana (S1), magister (S2), barulah bisa meraih gelar doktor jika menyelesaikan studi doktoral (S3).
Terlepas dari kehebohannya, sejauh ini pemberian gelar doktor dari universitas kerap diberikan pada seseorang tanpa harus menempuh jalur pendidikan yang panjang dan melelahkan. Ya, Gelar doktor itu sifatnya pemberian dari perguruan tinggi atas kontribusi si penerima yang dianggap bernilai bagi pendidikan dan kehidupan masyarakat.
Dalam catatan sejarah, dari Presiden Indonesia pertama hingga sekarang, hampir semuanya mendapatkan gelar doktor kehormatan (HC). Mulai dari presiden pertama Sukarno hingga putrinya, Megawati Soekarnoputri yang menjabat sebagai presiden kelima.
Namun, hanya dua presiden saja yang tak memiliki gelar tersebut, yakni Soeharto dan Joko Widodo.
Dimulai dari Sukarno. Melansir perpusbungkarno.perpusnas.go.id, bapak Proklamator sekaligus Presiden pertama RI tersebut menjadi presiden dengan gelar doktor HC terbanyak. Sukarno mengoleksi 26 gelar doktor HC.
Dari 26 gelar doktor tersebut, 19 di antaranya diberikan oleh universitas luar negeri. Tujuh sisanya dari dalam negeri. Sukarno menerima gelar doktor dari berbagai studi ilmu yang berbeda.
Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono menjadi pemilik gelar doktor HC terbanyak kedua setelah Sukarno. Ia menerima 12 gelar doktor kehormatan dari berbagai universitas. Salah satunya dari universitas ternama Amerika Serikat, yakni Webster University Saint Louis Missourri.
SBY merupakan salah satu presiden yang memiliki latar belakang akademik mentereng. Ia pernah bersekolah di Command and General Staff College, Fort Leavenworth, Kansas, AS. Ia juga meraih gelar Master of Art (MA) dari Management Webster University, Missouri, AS dan Doktor dalam bidang Ekonomi Pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB) pada 2004. Sepuluh tahun berselang, ia dinobatkan sebagai Guru Besar Ilmu Ketahanan Nasional dari Universitas Pertahanan Indonesia (Unhan).
Selanjutnya, mantan Ketum PBNU yang menjadi Presiden ke-4 RI, KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menjadi presiden dengan gelar doktor HC terbanyak ketiga. Tokoh yang terkenal dengan gaya bicaranya “gitu aja kok repot” ini memiliki 10 gelar doktor kehormatan.
Berikutnya Ketum PDIP, Megawati Seokarnoputri, yang juga Presiden ke-5 RI, memiliki gelar doktor HC dari sembilan universitas berebeda, dalam dan luar negeri.
Lalu ada Baharudin Jusuf Habibie yang memiliki gelar doktor kehormatan paling sedikit dari 4 presiden tadi. Habibie hanya memiliki tiga gelar doktor kehormatan. Sebelum itu, Habibie hanya menghabiskan waktu enam bulan untuk studinya di ITB. Hal ini karena setahun kemudian ia memilih untuk melanjutkan pendidikan di Rhenisch Wesfalische Tehnische Hochscule (RWTH), Aachen, Jerman.
Selama 10 tahun, mulai dari tahun 1955 hingga 1965, Habibie menempuh studi teknik penerbangan di RWTH. Ia meraih dua gelar sekaligus, yaitu Diplom Ingenieur pada tahun 1960 dan Doktor Ingenieur pada tahun 1965 dengan predikat summa cum laude. Meski memiliki gelar paling sedikit namun beliau punya sangat banyak hak paten di dunia sains.
Lalu bagaimana dengan Presiden Soeharto dan Presiden Jokowi?
Untuk Jokowi, dia menolak gelar honoris causa lantaran merasa nyaman dengan titel insinyur dari Universitas Gajah Mada pada 1985.
Hal ini diungkapkan Menteri Sekretaris Negara Pratikno saat menerima rombongan panitia Hari Pers Nasional (HPN) 2018 beberapa waktu lalu.
Pratikno menyebut sudah ada 21 lembaga yang ingin memberikan gelar HC kepada Jokowi. Salah satunya, dari catatan detik.com yang pernah berencana memberikan gelar honoris causa adalah Universitas Muhammadiyah Surakarta seperti disampaikan rektornya, Prof Dr Bambang Setiaji pada 2013.
Namun, saat itu Jokowi menyatakan dirinya belum layak mendapatkan gelar tersebut. Menurut Pratikno, Jokowi paling tersenyum kalau diberitahu ada yang akan memberikan gelar HC.
“Saya ini kan gelarnya insinyur, bukan doktor he-he-he…” sampai Pratikno menirukan ucapan presiden.
Namun yang menarik Soeharto. Ketika para presiden lain ‘mengoleksi’ sekian banyak gelar Doktor Kehormatan (DR HC) dari dalam dan luar negeri, Soeharto justru menolaknya. Padahal Soeharto bisa berkuasa selama 32 tahun dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Namun rupanya Soeharto tak silau dengan gelar akademis. Kenapa?
Mengutip buku Jejak Langkah Pak Harto 27 Maret 1973-23 Maret 1978, Rektor UI Prof Mahar Mardjono, memutuskan untuk menganugerahkan gelar Doktor Honoris Causa kepada Presiden Soeharto dan mantan Wakil Presiden Mohammad Hatta.
Sayangnya, Presiden Soeharto menolaknya. Sorharto menyatakan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya atas keputusan UI itu.
Soeharto berpendapat bahwa belum waktunya menerima penghargaan tersebut. Dalam hubungan ini, Soeharto meminta agar UI melaksanakan pemberian penghargaan itu pada waktu yang tepat di kemudian hari.
Satu-satunya gelar bagi Soeharto terkait kinerjanya sebagai Presiden adalah gelar ‘Bapak Pembangunan’ dari MPR pada 1983. Gelar itu ditetapkan resmi melalui Tap MPR No V tahun 1983. Menteri Penerangan Ali Moertopo berada di balik pemberian gelar tersebut.
Selain gelar sebagai Bapak Pembangunan, selain gelar akademis, Soeharto menyandang pangkat kehormatan lima bintang. Pemberian pangkat kehormatan dilakukan saat Hari Ulang Tahun (HUT) Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) ke-52 pada 5 Oktober 1997.
Menurut Panglima ABRI Jenderal Faisal Tanjung saat itu, pangkat kehormatan kepada Presiden diberikan dengan pertimbangan (Presiden Soeharto) berhasil memimpin tiga operasi militer yaitu Serangan Umum 1 Maret (1949), Trikora dalam Perebutan Irian Barat (1962) dan menumpas pemberontakan G30S/PKI (1965). Sehingga tidak ada kaitannya dengan posisi Soeharto sebagai Presiden RI merangkap Panglima Tertinggi ABRI.
Melansir Wikipedia.org, sejauh ini pangkat kehormatan (jenderal) bintang lima hanya dipegang oleh tiga orang saja. Yakni Jenderal Besar Soedirman, Jenderal Besar Abdul Haris Nasution, dan Jenderal Besar Soehrto.[]