Jurnalis Bergerak Marco Kartodikromo

Gaya tulisan Marco berbahasa melayu yang penuh sindiran menjadi senjata untuk melawan kekuasaan kolonial. Di mana pun Marco berada, dia selalu lekat dengan delik pers.

REKAYOREK.ID Perjuangan pers dari masa ke masa banyak mengalami perubahan. Perubahan terletak pada pergerakannya. Pers di masa kini dipakai sebagai alat untuk mencapai tujuan. Pers bukan dipakai melawan ketidakadilan melainkan sebagai “penerus” kekuatan si pemodal. Bermunculannya pers partisipan di tengah-tengah kondisi politik yang sedang hangat merupakan keniscayaan.

Bedanya dengan pers jaman dulu, perjuangan diraih dengan penuh peluh keringat dan darah. Mereka percaya dengan kekuatan pena, mampu mengalahkan pedang dan senjata. Mereka-mereka ini memiliki semangat yang sama yaitu bebas dari penjajahan. Gerakan menuntut kemerdekaan kemudian direkam dalam sebuah karya tulis.

Mereka hadir untuk mewakili masyarakat yang mendambakan hajat hidup lebih baik dari berbagai sisi seperti ekonomi, sosial, pendidikan, kebudayaan, kepemudaan, dan lainnya. Mereka menjadi penggerak dan pelopor.

Di antara mereka ada Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo, tokoh pers asal Blora. Tirto turut andil dalam kebangkitan nasional Indonesia dengan menggunakan surat kabar sebagai alat propaganda dan pembentuk pendapat umum.

Dia dikenal juga sebagai perintis persuratkabaran dan kewartawanan nasional Indonesia, ditetapkan sebagai Bapak Pers Nasional pada 1973. Surat kabar yang pernah ditanganinya antara lain Soenda Berita (1903-1905), Medan Prijaji (1907) dan Putri Hindia (1908).

Perlu diketahui, Medan Prijaji adalah surat kabar nasional pertama yang menggunakan bahasa Melayu (bahasa Indonesia). Dan seluruh pekerjanya adalah orang Indonesia asli. Dan pendiri Medan Priyayi dianggap sebagai wartawan pertama.

Di Medan Prijaji ini ada seorang wartawan tangguh, berani dan cerdik. Namanya Mas Marco Kartodikromo. Boleh dibilang Marco adalah murid kesayangan Tirto Adhi Soerjo. Dia belajar sangat cepat. Seperti dalam tulisan Pramoedya Ananta Toer di Sang Pemula, Marco diceritakan sebagai pemuda penuh semangat. Berasal dari keluarga priyayi rendahan, namun idealisme yang dijunjung Marco sangat tinggi. Terutama bila sudah berhadapan dengan pemerintah kolonial.

Medan Prijaji adalah surat kabar nasional pertama yang menggunakan bahasa Melayu.

 

Marco merupakan pemuda yang giat. Untuk menjadi seorang wartawan, dia sangat cepat beradaptasi dengan dunia jurnalistik. Awalnya Marco seorang pegawai di Nederlansch-Indische Spoorweg (NIS) Semarang, sebuah perusahaan jasa angkutan kereta api pada tahun 1905. Di tempat itulah dia belajar bahasa Belanda. Marco kemudian berpindah haluan dari seorang pegawai menjadi seorang wartawan. Sebuah profesi yang sebenarnya tidak menjanjikan. Namun di sinilah dia menemukan kecocokan jiwa yakni membela kaum tertindas.

Pria kelahirkan Cepu pada 25 maret 1890 ini akhirnya mantap memilih jurnalis dianggap sebagai jalan untuk mengekspresikan dan membakar semangat kebangsaan agar segala bentuk kesewenang-wenangan oleh pemerintah kolonial dan usaha eksploitasi kapitalisnya.

Di Medan Prijaji inilah Marco terbentuk menjadi wartawan sekaligus politikus dan sastrawan. Juga, untuk pertama kalinya ia berjumpa dengan Suwardi Surjaningrat yang kelak dikenal dengan Ki Hajar Dewantara.

Selama bergabung dengan Medan Prijaji di Bandung pada tahun 1911, beberapa kali Marco terkena persdelict (delik pers) karena tulisan-tulisannya. Dia dipenjara selama 100 hari, mulai 23 November 1915-26 Februari 1916. Namun sempitnya jeruji penjara tidak meruntuhkan semangatnya dalam menulis. Tulisan-tulisannya sangat radikal dan masih orisinil. Bahkan Tirto Adhi Soerjo sempat dibuat “pusing” dengan tulisan Marco yang tiada henti-hentinya mengkritisi pemerintah.

Hingga akhirnya Medan Prijaji dibredel pemerintah kolonial, satu satu penyebabnya karena tulisan Marco. Namun hal itu rupanya tidak menyurutkan langkahnya untuk berekspresi. Marco kemudian bergabung dan dipercaya memimpin surat kabar Sarotomo, surat kabarnya Sarekat Islam di Solo. Lewat surat kabar Sarotomo, Marco banyak membuka polemik tentang berbagai masalah dengan penguasa setempat dan lawan politiknya di kalangan pergerakan. Beberapa kali ia terlibat perdebatan dengan Tjokroaminoto yang waktu itu juga memimpin Oetoesan Hindia di Surabaya.

Kiprah Marco Kartodikromo di dunia jurnalistik benar-benar membawakan suara dan perjuangan kaum pribumi di Hindia Belanda. Di masa itu, Marco bersama dengan Tjipto Mangoenkoesoemo dan Darnakoesoemo mendirikan perhimpunan jurnalis pertama, Indlandsche Journalisten Bond (IJB) di Solo pada pertengahan 1914 dengan gagasan menulis dalam Bahasa Melayu.

Dia juga menerbitkan Doenia Bergerak sebagai medium pergerakan IJB. Di Doenia Bergerak, Marco menjadikan kritik sosial sebagai ‘garis utama’, yang sebelumnya di Medan Prijaji masih menjadi kecenderungan saja.

Gaya tulisan Marco berbahasa melayu yang penuh sindiran menjadi senjata untuk melawan kekuasaan kolonial. Dengan berbagai peristiwa delik pers yang dihadapi Marco, di situlah muncul reaksi perlawanan dari kalangan pergerakan yang segera membentuk sebuah komite aksi untuk menentang pasal-pasal delik pers.

Menurut Marco, jurnalis harus bisa berdiri sendiri, juga harus keras hati dan tidak boleh main komidi guna mencari enak sendiri. Inilah prinsip Marco sebagai jurnalis. Setiap tulisannya adalah perlawanan terhadap ketidakadilan.

Dari berbagai karyanya, lahir sama rata sama rasa dan beberapa tulisannya di surat kabar senantiasa mengkampanyekan perlawanan terhadap Indie Weerbaar, yakni rencana penguasa kolonial untuk mengerahkan orang pribumi sebagai serdadu kolonial menghadapi ancaman dari luar. Meski akhirnya diberangus dan kembali ke dalam penjara.

Lekat dengan Delik Pers

Karya sama rata sama rasa Marco saat itu sangat ditakuti oleh Pemerintah Hindia Belanda.

Betapa tidak, karya keponakan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo ini berisi ungkapan realita sosial saat itu. Pada awal kehadiran Marco, berawal dari kesadarannya memahami realitas sosial yang timpang. Begitu pula yang terjadi pada Tirto Adhie Soerjo.

Syair sama rata sama rasa ditulis Marco saat berada dalam penjara kolonial dan dipublikasikan pertama kali dalam Sinar Djawa pada 10 April 1918. Bagi dia, di luar atau di dalam penjara, sama saja.

Sekeluarnya dari penjara, Marco kemudian dikirim ke Belanda oleh harian Pantjaran Warta. Selama di Belanda, Marco sangat terkesan dan terpengaruh oleh suasana kebebasan mengeluarkan pendapat. Ia juga mengagumi golongan sosialis Eropa, seperti Troelstra.

Kehidupannya di Belanda tersebut mengilhaminya untuk menulis novel Student Hidjo yang oleh Tanojo dinilai sebagai sebuah novel yang memberikan gambaran hidup bangsa Belanda dari berbagai segi. Tanojo menilai bahwa Student Hidjo berbeda dengan Rasa Merdika yang ditulis berdasarkan ajaran Karl Marx.

Pekerjaannya sebagai jurnalis yang memiliki dimensi intelektual bertujuan untuk mencerdaskan dan membantu pergerakan rakyat. Jika rakyat tidak pandai, maka penguasa kolonial dan kapital akan selalu menindas rakyat. Marco sadar betul bahwa ilmu pengetahuan tidak bersifat netral tapi selalu terkait dengan kekuasaan.

Novel Student Hidjo Karya Marco Kartodikromo.

 

Nah, Marco hadir dalam kondisi masyarakat mengalami kesulitan ekonomi, serta munculnya pengangguran di berbagai daerah. Menjamurnya gerakan perlawanan yang terorganisir dalam wadah organisiasi keagamaan maupun perkumpulan kaum terdidik, menjadikan ia mengenal alur berorganisasi dan tulis menulis.

Marco mengalami kondisi yang sama dengan apa yang dialami oleh pemuda Hindia Belanda saat itu. Takhasi Siraishi dalam bukunya Zaman Bergerak menyebut adanya “krisis pemikiran” oleh realitas sosial yang dikonfrontasikan dengan pengetahuannya dari ide-ide politik dunia Barat dengan realitas-realitas kejam di stasiun-stasiun kereta dan pabrik, ketika sang Boemiputra harus diam menerima makian dan tamparan dari tuan kulit putih.

Komitmen perlawanan dijalankan dalam dunia pergerakan yang memuat ia menjadi jurnalis tangguh. Dan Marco membawa ideologi pers yang benar-benar menyuarakan kondisi publik. Selain tulisannya yang dianggap keras, Marco juga tampil sama lantangnya di atas mimbar. Marco harus “berteriak” dan menyerang pemerintah sebagai satria sejati.

Sekembali Marco dari Belanda, dia kembali harus berurusan dengan delik pers. Penjara satu tahun telah menantinya. Setelah bebas, Marco terus menulis termasuk di surat kabar Sinar Djawa. Dalam harian ini dimuat beberapa syair ia yang mengkritik gemeenteraad pada masa itu. Dia menginginkan gemeenteraad menjadi wakil rakyat yang baik, jika susunannya tidak dikuasai oleh bangsa Belanda. Syairnya yang lain mengkritik Indie Weerbaar (milisi pertahanan Hindia).

Di mana pun Marco berada, dia selalu lekat dengan delik pers. Seperti tulisannya yang berjudul “syair sentot”. Karena tulisan itu dia dipenjara selama 6 bulan. Karena melihat dunia pergerakan telah guncang, sekeluarnya dari penjara Marco pindah ke Yogyakarta dan menjadi wakil sekretaris CSI Yogyakarta.

Marco kemudian pindah ke Salatiga pada 1921. Pada tahun yang sama di bulan Desember, dia lagi-lagi terjerat delik pers atas brosurnya yang disita polisi kolonial. Untuk keempat kalinya Marco hidup dibui.

Marco dipenjara selama dua tahun hingga Desember 1923. Saat bebas, dia pulang ke Salatiga dan kembali terjun ke dunia politik. Namun tujuannya kali ini bukan SI, tetapi PKI dan SI merah yang dipimpin oleh Semaoen. Marco akhirnya menjadi anggota PKI dan menjabat ketua Sarekat Rakyat.

Saat aktif dalam PKI, Marco melanjutkan aktivitas jurnalisnya dengan menerbitkan jurnalnya sendiri yang dinamai Hidoep. Dia juga menulis ulang sejarah Jawa dari zaman Hindu sampai masa pergerakan.

Buku sejarah versi Marco itu diberi nama Babab Tanah Djawa. Inilah salah satu tulisan Marco yang sangat penting. Dalam buku itu, Marco merekonstruksi sejarah Jawa versi Javanolog Belanda abad ke-19.

Sayang buku ini tidak pernah selesai dituliskan. Marco hanya menulis sampai pada kedatangan Belanda dan berdirinya Batavia. Proyeknya itu terputus oleh aktivitasnya di PKI dan Sarekat Rakyat (SR) Surakarta.

Di bawah kepemimpinan Marco, PKI dan SR Surakarta tumbuh sangat pesat. Dalam setiap pertemuan, Marco selalu berpidato dengan gaya bahasanya yang lugas dan berapi-api selalu menyerang tatanan kolonialisme.

Dibuang ke Digul

Pada akhir 1925, Hoofdbestuur PKI memutuskan suatu rencana untuk melakukan pemberontakan. Keputusan ini dikenal dengan Putusan Prambanan. Terjadi pro dan kontra dalam partai saat menyikapi keputusan itu.

Marco berada dipihak yang propemberontakan. Bersama PKI dan SR Surakarta yang dipimpinnya, dia terlibat langsung dalam persiapan pemberontakan. Situasi menjadi sangat revolusioner dengan PKI memimpin di garda terdepan.

Pemberontakan PKI akhirnya pecah di Banten, pada 12 November 1926. Di Surakarta, pemberontakan PKI dilangsungkan pada 17 November 1926 malam yang disusul dengan berbagai aksi pemogokan buruh.

Aksi PKI ini berakhir dengan kegagalan. Serangan para pemberontak dengan mudah dipatahkan. PKI hancur berantakan dan para pemimpinnya ditangkapi. Mereka ada yang ditahan dan dibuang ke Boven Digoel (Digul), Papua. Marco merupakan salah seorang pimpinan PKI yang ditangkap dan dibuang ke Boven Digoel bersama 1.308 orang lainnya. Marco tiba di Boven Digoel pada 21 Juni 1927. Di sana Marco disambut oleh kondisi para tahanan politik di Digul yang sangat memprihatinkan.

“Sembilan puluh persen dari orang-orang itu sebagian badannya diperban atau diplester. Sedang orang-orang yang tidak sakit malaria diharuskan makan tablet kina 6 biji seminggu,” kata Marco menggambarkan kondisi orang-orang di sana.

Orang-orang yang dibuang di Digul harus siap menderita. Pemerintah Belanda hanya memberi modal awal yang sangat terbatas: 1 kelambu kecil, 1 tikar kecil, 1 selimut kecil, 1 parang tumpul, 1 kapak yang belum bertangkai, 1 cangkul belum bergagang, dan 1 sekop yang juga belum bergagang. Dengan modal inilah orang dipaksa hidup survival.

Masih diceritakan Marco, setiap orang diberi ransum berupa 9 kg beras, ikan kering, dendeng tengik, garam, gula jawa, kacang ijo, dan teh. Semuanya itu, jika diuangkan, senilai f 6,30.

Setiap orang juga disediakan ruangan seluas 2 x 2 meter untuk tidur dan 2 x 2 meter untuk barang. Sedangkan yang sudah berkeluarga disediakan ruangan seluas 4 x 2 meter. Fasilitas-fasilitas publik juga banyak didirikan.

Marco juga bercerita banyak soal kehidupan orang PKI di Digoel. Dengan gaya berceritanya yang sederhana, Marco bercerita seolah kita juga hidup di tengah-tengah orang PKI di Digul jaman itu.

Selama di pembuangan Boven Digoel, Marco tetap menjalankan aktivitas jurnalisnya. Laporannya tentang kehidupan orang-orang buangan dan pesannya dari Digoel sangat dalam untuk dijadikan perenungan. Pada akhirnya nasib Marco seperti teman dan gurunya Tirto Adhie Soerjo yang meninggal dengan mengenaskan. Marco meninggal pada tahun 1932 karena penyakit malaria.

Marco Kartodikromo dan istri di kamp pengasingan Digul.

 

Melalui karya-karyanya, Marco telah berhasil menyajikan realita yang objektif dari hasrat manusia Indonesia untuk merdeka, baik merdeka secara politik sebagai bangsa, maupun merdeka dari kemiskinan dan takhayul.

Dengan semua kelebihan dan kekurangan yang dimiliki Marco, sekiranya apresiasi sangat tinggi layak diberikan pada Marco sebagai pemula sastra realisme-sosialis Indonesia yang wajib dicatat sejarah. Meski karya-karyanya banyak mengkritik kapitalisme dan sistem kolonial Hindia Belanda, faktanya Marco bukan pengikut paham komunis saat berada di Semarang. Namun suaranya tetap terdengar militan.

Di zaman pergerakan, tidak banyak orang yang menjadi pemimpin pergerakan dalam berpikir, menulis, dan berkata. Tirto Adhie Soerjo dan Mas Marco Kartodikromo merupakan orang-orang pelopor di dunia jurnalis yang menunjukkan pada kita bagaimana bertindak dan bersikap melawan ketidakadilan. Kata-kata dan perbuatan mereka, layak didengar oleh rakyat dan dunia. Goresan pena mereka sampai sekarang masih dapat dilihat, dan itu adalah satu-satunya peninggalan mereka.[]

Marco Kartodikromo