Kiai Mahfudz Termas, Pewaris Terakhir Hadist Bukhori #4

Neo Ibnu Hajar ala Islam Nusantara

REKAYOREK.ID Banyak karangan Kiai Mahfudz yang belum dimanuskripkan ulang, dicetak dan ada pula yang dinyatakan hilang.

Menurut informasi, karangan Kiai Mahfudz seluruhnya mencapai sekitar 43 buah. Hanya saja, yang telah diterbitkan baru sekitar 20 buah kitab.

Banyaknya tulisan beliau yang belum berhasil dituliskan, dicetak bahkan hilang merupakan hal yang memprihatinkan. Sebab hasil pemikiran beliau adalah ilmu yang belum mudah didapatkan.

Beberapa manuskrip kitab Kiai Mahfudz ada yang sampai di Tremas karena dengan sengaja dititipkan oleh Kiai Mahfudz melalui jamaah haji yang hendak pulang ke Indonesia.

Salah satu penyebab hilangnya manuskrip kitab-kitab Kiai Mahfudz adalah maraknya gerakan komunis PKI pada akhir tahun 1940-an. Hanya beberapa kitab Kiai Mahfudz yang berhasil di selamatkan oleh keturunannya di Perguruan Islam Pondok Termas.

Pada tahun 1965 manuskrip-manuskrip kitab Kiai Mahfudz hilang pada saat terjadi banjir besar. Manuskrip yang berhasil diselamatkan kemudian dikirimkan oleh Kiai Luqman Harits Dimyathi (cucu Syaikh Dimyathi) kepada Kiai Hariri (cucu Kiai Mahfudz) di Demak, Jawa Tengah.

Keberhasilan Kiai Mahfudz menjadi ulama besar yang disegani tidak lepas dari peran para guru yang membimbingnya di berbagai macam aspek.

Bimbingan yang diterima dari sang guru tidak hanya dalam ranah intelektual saja, kecerdasan emosional, dan spiritualnya pun menjadi bagian dari bimbingan yang setiap hari beliau terima di masa belajarnya.

Bila melihat disiplin ilmunya, boleh dibilang Kiai Mahfudz memiliki semacam keterkaitan batin dengan Ibnu Hajar al-Haitami. Keterkaitan tersebut hampir menyerupai keterikatan antara Jalaluddin al-Suyuthi dan Jalaluddin al-Mahalli walaupun mereka berdua hidup di tempat dan di waktu yang berbeda. Ya, Kiai Mahfudz merupakan neo Ibnu Hajar al-Haitami ala Islam Nusantara.

Jika mengkaji beberapa karya Kiai Mahfudz yang mempunyai hubungan erat dengan Ibnu Hajar al-Haitami, maka karya yang tepat untuk dijadikan fokus utama adalah Mauhibah dzi al-fadhl Hasyiah Ala Syarhi Mukhtashar Bafadhal yang tidak lain Syarah yang diulas oleh Ibnu Hajar, lalu diulas lagi secara luas dan lebih detail oleh Kiai Mahfudz Termas, tentunya dalam konteks kenusantaraan.

Masyarakat Indonesia yang dalam pandangan fiqih mengikuti madzhab Syafii, menjadikan semua rujukan masalah keagamaan bersandar pada Kutub al-Syafiiyah.

Tidak semua kitab fiqih Syafii tersebut berhasil menjadi jawaban permasalahan sosial yang terjadi di Indonesia. Artinya adalah paradigma fiqih yang ada pada saat itu masih dalam konteks Timur Tengah sentris, dan tidak mengglobal sampai pada Asia Tenggara, terlebih Indonesia. Berangkat dari fenomena tersebut Kiai Mahfudz mencoba memperluas lagi ulasan Ibnu hajar al-Haitami dalam konteks kenusantaraan dan keindonesiaan.

Adapun kitab Mauhibah dzi al-fadhl Hasyiah Ala Syarhi Mukhtashar Bafadhal yang ditulis Kiai Mahfudz, menurut kalangan ulama, merupakan salah satu ulasan tentang fiqih Imam Syafii yang paling detail, luas dan komprehensif. Dengan kata lain, nuansa fiqih di dalamnya tidak an sich terhadap teks-teks, namun disesuaikan dengan dinamika sosial yang ada pada masyarakat Indonesia. Hal ini juga diamini oleh sang pentahqiq, yaitu Dr. Muhammad Abdurrahman al-Ahdal dalam muqaddimahnya di kitab tersebut.

Kitab setebal 6 jilid ini bukan hanya mengulas berbagai macam problematika umat berdasar ruang lingkup fiqih, namun juga mengulas hal-hal penting dan yang dibutuhkan dalam mengurai istilah kontemporer dalam konteks kebahasaan.

Dengan merujuk kepada beberapa kamus besar seperti Muktar al-Shihhah karya Syekh Muhammad bin Abu Bakar Abdul Qadir al-Razi, Tahdzib al-Lughah karya Syekh Abu Mansur Muhammad bin Ahmad al-Azhari, dan al-Qamus al-Muhith karya Syekh Muhammad bin Ya’qub al-Fairuzzabadi, menjadikan kitab Hasyiah Tirmisi ini kaya akan defenisi istilah, sehingga pembahasannya pun tidak keluar dari konteks yang telah digariskan pada awal bab dari masing-masing bab.

Yang menarik pada kitab ini adalah kemampuan Kiai Mahfudz dalam mengambil istinbat secara kontekstual dari berbagai pendapat para ulama sebelumnya setelah melakukan uji pendapat dan perbandingan di antara pendapat para mujtahid fatwa semisal Ibnu Hajar al-Haitami yang dalam hal ini lebih kontekstual daripada Imam Syihabuddin al-Ramli yang dalam banyak pandangannya selalu tekstual dan terkesan kaku.

Kemampuan Kiai Mahfudz dalam mengurai hadits dalam konteks fiqih dan kemudian mengambil istinbat dari pendapat ulama, menjadikan kitab ini sehaluan dalam konteks dinamika sosial dan jauh dari kesan kaku dan konservatif pada nash.

Soal fiqih, memang berkaitan erat dengan dinamika sosial suatu masyarakat pada bangsa dan negara manapun. Nilai-nilai luhur Islam yang ajarannya menembus ruang dan waktu menjadikannya selalu relevan dalam setiap problematika yang ada, baik masa lalu, sekarang dan masa mendatang.

Dan Kiai Mahfudz salah seorang ulama Nusantara yang secara khusus membahas problematika sosial kenusaantaraan dengan menawarkan fiqih dinamis yang tidak menabrak budaya, kaya akan khazanah keilmuan juga mempunyai rasa nasionalisme yang tinggi.

Setelah bermukim dan mengajar ilmu di Mekkah selama 40 tahun, Kiai Mahfudz wafat di Mekkah pada hari Rabu, tanggal 1 Rojab 1338 H, bertepatan dengan 20 Maret 1920 M. Sejak beliau berangkat ke Mekkah, beliau memang berharap agar hidupnya berakhir di sana.

Beliau dimakamkan di Ma`la, Mekkah, berdampingan dengan makam Sayidah Khadijah, Istri Nabi Muhammad SAW. Lokasi tersebut berada dalam pemakaman keluarga gurunya, Sayyid Abi Bakar Muhammad Shato.[]

Diolah dari berbagai sumber

Kiai Mahfudz Termas