Kiai Qosim Ngelom, Pejuang Laskar Sabilillah yang Bertugas Mencuri Senjata Musuh

Tidak banyak orang percaya dengan karomah yang dimiliki ulama. Saat itu kehebatan para ulama sangat ditakuti penjajah. Kiai Qosim masih ingat ketika dia diberi tusuk sate (sujen) yang ditanam di tanah. Aneh, saat itu Kiai Qosim tidak bisa dilihat Belanda.

REKAYOREK.ID Wajahnya renta, penuh keriput, menunjukkan usia yang tak lagi muda. Maklum, sudah 87 tahun. Semua rambutnya memutih. Tubuhnya agak membungkuk, mungkin karena sudah dimakan usia.

Duduk di ruang tamu sendirian sembari mulutnya komat kamit berdzikir menyebut asma Allah. Di samping tempat duduknya ada banyak kitab. Bertumpuk. Tebal. Dia tampaknya tak mau jauh dari kitab-kitab tersebut. Barangkali sudah ‘makanan’ sehari-harinya.

Di kediamannya Pondok Pesantren Bahauddin Al-Islami, Ngelom, Sepanjang, Sidoarjo, Jawa Timur, wajah sumringah almarhum Kiai Sholeh Qosim menyambut. Meski usianya sudah renta, namun tutur kata dan gesturnya masih gesit.

“Tadi berpapasan dengan jenderal tidak pas ke sini?” Tanya ulama yang punya julukan Kiai Ngelom. Ya, baru 10 menit lalu beliau kedatangan seorang jenderal bintang satu dari Surabaya. Tidak diceritakan dengan jelas siapa jenderal yang dimaksud.

Kiai Qosim memang tidak asing dengan para tentara Indonesia. Pada peringatan HUT ke-72 TNI yakni 5 Oktober 2017 lalu, almarhum Kiai Qosim sempat membuat heboh publik Tanah Air dan negara tetangga ASEAN. Pasalnya dalam peringatan HUT ke-72 TNI, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan potongan tumpeng kepada tiga orang yang dianggap berjasa pada perjuangan bangsa pilihan TNI, yaitu Paimin, Kiai Qosim, dan Pangkostrad Letjen Rachmayadi.

Diperkenalkan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo dalam pidatonya saat itu, Paimin tergabung dalam Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan pada tahun 1949 ikut dalam agresi militer I dan II di Yogyakarta. Dia juga pernah bergabung dalam Batalyon 439, 413 dan Kostrad Jakarta. Selama itu dia ikut menumpas DI/TII di Sumatera dan sisa PKI di Jateng. Saat ini usia Paimin 92 tahun.

Lalu ada Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat, Letjen Edy Rahmayadi, yang menjadi Komandan Upacara dalam peringatan hari ulang tahun (HUT) ke-72 TNI.

Kemudian Kiai Qosim diperkenalkan sebagai pengasuh Ponpes Bahauddin Al-Islami Sidoarjo. Saat perang kemerdekaan, dia pernah bergabung menjadi anggota Laskar Sabilillah tahun 1943 dan berjuang pada 10 November di Surabaya.

Tak lupa, setelah Jokowi memberi potongan tumpeng, dia sempat mencium tangan Kiai Qosim.

Sejak itu sejumlah kalangan bertanya-tanya siapa Kiai Qosim. Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nachrowi kala itu bahkan mondar-mandir ditanya banyak orang terkait sosok Kiai Qosim yang mendapat tempat istimewa di hati Presiden Jokowi dan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo.

“Saya ditelepon Imam Nachrowi. Dia cerita ditanya banyak orang setelah acara itu (HUT ke-72 TNI). Saya ditanya kok bisa sampai begitu. Ya saya jawab tidak tahu. Saya cuma diundang saja,” kata Kiai Qosim menjawab pertanyaan Menpora.

Sesepuh NU Sidoarjo tersebut menceritakan sebelumnya ditelepon Gatot Nurmantyo. Dia diundang untuk datang ke Cilegon, Banten. Gatot mengatakan bahwa Kiai Qosim harus datang karena acara tersebut sangat penting. “Panglima bilang saya harus hadir di Cilegon pada tanggal 3 Oktober. Nanti akan ada orang yang menjemputnya. Semua sudah dipersiapkan,” cerita pria yang lahir di Sidoarjo tahun 1930, bulan dan hari tidak ingat.

Presiden Jokowi mencium tangan Kiai Qosim. Foto: repro

 

Ditanya seputar kedekatannya dengan Jenderal Gatot, Kiai Qosim tidak membantah sempat bertemu dua kali dalam urusan-urusan penting menyangkut kondisi bangsa. Sayangnya dia enggan menceritakan pertemuan tersebut dalam agenda apa. “Alangkah baiknya beliau (Panglima TNI) yang cerita. Itu bukan ranah saya menjawabnya,” jelas sang kiai.

Satu hal yang pasti, Kiai Qosim selama ini ikut aktif menyukseskan acara 171717 yang diinisiasi oleh TNI, yaitu membaca Alquran (hataman) serentak pada tanggal 17 Agustus 2017 pukul 17.00 WIB. Menurut dia, baca Alquran serentak itu penting demi persatuan bangsa karena didengar langsung oleh 70 ribu malaikat.

Ditugaskan Mencuri Senjata Belanda

Peran pejuang Muslim dan santri di era kemerdekaan sangat penting. Pantas Jenderal Gatot selalu berkata kaum Muslim adalah benteng atau pertahanan terakhir Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Hal ini didasarkan pada fakta sejarah pada kurun 1943-1945, kaum Muslim terlibat dalam perjuangan mempertahankan NKRI. Saat itu hampir semua pondok pesantren membentuk laskar-laskar jihad. Paling populer dan dikenal hingga sekarang adalah Laskar Hizbullah (Tentara Allah) dan Sabilillah (Jalan Allah). Simbol yang mereka pakai adalah tulisan tauhid Laa Ilaaha Illallah Muhammadarrosulullah.

Pembentukan laskar ini didahului oleh Resolusi Jihad yang dicetuskan oleh Nahdlatul Ulama (NU) pada 22 Oktober 1945. Namun pembentukan ini tidak mudah. Kiai Qosim bercerita, saat itu Kiai Hasyim Asyari, pendiri NU, sowan ke kediaman Kiai Cholil Bangkalan. Dia mengutarakan maksud dan tujuan.

“Oleh Kiai Cholil, Kiai Asyari disarankan membaca surat Ghafir sebanyak 99 kali selama 41 hari. Kalau jaman sekarang kita membayangkan saja susah, meski hafal surat tersebut. Tapi para ulama saat itu, terlebih Kiai Asyari begitu yakin dengan kekuatan Alquran. Usai menyelesaikan bacaannya, Kiai Asyari langsung menemui ayahnya. Namun tanpa mengutarakan maksud, sang ayah langsung menyuruh Kiai Asyari meneruskan apa yang hendak dilakukan,” terang Kiai Qosim.

Walhasil, berbekal kematangan ilmu Kiai Asyari, seluruh ulama-ulama dikumpulkan. Maka dibentuklah laskar ahlussunnah wal jamaah yang berpedoman pada Alquran, Hadist, Ijma’, dan Qiyas. Pada 21 Oktober 1945, para kiai se-Jawa dan Madura berkumpul di kantor ANO (Ansor Nahdlatul Oelama). Setelah rapat darurat sehari semalam, maka pada 22 Oktober dideklarasikan seruan jihad fi sabilillah yang belakangan dikenal dengan istilah “Resolusi Jihad”.

Di sinilah cikal bakal munculnya Laskar Sabilillah dan Hizbullah yang bertujuan untuk membantu perjuangan. Kedua laskar ini didirikan menjelang akhir pemerintahan Jepang, dan mendapat latihan kemiliteran di Cibarusah, sebuah desa di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Laskar Hizbullah berada di bawah komando spiritual Kiai Hasyim Asy’ari dan secara militer dipimpin oleh KH. Zaenul Arifin. Adapun laskar Sabilillah dipimpin oleh Kiai Masykur. Konon, pemuda pesantren dan anggota Ansor NU (ANU) adalah pemasok paling besar dalam keanggotaan Hizbullah.

Kata Kiai Qosim, Laskar Hizbullah dan Sabilillah memiliki tugas masing-masing. Laskar Hizbullah diisi dengan pejuang dan santri muda. Mereka turun dalam pertempuran fisik. Sedangkan Laskar Sabilillah diisi dengan kalangan ulama. Pada kurun waktu tersebut kegiatan pondok pesantren adalah berlatih perang dan olah fisik. Bahkan peristiwa-peristiwa perlawanan sosial politik terhadap penguasa kolonial, pada umumnya dipelopori oleh para kiai sebagai pemuka agama, para haji, dan guru-guru ngaji.

Laskar Sabilillah dan Hisbullah. Foto: repro

 

Meski tidak semua Laskar Sabilillah terjun ke medan tempur, tapi mereka selalu berada di belakang Laskar Hizbullah.

Kiai Qosim sendiri berada di tengah-tengah antara keduanya. Namun sebagai santri yang dekat dengan ulama, saat itu dia lebih banyak membantu perjuangan Laskar Sabilillah.

“Saya justru kebagian tugas mencuri. Tapi jangan disalahartikan, mencuri saya bukan dalam konotasi buruk. Saat itu banyak Laskar Hizbullah tidak memiliki senjata untuk berperang. Nah, saya ditugasi oleh para ulama untuk masuk ke benteng pertahanan musuh (Belanda) untuk mencuri senjata,” urainya.

Ya, menyediakan persenjataan dan amunisi sudah menjadi tugas Kiai Qosim dan teman-teman seperjuangannya di Laskar Sabilillah. Namun untuk masuk ke markas musuh tidak sembarangan.

“Di sinilah peran ulama dan kiai. Mereka banyak yang memiliki karomah. Setiap mau bergerak, kita selalu diberi doa-doa khusus. Masuk ke jantung pertahanan musuh kita selalu dibekali pasir. Bekal itu kita sebar ke markas musuh. Alhamdulillah dengan itu kita menjadi orang yang tidak terlihat oleh musuh. Dan setelah senjata dikuasai, senjata-senjata itu kemudian diserahkan ke Laskar Hizbullah,” ujar Kiai Qosim.

Diakui Kiai Qosim, memang tidak banyak orang percaya dengan karomah yang dimiliki ulama, apalagi di jaman sekarang orang cenderung meremehkan ulama. Jujur, saat itu kehebatan para ulama sangat ditakuti penjajah. Kiai Qosim masih ingat ketika dia diberi tusuk sate (sujen) yang ditanam di tanah.

“Saya baru percaya setelah melakukannya sendiri. Begitu sujen ditanam, Belanda di depan saya tidak bisa melihat,” tuturnya.

Kehebatan lain, ada ulama Sabilillah asal Cirebon yang cukup menunjuk pesawat Belanda yang melintas, tak lama pesawat tersebut jatuh.

“Itu kalau bukan golongan waliyullah tidak bisa. Bayangkan cuma menunjuk pesawat saja bisa jatuh. Ada lagi laskar Sabilillah yang melawan tank musuh dengan ketapel diisi dengan krikil/batu. Tapi berkat doa para kiai, tank-tank itu bisa hancur,” ungkap Kiai Qosim.

Baca juga: Kiai Subchi, Ulama Pencetus Senjata Bambu Runcing

Saat perjuangan, Kiai Qosim tidak menampik banyak hal-hal di luar nalar dilakukan para kiai.

Namun bukan itu saja kemampuan Laskar Sabilillah. Paling utama, menurut Kiai Qosim, adalah menyusun strategi lahir batin.

“Saat itu kita punya prinsip yang diterapkan pada laskar-laskar muda Hizbullah yakni maju hidup merdeka mati surga, atau mundur hidup dijajah mati neraka,” terangnya.

Kiai Qosim mengutip sebuah ayat yang sering dijadikan dasar perjuangan Laskar Sabilillah dan Laskar Hizbullah, qolat innal muluka idza dakholu qoryatan afsaduha wa ja’alu a’izzata ahliha adzillah wa kadzalika yaf’aluna yang artinya Sesungguhnya raja-raja apabila menaklukkan suatu negeri, mereka tentu membinasaakannya, dan menjadikan penduduknya yang mulia jadi hina.

“Para kiai selalu memandang penjajah kalau masuk negara akan membuat derajat pemimpin direndahkan, kalau sudah begitu akhlaq rakyat rusak. Maka jalan satu-satunya adalah bertempur. Inilah yang membuat semangat para pejuang membara. Mereka jihad untuk mati sahid,” kata Kiai Qosim.

Arti jihad, lanjut sang kiai, adalah berperang di jalan Allah. Hanya mati sahid yang mereka cari. Tapi jangan disamakan dengan jihadnya para teroris jaman sekarang yang berjihad mencari mati sahid dan bukan demi Allah. Saat itu jihad bersungguh-sungguh untuk mencari ridho Allah.

Seperti yang dialami ulama laskar Sabilillah asal Bangil Pasuruan yang bernama Kiai Mahfud. Dia diketahui tewas saat bertempur. Tapi begitu tahun berganti tahun, jenazah Mahfud digali dan hendak dipindahkan. Seorang penggali makam, masih tetangga Kiai Qosim, bercerita bila jasad kiai Mahfud masih utuh.

Tidak hanya itu, jasadnya mengelurkan bau harum. Semangat ini yang kemudian menjadi dasar semangat perjuangan anak bangsa yakni melandasi atas sebuah kredo yang menyebut hidup mulia atau mati sahid, selanjutnya istilah ini berkembang di kalangan para pejuang dengan lebih singkat menjadi ‘merdeka atau mati’.

“Itu adalah bukti jihad yang sebenarnya. Para pejuang kala itu murni berjihad demi agama dan negaranya. Mereka berperang dengan segenap kekuatan yang mereka miliki. Kehadiran para ulama dalam perjuangan terutama dengan turunnya KH Masykur dalam pertempuran, menumbuhkan perasaan positif bagi pejuang Islam lain. Anggota Laskar Sabilillah saat bertempur di Surabaya berasal dari sejumlah ulama dan pesantren di seluruh wilayah Jawa Timur. Mereka berkumpul dan bertempur di Surabaya bersama di bawah bendera Laskar Sabilillah dalam upaya memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia yang usianya masih terhitung bulan,” kenang Kiai Qosim.

Secara tekad, Laskar Sabilillah dan Hizbullah merupakan salah satu barisan tentara non-militer paling kuat. Pada dasarnya karena berasal dari golongan ulama dan santri, tidak banyak anggota laskar ini yang memiliki pengalaman perang. Selain itu mereka juga hanya menggunakan senjata-senjata curian yang sebenarnya tidak tahu kegunaannya. Oleh karena itu, mereka ditempatkan sebagai salah satu pasukan pembantu yang membantu menjaga garis pertahanan pasukan Republik Indonesia.

Dengan pengalaman dan persenjataan yang minim, kata Kiai Qosim, sebenarnya senjata utama laskar ini adalah semangat dan keberanian yang tinggi. Walaupun memiliki modal yang tak banyak, pada akhirnya laskar Sabilillah dan Hizbullah tetap maju ke garis terdepan pertempuran untuk meningkatkan semangat perjuangan para prajurit. Hasilnya, wilayah Surabaya menjadi sangat sulit ditaklukkan oleh pasukan sekutu dan pertempuran berlangsung berlarut-larut.

Pada akhirnya, pertempuran di Surabaya benar-benar berhenti ketika digelar gencatan senjata pada 14 Oktober 1946. Laskar Sabilillah menunjukkan bahwa perjuangan dan jihad yang dilakukan oleh umat Islam merupakan salah satu penyokong dari bertahannya kemerdekaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia.

Peran kiai dalam perang kemerdekaan ternyata tidak hanya dalam laskar Hizbullah-Sabilillah saja, tetapi banyak di antara mereka yang menjadi anggota tentara PETA (Pembela Tanah Air) yang merupakan cikal bakal terbentuk TKR, ABRI atau TNI. Dan enam puluh bataliyon tentara PETA, hampir separuh komandannya adalah para kiai.[]

kiai qosimkiai qosim ngelomlaskarLaskar HizbullahLaskar Sabilillah
Komentar (0)
Tambah Komentar