Kota Brem 1965 #2

Hukuman

Oleh: Jendra Wiswara

Tiga bulan berlalu. Perlahan Inem mulai sanggup melupakan trauma hidupnya. Inem berjalan menyusuri jembatan Madiun.

Arus sungai di bawahnya terbilang sangat deras. Airnya pun cukup bersih untuk mandi dan mencuci pakaian.

Sungai itu merupakan jalur penghubung antara Ponorogo, Pacitan, Ngawi, Madiun, yang kemudian bermuara ke Bengawan Solo.

Setiap pulang sekolah, Inem selalu berpapasan dengan anak-anak lelaki yang menceburkan diri ke dalamnya. Rupanya aliran air sungai membuat mereka seperti terpingkal-pingkal, sehingga membuat mereka tak bosan berendam hingga berjam-jam lamnya atau bahkan berhari-hari.

Menyusuri sepanjang hilir sungai, pagi itu Inem berjalan menuju ke Utara. Di tangannya tertenteng buku-buku pelajaran sekolah. Langkahnya dipercepat agar tidak terlambat. Sekali terlambat ia bakal kena hukuman sang guru.

Tidak tanggung-tanggung hukuman yang diterimanya: cambuk.

Kalau sudah begitu seorang siswa akan dipajang selama seharian di bawah teriknya mentari. Kalau tidak begitu mereka akan disuruh berdiri di depan kelas hingga jam pelajaran usai.

Sistem pengajaran di sekolah itu memang masih memberlakukan sistem kolonial. Begitu disiplinnya, sampai-sampai seorang anak yang tidak mengerjakan PR akan mendapat hukuman bertubi-tubi.

Pernah sekali Inem terkena hukuman gara-gara terlambat masuk sekolah. Sejak itu ia kapok, dan memutuskan agar tidak terlambat lagi.

Di sekolah Santa Melania, Inem termasuk satu-satunya murid yang berasal dari keluarga tidak mampu. Semua teman-temannya rata-rata anak orang berada.

Karena tidak mampu, Inem hanya bisa mengenakan seragam bekas yang didapat dari penjual rombeng. Sepatunya pun butut. Pada bagian depan terkelupas. Nyaris memperlihatkan jari-jari kakinya.

Bukunya cuma satu yang dipunyai. Jangankan membeli peralatan tulis, untuk biaya sekolah saja kadang Inem harus nunggak selama lebih dari dua bulan bahkan lebih.

Namun demikian, tekad Inem dalam menuntut ilmu tak pernah surut. Sikap mandiri, ulet, rajin, ditambah didikan ala kolonial orang tua angkatnya, membuatnya menjadi sosok yang kuat dan cerdas.

Setiap pergantian tahun dan kenaikan kelas, Inem selalu menduduki ranking pertama. Atas prestasinya sebagai jawara kelas, ia kerap mendapat beasiswa dan bantuan buku serta alat-alat tulis dari gurunya.

Dan tak terasa, Inem sudah memasuki sekolah perguruan lanjutan. Empat tahun sudah ia bersekolah. Usianya kian bertambah empat tahun. Hari-hari perempuan muda itu dilalui dengan gigih dan penuh kesabaran. Semakin dewasa pula cara pemikirannya.

Hanya saja, ia masih terlalu jauh dari harapan orang tua. Masa depannya masih panjang dan berliku-liku. Ini adalah awal untuk meraih masa depan yang cerah. Entah sampai kapan. Yang jelas semua itu dijalani Inem dengan kesungguhan dan kerendahan hati.

***

Di Madiun, Inem tidak sendiri. Lepas dari sekolah dasar, ia kembali melanjutkan sekolah di SMP Santa Bernadus bersama anak angkat Sumirah lainnya, Bambang.

Usia Bambang lebih tua di atas Inem. Dengan Bambang, Inem serasa memiliki seorang kakak yang dapat melindungi serta menjaganya. Keduanya kerap berangkat sekolah bersama-sama.

Meski tugas utamanya belajar, akan tetapi Inem dan Bambang juga tidak mengesampingkan pekerjaan rumah. Jika tidak sekolah, mereka sering membantu tandang gawe (bekerja) buliknya.

Setiap hari Sumirah berjualan nasi pecel di rumah. Pagi buta perempuan muda itu harus bangun dan menyiapkan bumbu-bumbu pecel termasuk bantu-bantu memasak. Terkadang pula Inem ditugaskan belanja ke pasar.

Hal itu dilakoninya setiap hari. Inem ikhlas tanpa mengharapkan apa-apa.

Namun bila pekerjaan yang diembannya keliru, tak jarang pukulan langsung mendarat di tubuhnya. Malah pernah rambut Inem dijambak karena salah membeli bumbu-bumbu.

Dengan omelan yang kasar dari buliknya, Inem hanya diam saja.

“Kamu ini sudah dibilangi beli bawang putih dan ketumbar, kok malah lupa. Dasar anak bandel.” Sumirah langsung menampar pipi Inem.

“Ampun bulik, Inem salah. Ampun!”

“Bajigur!” Sumirah mengumpat lagi.

Inem hanya bisa menangis. Tapi tangisannya tak berarti apa-apa bagi Sumirah. Justru semakin membuat emosi Sumirah tak terbantahkan.

“Dibilangi tambah nangis. Dasar cah gemblong!”

Dan, “Byur”. Saat itu sebuah panci berisi air disiramkan ke tubuh Inem. Beruntung air itu tidak panas.

“Ayo sana, ke pasar lagi.” Teriak Sumirah marah-marah.

“Injeh, bulik!” Suara Inem terpatah-patah saking takutnya.

Lalu perempuan mungil itu berlalu meninggalkan buliknya yang sayup-sayup omelannya masih terdengar dari kejauhan.

Dalam perjalanan itu Inem tak henti-hentinya menangis. Namun apa yang musti disesali, toh semua itu memang akibat kealpaannya. Seandainya ia tadi membelikan bawang putih dan ketumbar, tidak mungkin ia kena hukuman.

Sejak itu Inem berjanji tidak pernah membuat buliknya marah. Ia berjanji akan selalu menjaga pesan Sumirah dengan baik. Sebaliknya, justru Bambang-lah yang kerap kena hukuman lebih banyak ketimbang dirinya.

“Aku memang pernah mendapat hukuman dari bulik. Tidak tanggung-tanggung, aku dijambak bahkan dipukuli. Tapi bila dihitung, hukumanku masih kalah dibanding Mas Bambang. Kalau Mas Bambang itu kan anaknya bengal, nakal ga ketulungan. Namanya juga anak laki-laki, wajarlah. Kadang kalau Mas Bambang disuruh bulik, dia lebih suka memilih bermain. Makanya dia sering kena hukuman.” [bersambung]

brem
Komentar (0)
Tambah Komentar