REKAYOREK.ID Leluhur bangsa Nusantara adalah orang orang cerdas. Mereka luar biasa. Mereka orang orang beradab. Mereka bicara dan bisa menulis. Mereka bicara menggunakan bahasa daerah sendiri. Mereka menulis menggunakan aksara daerah sendiri.
Salah satu leluhur itu adalah Sunan Drajat di Lamongan. Sayang kita tidak bisa mendengarkan suara Kanjeng Sunan Drajat ketika berpesan: “Mènèhana teken marang wong kang wuta, Mènèhana mangan marang wong kang luwé, Mènèhana busana marang wong kang wuda, Mènèhana ngiyup marang wong kang kudanan”.
Kita, generasi sekarang, tidak bisa mendengarkan pitutur luhur dan bijak Kanjeng Sunan Drajat, salah satu dari Wali Sanga di tanah Jawa.
Tapi, kita bisa mengetahui pesannya karena mungkin pesan itu telah ditulis. Atau karena pesan itu dituturkan secara turun menurun. Diwariskan secara lisan. Tapi bukan dari suara dan tuturan langsung Kanjeng Sunan Drajat.
Ini nyata nyata karena masih ada penuturnya. Masih ada penutur atau pengguna bahasa Jawa. Jika tidak ada penutur dan pengguna bahasa Jawa, maka estafet pesan itu akan mati.
Apakah ini bentuk penghancuran bukti budaya itu, hingga tidak bisa lagi diteliti dan dibuktikan kebenarannya?
Ternyata tidak demikian dengan aksara Jawa. Pengguna aksara Jawa menurun dan semakin menghilang. Akibatnya, semakin terancam tidak ada yang bisa mewarisi pesan pesan luhur dari apa yang ditulis pada Inskripsi, manuskrip dan prasasti.
Padahal pesan pesan tulis dalam aksara daerah Jawa itu tersebar di pulau Jawa. Di Surabaya meninggalkan jejaknya di komplek Sunan Ampel. Di Gresik meninggalkan jejak di Giri Kedaton. Di Lamongan ada jejak di Sunan Drajat. Demikian di komplek Sunan Bonang Tuban dan lainnya di Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Masyarakat dari para Sunan itu menulis dan tidak buta aksara. Lantas, apa yang diingkari dan didustakan? Ataukah kita ini tergolong orang orang, yang sengaja menghancurkan bukti-bukti sejarah dan budaya itu, hingga tidak bisa lagi diteliti dan dibuktikan kebenarannya? Bahaya!
Kota Surabaya sedang menggodok Raperda Pemajuan Kebudayaan. Komunitas Aksara Jawa Puri Aksara Rajapatni mengusulkan dimasukkannya aksara daerah dalam Raperda itu sebagai bentuk perlindungan, pengamanan, penyelamatan dan pelestarian serta pemanfaatan aksara daerah.
Bahkan Pegiat Aksara Jawa dalam wadah Puri Aksara Rajapatni telah mengusulkan dimasukkannya aksara daerah sebagai objek Pemajuan kebudayaan dalam Undang Undang yang berlaku secara nasional.
Disadari bahwa di negeri ini masih ada aksara aksara daerah seperti Lontara di Sulawesi, aksara Sunda di Jawa Barat, Aksara Incung di Lampung dan aksara Bali di Bali.
Karenanya, aksara daerah harus diatur secara tegas dan eksplisit agar tidak terselip dibalik ketiak bahasa, yang sudah menjadi salah satu dari Objek Pemajuan Kebudayaan (OPK) dalam Undang Undang 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
Leluhur bangsa Indonesia adalah bangsa, yang beradab dan cerdas. Buktinya adalah adanya aksara daerah. Di Indonesia ada lebih dari 700 bahasa daerah tapi hanya sekitar 15 aksara daerah. Aksara Jawa adalah salah satunya.
Perlu diketahui bahwa tidak semua negara negara di Dunia memiliki aksara. Tapi Indonesia memilikinya. Bahkan aksara daerahnya ada sekitar 15. Karenanya UNESCO mendorong negara negara yang masih memiliki aksara asli agar melindungi dan melestarikannya. Dorongan itu diwujudkan dengan adanya peringatan Hari Aksara Internasional (HAI).
Sekali lagi, leluhur Nusantara adalah orang orang cerdas. Kecerdasan mana dari leluhurmu yang kau dustakan, wahai orang Indonesia ? @PAR/nng