Manusia-Data, Pemimpin-Data

Oleh: Emha Ainun Nadjib

Pemimpin belum tentu pemimpin, ia bisa seorang pemberang yang culas. Tokoh belum tentu tokoh, bisa juga ia seorang eksploitator yang penuh nafsu. Panutan belum tentu panutan, ia bisa juga menjadi seorang penunggang dan kita kudanya. Cendekiawan belum tentu cendekiawan, bisa juga ia manipulator logika dan kebenaran ilmu. Ulama belum tentu ulama, bisa juga ia tidak berbeda dengan blantik atau preman. Orang hidup musti sangat berhati-hati, penuh kewaspadaan pikiran dan kerendahan hati, supaya tidak terlalu sengsara dan luka parah.

Di dalam budaya Islam, bahkan orang yang menguasai ilmu agama Islam belum tentu seorang Muslim. Orang yang pintar mengaji belum tentu berkelakuan baik. Orang yarg sedikit-sedikit beristighatsah dan bershalawat belum tentu gerakannya itu ada kaitan murni dan substansial dengan makna istighatsah dan shalawat. Orang pakai peci, surban, jilbab dan tasbih, belum tentu orang yang salih.

Ada yang namanya Islam-data. Khasanah ilmu dan wacana pengetahuan Islam dimasukkan ke dalam ‘hard-disk’ di otak seseorang sebagai directories of data. Seluruh isi Al-Qur’an, dengan software program yang sederhana, tidak memerlukan lebih dari 1-MB. Atau katakanlah bahwa seluruh ilmu dan pengetahuan yang menyangkut Islam — dari kandungan teologi, filosofi, ushulul-fiqh dan fiqh, semua hasil ijtihad dan apa saja — hanya memerlukan tidak lebih dari, sebutlah, 1 Giga-Byte. Sedangkan otak manusia memiliki kelapangan memori dan kecanggihan operasional yang beratus-ratus atau bahkan beribu-ribu persen melebihi kapasitas komputer yang paling mutakhir dengan segala jenis software-nya.

Seluruh data Islam di dalam diri seseorang bisa tersimpan begitú saja, dan tidak pasti loading pada operasional hati, batin, psikologi, kepribadian dan perilaku sosialnya. Singkat kata, orang yang sudah membaca syahadat belum tentu sudah ‘bersyahadat’. Orang yang sudah mengucapkan sesuatu, tidak dijamin sudah melakukannya. Kalau kita mengukur keislaman seseorang berdasarkan peta data simboliknya — katakanlah setiap data Islam di otak seseorang kita kasih extension “.isl” (dot isl), maka bisa saja pakaian sosial dan budaya seseorang penuh dengan dot isl, dot isl: tetapi itu tidak otomatis berarti ia seorang Muslim yang memberlakukan pada dirinya kesalihan atau kepemelukan empiris yang teguh di dalam kehidupan nyatanya.

Apalagi ‘wajah’ seorang tokoh bisa kita masukkan ke PhotoShop atau CorelPaint, kita manipulir melalui berbagai macam menu yang tersedia, maka nanti — melalui lalulintas pengolahan di RGV, Indexed Colour, CMYK, kita ciptakan layers, di mana wajahnya yang cacat bisa kita hapus, teksture-nya yang kasar bisa kita perhalus, ketersentuhannya dengan gambar kiri kanan yang ‘tak kondusif’ bisa kita cropping. Kita bisa bikin image scenario dengan blur, distort, pengubahan pixel dsb. Lantas kita print-out dan kita sebar ke masyarakat luas dan membuat khalayak terkagum-kagum.

Kalau yang kita sosialisasikan sekedar gambar, masih bisa diinvestigasi: apakah yang memangku dan dipangku itu orisinal ataukah animasi komputer. Tetapi kalau gambar yang kita maksud adalah citra sosial, dan software programnya adalah media opinion making, yang perekayasaannya canggih sedemikian rupa — maka dua ratus juta rakyat suatu negeri bisa puluhan tahun tertipu olehnya.

Kemudian kita ribut dan bunuh-bunuhan. Dan tetap memelihara kebodohan untuk tidak belajar dari kebodohan.[]

sumber: caknun.com

emha ainun nadjib