Memoar Wartawan Biasa-Biasa #20

Puncak Karier Wartawan: Menulis Buku

Oleh: Amang Mawardi

Selama puluhan tahun menjalani karier sebagai wartawan, pada akhirnya membuat saya dihadapkan pada puncak kegelisahan, persisnya pada tahun 2007: mengapa saya belum menulis buku?

Puncak kegelisahan ini lantaran disebabkan seringnya saya membaca berita-berita, banyak penulis muda –terutama di Jakarta– yang telah menulis puluhan judul buku, baik fiksi maupun non-fiksi.

Sementara saya yang saat itu 54 tahun, belum satu pun buku yang telah saya tulis.

Lama-lama makin kuat dorongan untuk menghasilkan buku.

Akhirnya ketemu jalan keluar: artikel-artikel saya yang pernah dimuat di sejumlah media cetak dengan genre sosial-budaya — yang sekiranya pantas untuk dibukukan– saya kumpulkan dan saya terbitkan sendiri dalam naungan Yayasan Lohjinawi yang saya pimpin, dengan judul: ‘Perut dan Otak’.

‘Perut dan Otak’ adalah buku tipis dengan 98 halaman.

Selanjutnya saya ‘launching’ dan bedah di Galeri Surabaya kompleks Balai Pemuda pada sekitar bulan April 2007.

Sebagai pembicara wakil walikota Surabaya Arif Afandi yang mantan Pemred (pemimpin redaksi) Jawa Pos, Tjuk Suwarsono redaktur senior Surabaya Post, moderator Toto Sonata wartawan dan penyair.

Undangan sebagian besar adalah wartawan dan seniman.

Pada acara ini, buku saya bagikan gratis. Yayasan kami mendapat sponsor dari Pemprov Jawa Timur, Pemkot Surabaya, dan PT Semen Gresik.

Bantuan dana juga diberikan oleh sahabat Chusnul Huda Sholeh (Al Fatihah) yang waktu itu anggota DPRD Jawa Timur.

Di sela persiapan acara tersebut, saya beberapa kali membatin, ‘kalau punya niat usaha dan dieksekusi, ada saja yang (mau) bantu’.

Konsumsi jajan pasar (klanthing, klepon, ketan lopis dan sebangsanya) dibantu adik saya Mushadi.

Ada yang menarik yang disampaikan Arif Afandi pada sambutan pembukaan launching dan bedah buku ini bahwa puncak karier wartawan bukan pada jabatan pemimpin redaksi, tetapi saat seorang wartawan berhasil menulis buku.

Saya pikir WakGus Arif Afandi benar, mesti tidak sepenuhnya.

Kalau dalam progres karier sebagai pemred, jabatan tersebut dikalahkan oleh wartawan yang telah berhasil nulis buku, ya lihat dulu kwalitas bukunya.

Sebab, untuk menuju puncak karier sebagai pemimpin redaksi semacam di: Kompas, Tempo, Jawa Pos, Femina, Suara Merdeka, Pikiran Rakyat dan masih banyak media cetak besar lainnya, tidaklah gampang.

Mereka para pemred itu adalah orang-orang pilihan yang tidak saja berhasil menduduki jabatan tersebut lantaran faktor meritokrasi, tetapi juga adanya faktor-faktor keketatan yang berlapis-lapis.

Lha kalau buku yang ditulis –maaf– buku ecek-ecek, apa ya mesti dianalogikan fakfor “kekalahan” para pemred atas wartawan yang telah menulis buku macam itu.

Pada akhirnya saya paham maksud pernyataan Arif Afandi bahwa betapa pentingnya menulis buku bagi seorang wartawan. Karena di situ akan terjadi proses intelektualitas, pergulatan pemikiran, lebih-lebih jika buku yang ditulis masuk kategori ‘magnum opus’ (buku tebal yang mampu memberi pencerahan bagi pembaca).

Dr. Sam Abede Pareno (Al Fatihah) yang saya undang pada acara ‘launching’ dan bedah buku saya tersebut, ternyata berhalangan hadir. Maka, dua hari kemudian saya datangi rumahnya di kawasan Mulyosari, ditemani sobat saya Sabrot D. Malioboro (Al Fatihah) seniman yang mantan anggota DPRD Surabaya.

Setelah saya berikan ‘Perut dan Otak’, dilanjut ngobrol sebentar, lantas apa kata Bung Sam?: “Anda ini bukan ‘menulis’ buku, tetapi ‘membuat’ buku. Karena buku ini hasil dari kompilasi klipping artikel-artikel Anda… ”

Eladalah!

Tahun itu juga, muncul buku saya lagi, biografi ‘Cak Kadar’ tokoh Surabaya yang diterbitkan oleh Henk Publica dan di-‘launching’ “mewah” di Hotel Elmi.

Sudah 15 judul buku yang saya hasilkan, baik yang terbit secara mandiri maupun oleh penerbit lain.

Selain buku saya sendiri, saya juga menjadi bagian team yang menulis buku secara keroyokan. Kira-kira sudah ada 10 judul buku keroyokan itu.

Saya juga bertindak sebagai ‘ghost writer’ (penulis buku, tetapi yang tercantum di kover sebagai penulis adalah orang lain pemberi order; bahan tulisan disuplai oleh pemberi order). Dan, sudah 5 judul buku kategori ‘ghos writer’ yang telah saya tulis.

Tidak setiap tahun saya menulis buku. Pernah dalam 4 tahun secara berurutan absen.

Tahun 2022 lalu, tak satu pun buku saya hasilkan. Bagaimana saya bisa dapat cuan? Ya, menjual sebagian buku-buku lama saya yang masih ada stok, baik secara ‘online’ maupun ‘door to door’.

Juga, memberi kata pengantar untuk buku yang ditulis sejumlah sahabat.

Selain itu, menjadi editor buku ‘freelance’, termasuk buku ‘Berjalan Sampai ke Batas’ karya Kadiroen eyang dari Pak Triyono Wibowo Wakil Menteri Luar Negeri 2008-2011.

Buku setebal 540 halaman tentang memoar Eyang Kadiroen sebagai Digulis, saya selesaikan proses penyuntingannya selama 3 bulan.

Barangkali menulis buku bagi saya sudah pada tahap “membius”. Boleh jadi, demikian yang ada dalam benak para sobat yang penulis buku seperti Djoko Pitono Hadiputro, Henri Nurcahyo, Ita Siti Nasyi’ah, Adriono yang jumlah bukunya melebihi yang telah saya produksi. Lebih-lebih buku yang ditulis rekan Adi Kusrianto yang 150-an judul itu.@

amang mawardi
Komentar (0)
Tambah Komentar