Memoar Wartawan Biasa-Biasa #22

Supaya Berita dan Foto Bisa Dimuat Besok

Oleh: Amang Mawardi

Bagi rekan-rekan wartawan, yang saya kisahkan ini, bukan sesuatu yang aneh. Namun, bagi teman-teman non-pers, boleh jadi cerita ini belum pernah didengar maupun dibaca.

Sebagai koresponden, setiap hari kami harus kirim berita, dimana untuk keperluan tersebut menggunakan jasa titipan kilat Thomas yang lokasinya sebelah kiri kantor Pelni di Jalan Pahlawan, Surabaya; persisnya di bawah viaduk legendaris, ada jalan kecil buntu menjorok ke timur. Di deretan hadap selatan terletak jasa ekspedisi Thomas.

Kami sebelumnya sudah survei, di antara sekian jasa ekspedisi, Thomas yang paling efektif sistem pengirimannya.

Saya masih ingat, anak muda bertampang Manado –mungkin anak pemilik ekspedisi tidak terkenal ini– senantiasa melayani dengan senyum. Celananya cutbrai lebar, dengan sepatu ber-‘hak’ tinggi.

Kalau kami kirim berita dan foto hari ini, besoknya oleh redaksi di Jakarta sudah dimuat (tentu yang lolos seleksi).
Tapi…ada tapinya. Jika materi berita itu kami kirim sebelum pukul 12.00.

Jika lewat pukul itu, paket berita yang kami kirim baru dimuat 2 hari kemudian. Untuk berita-berita yang sifatnya ‘feature’ (‘human interest’ dan lain-lain) tak mengapalah. Tapi untuk berita-berita penting, ya tak elok. Basi.

Bagaimana jalan keluarnya?

Kami kirim via sambungan telepon interlokal dengan risiko bayarnya relatif mahal. Apalagi biasanya dikirimkan pada siang hari. Beda jika diinterlokal selepas pukul 21.00. Dan, saat itu, kami harus ke kantor telepon di Jalan Mergoyoso.
Atau dikirim via telex di Jalan Veteran. Itu juga relatif mahal.

Jika interlokal dihitung berdasarkan waktu, untuk telex dihitung per huruf. Tanda ‘titik’ (.) kami tuliskan ‘ttk’. Serta lain-lain cara supaya ngirit.

Itu kalau untuk berita berdasarkan tulisan. Lha kalau untuk foto, supaya bisa dimuat besok?

Begini jalan keluarnya:

Berita berdasarkan tulisan dan beberapa lembar foto, kami masukkan amplop yang sudah ditulisi alamat dituju : Redaksi Harian Pos Kota Jalan Gajah Mada 100 Jakarta.

Namun, amplop tidak kami lem.

Salah satu dari koresponden atau dua orang, dengan motor berangkat menuju Bandara Juanda yang jaraknya dari ‘Surabaya Kota’ sekitar 24 kilometer.

Saat itu, selepas kawasan Rungkut, kanan kiri jalan masih persawahan. Seringkali jika sore hari, ratusan hewan bersayap (mungkin sebangsa wereng) beterbangan, menampari muka kami.

Untuk keperluan ini, saya beberapa kali pinjam motor Didied Wardojo yang koordinator pemasaran perwakilan, yaitu Suzuki bebek yang full service anti-mogok.

Di bandara tersebut, seingat saya ruang tunggu penumpang jaraknya masih dekat dengan jalan utama.

Lantas kami datangi penumpang yang tampangnya ‘welcome’. Jika benar tujuan ke Jakarta (Kemayoran, atau kemudian Cengkareng), bukan ke kota lain, maka kami titipkan berita plus foto itu dengan menunjukkan dalamnya amplop. Ini untuk mengantisipasi timbulnya prasangka bahwa yang kami kirim cuma berita, bukan barang terlarang.

Saya mohon pertolongan Bapak/Ibu, nanti kalau sudah nyampe Jakarta, berkas akan diambil kurir kami. Begitu antara lain yang saya sampaikan.

Kami juga mohon agar diberikan alamat Bapak/Ibu yang kami titipi itu.

Biasanya mereka tidak keberatan. Dan, untuk keperluan permohonan nitip itu, belum pernah saya mengeluarkan kartu pers guna meyakinkan mereka bahwa saya benar-benar wartawan.

Sesudah itu, Jakarta kami kontak via interlokal : “Bang, ada berita penting….bla bla bla. Saya titipkan penumpang pesawat bla bla bla. Silakan diambil jam sekian di alamat bla bla bla.”

Mungkin, mereka tidak keberatan dititipi, disebabkan –barangkali– pertama kali berhadapan wartawan dengan salah satu mekanisme pengiriman beritanya, sehingga menimbulkan pengalaman dan “sensasi” baru.

Pada tahun 1970-an –konon– sudah ada alat yang bisa mengirim foto yang lantas bisa diterima tidak begitu lama. Asal pengirim dan penerima sama-sama punya perangkatnya. Namun, harganya sangat-sangat mahal. Infonya, kantor berita Reuter, AFP, TASS, dan beberapa surat kabar besar di dunia sudah menggunakan alat canggih itu.

Kalau sekarang? He-he-he cukup kirim via WA…wusss…gak sampai 15 detik sudah bisa diterima, asal ada paketan atau wifi.@

amang mawardi
Komentar (0)
Tambah Komentar