Memoar Wartawan Biasa-Biasa #24

Menjadi Humas Log Zhelebour

Oleh: Amang Mawardi

Pagi hari, seputar tahun 1979, di Balai Wartawan Surabaya. Saat itu saya belum menikah.

Sebagai wartawan, saya termasuk baru. Sebagaimana saya infokan pada serial sebelumnya, saya praktis terjun sebagai wartawan pada tahun 1976, menjadi koresponden Harian Pos Kota di Surabaya bersama Mas Arie Soekarno dan rekan kuliah saya Ivans Harsono. Sebelum itu saya adalah seorang penulis puisi dan pecinta literasi, tergabung dalam grup diskusi sastra ‘Sanggar 6 Januari ’73’.

Sehari-hari saya tidur di kantor perwakilan di Jalan Embong Wungu 49 A, Surabaya.

Salah satu spot ngumpul saya sebelum melesat untuk ‘hunting’ berita adalah Balai Wartawan Surabaya di Jalan Taman Apsari nomor 17.

Fungsi Balai Wartawan bagi saya saat itu tempat saling bertukar informasi dengan sesama wartawan dalam menambah wawasan, serta perpustakaan harian dengan membaca puluhan surat kabar yang dibendel dan digantung di “rak-rak” koran yang ada di situ.

Saat itu, kendati pernah kuliah di Akademi Wartawan, dalam praktik mencari dan menggali berita, boleh jadi tidak seterampil teman-teman wartawan yang bekerja di koran harian –terutama yang ada di daerah– yang mendapat didikan dan gemblengan langsung dari para redaktur surat kabar daerah itu.

Kami –saya dan Ivans– masih ‘gerathal-gerathul’.

Mungkin bawah sadar saya, menjadikan Balai Wartawan sebagai tambahan sekolah saya, khususnya pada “mata kuliah” jurnalistik praktis.

Pagi itu di Balai Wartawan berkumpul beberapa wartawan.

Mungkin saking lamanya jarak waktu saat itu dengan sekarang, yang saya ingat dari teman-teman wartawan yang ngumpul pagi itu cuma Rachman (maaf kalau menulis nama tidak persis) koresponden Harian Pelita di Surabaya. Dia kakak kelas setingkat di atas saya di Akademi Wartawan Surabaya (AWS). Selain kuliah di AWS, Rachman juga kuliah di IAIN Sunan Ampel, Surabaya.

Saat kami ngobrol itu, pelan-pelan Rachman berdiri sambil matanya tertuju ke pinggir pintu depan –model dobel kupu-kupu– Balai Wartawan. Di situ berdiri seorang pemuda berusia dua puluhan tahun berbaju putih lengan panjang dan bercelana panjang gelap serta bersepatu hitam. Bajunya dibiarkan di luar celana.

Di halaman depan Balai Wartawan di dekat pemuda itu, terstandar sepeda motor Honda bebek warna merah metalik yang pada kemudian hari dikenal dengan istilah ‘Honda Ulung’.

Pemuda tersebut mencangklong tas plastik model tabung berdiamater sekitar 15 sentimeter dengan panjang kira-kira 30 sentimeter. Sedangkan tali untuk mencangklong cukup pendek, sehingga jika dilihat sepintas seperti mengempit.
Kala itu model tas begitu salah satu yang “ngetren”. Oia, warna tas yang “dikempit” pemuda tadi: hijau.

Sosok pemuda tadi sedang-sedang saja. Tingginya mungkin di sekitar 160 sentimeter. Karena agak gemuk, jadinya terlihat agak pendek. Berbeda dengan Rachman dan saya, yang tingginya di atas 170 sentimeter.

Kesan saya, pemuda tersebut jauh dari predikat modis. Sederhana sekali. Tetapi pada sorot mata, terpancar kuat kemauan dan keteguhan jiwa.

Dari tempat saya duduk, nampak Rachman mendekat dan bercakap-cakap dengan pemuda tadi. Saya memperhatikan dari jarak sekitar 5 meter.

Lantas oleh Rachman diajak duduk di sofa aula Balai Wartawan tersebut. Setelah itu, Rachman berdiri menghampiri saya.

“Amang, ini ada orang mau bikin jumpa pers. Ia mau bikin pertunjukan musik. Coba Anda bantu saya untuk ngomong… ”

Lantas saya ikut bergabung. Pemuda tadi punya maksud mau menyelenggarakan pertunjukan musik SAS versus Superkidz di Stadion Gelora 10 November, Tambaksari, Surabaya. Pemuda tadi memperkenalkan namanya: Log.

Cekak aos, selang seminggu kemudian — Log Zhelebour nama lengkap pemuda tadi– mengadakan jumpa pers di Hotel Majapahit, Jalan Tunjungan, Surabaya. Ini hotel bersejarah, tempat penyobekan bendera triwarna (Belanda) menjadi bendera dwiwarna (Indonesia) pada 19 September 1945.

Hampir semua perwakilan wartawan daerah dan ibukota hadir pada konferensi pers itu.

Semua wartawan mendapat satu amplop, tapi diam-diam Log memberikan dua amplop kepada Pak ‘C’ wartawan senior Surabaya Post.

Kala itu Surabaya Post ‘leading’ di Jawa Timur. Jawa Pos masih manajemen lama, belum dihendel manajamen Majalah Tempo. Oplahnya seputar 6.000 ekslempar.

Saya rasa pertunjukan Superkidz (Deddy Dores, Deddy Stanzah, Jelly Tobing) asuhan Denny Sabri dari Bandung versus SAS (Arthur Kaunang, Sunata Tanjung, Syeh Abidin) dari Surabaya ini, adalah debut Log pertama kali sebagai promotor musik rock.

Semasa pelajar SMA St. Louis Surabaya, Log dikenal sebagai pemimpin Zhelebour Disco yang sering bikin iven-iven disco pada perhelatan ulang tahun personal, sekolah dan semacamnya itu.

Pas ‘Hari H’, siang seputar Gelora 10 November, Tambaksari, Surabaya, diguyur air langit begitu lebat.

Saat ‘sound check’ pada sore hari, Jelly Tobing tersengat listrik yang “bocor” ke gitar. Dan pingsan. Segera dilarikan ke Rumah Sakit Darmo, Surabaya. Jelly Tobing bisa diselamatkan, dan opname beberapa hari.

Rupanya guyuran hujan siang hari, masih menyisakan basah kendati panggung sudah dibersihkan.

Saya lupa siapa pengganti Jelly Tobing yang berposisi sebagai drummer. Yang jelas malam itu duel SAS vs Superkidz berlangsung seru.

Bertindak sebagai MC Roy Saputra.

Yang saya ingat dengan kuat sampai sekarang, pertunjukan musik cadas ini diselingi lawak oleh Cak Blonthang dan kawan-kawan.

Wartawan yang hadir pada iven ini Arifin Perdana (Al Fatihah) yang ‘freelance’ dan Willyanto DG koresponden majalah Aktuil. Yang hadir pada saat jumpa pers dan meliput acara ini cuma Willyanto.

Pada 20 tahun kemudian, saya dan Arifin Perdana mendirikan tabloid mingguan dengan Arifin sebagai pemimpin umum, saya pemimpin redaksi.

Berita jumpa pers, Jelly Tobing kesetrum, dan ‘duel meet’ itu, dimuat secara ‘running news’ di Pos Kota. Hal ini bukan perkara sulit, mengingat Pos Kota punya halaman khusus ‘Jawa Timur’.

Karena keaktifan saya, menjadikan saya dan Log semakin akrab.

Dua hari setelah pertunjukan, saya mendatangi rumah Log yang sederhana, sempit panjang, di kampung Kranggan. Letak kamar Log di lantai atas.

Di situ terlihat cukup ramai, ternyata Mama-nya Log punya usaha rumahan katering.

Untuk menuju kamar Log, saya harus melewati lorong panjang sempit dimana di lantai lorong itu diletakkan banyak rantang siap kirim. Saya harus hati-hati melaluinya.

Di kamar Log yang bisa dibilang tidak besar, saya ditemui hanya dengan mengenakan ‘celdam’. Tak lama kemudian, Log mengambil selimut, dan menutupi bagian bawah tubuhnya.

Lantas kami ngobrol dengan suasana Log masih mengantuk, menandakan semalam Log begadang.

Sebelum saya pamit pulang, Log mengambil sejumlah uang yang digulung mirip sebatang rokok: “Iki honormu…,” kata Log.

Sejak saat itu saya rajin mengikuti aktivitas Log yang akhirnya menjadi (semacam) Humas Log Zhelebour Enterprises.@

amang mawardi