Mengenang Mas Tolan Gelar Teater Markeso Kolosal

Oleh: Joko Irianto Hamid

17 Agustus. Seperti tahun-tahun lalu. Rumah tua di kampung Jl. Kalibutuh Barat V/61 Surabaya, cukup sibuk. Belasan remaja kampung ini berkumpul. Anak-anak dari Balita hingga yang SMP ikutan nimbrung. Raut wajah anak-anak sangat ceria. Keceriaan mereka tidak kalah dengan remaja yang rata-rata berusia SMA dan pantas disebut kakak mereka.

Mas Tolan atau Cak Tolan, atau cukup dengan penggalan nama “Kas”, begitu para remaja itu biasa memanggil. Remaja yang satu ini sekolah Kelas III SMSR (Sekolah Menengah Seni Rupa) Yogya. Dia bak kepala suku di antara para remaja kampung itu.

Hari itu, 15 Agustus, tepat hari kelahiran Kas alias Mas Tolan. Seperti tahun tahun sebelumnya, dia dari Yogya memang biasa pulang ke rumah. Tidak untuk merayakan hari ulang tahunnya. Karena sebagai anaknya “Emak” di kampung Sby era tahun 70-an, tidak mengenal budaya ulangtahun.

Dia terbiasa pulang lantaran warga kampung punya tradisi heroik memperingati HUT Proklamasi 17 Agustus. Warga menggelar mulai pawai berkostum pahlawan-pahlawan Nasional, parade becak dan sepeda hias, hingga berbagai lomba dan panggung 17-an.

Para remaja itu tanpa dikomando, amat patuh mengikuti apa yang dilakukan Mas Tolan. Kali ini, beda dengan tahun-tahun sebelumnya. Dia tidak hanya berkreasi seni instalasi menghias gang gang kampung.

Ada proses kreatifitas baru. Mas Tolan yang di sekolahnya di SMSR (Sekolah Seni Rupa) Yogyakarta dan berteman akrab dengan rekan sekelas, Butet dan adik kelasnya, Djaduk kabarnya ikut grup teater di sekolahnya. Dia dengan semangat mengajak para remaja kampung berproses kreatif lompatan, meski asing bagi mereka.

Pengalamannya bergaul dengan seniman-seniman Yogya, termasuk Butet muda dan adiknya, Djaduk (Alm) yang dalam perkembangannya jadi seniman teater dan musisi beken di tanah air, benar-benar ingin ditularkan Mas Tolan.

Di usia SMA itu, dia memang ingin mengembangkan kampung tidak mandeg dengan kebiasaan remaja pinggiran yang akrab dengan permainan sabung ayam, adu burung dara, hingga miras.

Proses kreatif baru yang ditawarkan Mas Tolan ke para remaja kampung, tidak hanya mengemas panggung 17-an jadi karya seni instalasi. Tapi, sekaligus jadi panggung pementasan teater.

Dia pulang ke rumah waktunya tidak panjang. Dengan polanya yang khas heroisme ala Suroboyoan, belasan remaja digemblengnya berlatih jadi pemain-pemain teater dadakan.

Saat itu, belum lahir Teater Gandrik-nya Butet, termasuk besutan ilustrasi musik ala Djaduk. Remaja kampung pun tidak banyak hambatan mengikuti arahan MasTolan. Maklum, dia meramu genre teater rakyat khas kampung Suroboyoan model Cak Markeso.

Jumlah pemainnya belasan remaja, praktis mirip pertunjukkan Cak Markeso kolosal. Sarat improvisasi joke-joke Suroboyoan.

Lakon yang digelar mengadopsi kisah “Singosari” dengan menampilkan kebrutalan politik Ken Arok, yang didesain ‘arek kampung’ berhasil jadi raja. Seluruh pemain dari awal hingga akhir tidak seperti besutan dramaturgi konvensional yang keluar masuk panggung.

Begitu awal pertunjukan mulai, lampu padam. Semua pemain mengatur bloking di panggung. Setiap pemain selain membawakan peran, sekaligus pegang alat musik.

Ada yang pegangan set minimalis perangkat gong,. gamelan slendro; gendang, perkusi bambu dan bunyi-bunyian ala musik dapur dan gitar serta bass. Ditambah lagi berbagai kaleng yg disulap jadi bonang. Heboh. Gaduh.

Suasana era 70an itu, kini hanya jadi cerita para remaja yang rambutnya rata-rata sudah beruban, kepada anak cucu mereka. Bahkan, tidak sedikit pula yg menjadi cerita kenangan keluarga, lantaran ditakdirkan tidak berumur panjang. Begitu pun Mas Tolan, atau Cak Tolan. Alias “Kas”. Selamat Ulang Tahun, Mas Lan, begitu saya biasa memanggilnya.@

cak tolankastolan
Komentar (0)
Tambah Komentar