Mewaspadai Komunis Dalam Menunggangi Kebhinekaan

Oleh: M Rizal Fadillah

KEBHINEKAAN dalam arti keragaman itu adalah sunnatullah baik bersuku-suku, berbangsa-bangsa, bahasa, hingga agama dan ideologi. Keragaman yang ada di Negara Kesatuan Republik Indonesia sudah diterima dan tidak menjadi permasalahan.

Komunis adalah salah satu faham atau ideologi yang mewarnai keragaman itu. Hanya saja penting untuk dicatat bahwa komunis merupakan faham atau ideologi sesat, merusak, dan membahayakan. Kategorinya adalah munkar dan kriminal yang harus dicegah dan ditindak sebagaimana kemunkaran lainnya seperti LGBT, korupsi, mencuri, atau membunuh.

Tiga karakter Komunis yang bertentangan dengan nilai-nilai Agama dan juga Pancasila adalah pertama, menyembah berhala materi faham yang semata duniawi dan mempertuhankan benda. Kedua, nir-moral tidak berbasis nilai, bahkan menghalalkan segala cara. Ketiga gemar berkonflik karena akar filosofinya adalah dialektika, menciptakan masyarakat tanpa kelas melalui konflik antar kelas.

Kebhinekaan dalam pandangan Komunis itu tidak berujung “tunggal Ika” tetapi memaksakan kehendak dan selalu ingin menguasai. Sebagai entitas politik, Komunis tidak pernah berkontribusi untuk mewujudkan tujuan Negara sebagaimana dalam pembukaan UUD 1945. Sejarah mencatat PKI selalu berontak dan menumpahkan darah baik pada tahun 1948, maupun tahun 1965. Bahkan sejak tahun 1926.

Karena merusaknya faham Komunis ini maka organisasi PKI dan pengembangan faham Marxisme/Leninisme dan Komunisme menjadi terlarang (Tap MPRS No XXV/MPRS/1966). Bahkan terancam pidana untuk penyebarannya (UU No 27 tahun 1999).

Terma kebhinekaan menjadi alasan aktivis PKI dan Komunis bersemangat untuk mencabut kedua aturan penting di atas. Menurutnya negara RI menjamin perbedaan dan melindungi HAM. Terjadi salah kaprah dalam memaknai HAM. Gerakan Komunis justru merupakan pelanggaran HAM.

Mengepak sayap kebhinekaan tanpa kejelasan arah akan sangat berbahaya, apalagi mengepakkan sayap untuk melindungi Komunisme.

Pertama, doktrin “revolusi mental” yang dikembangkan sebagai doktrin “cuci otak” untuk menjauhkan agama. Sejak Hegel, Marx, Chen Duxiu hingga Aidit. Mao Ze Dong mengkombinasikan dengan “revolusi kebudayaan”.

Kedua, mengepakkan sayap hingga jauh ke RRC dan bersahabat erat dengan negara hegemonik RRC yang bercita-cita membangun imperium baru di negara “jajahan” adalah keluru. Indonesia lupa pada sejarah kelam peran RRC dalam mendukung PKI.

Ketiga, semburan fitnah dengan isu radikalisme, intoleran, anti kebhinekaan yang ditujukan kepada umat beragama khususnya umat Islam dilakukan untuk menutupi kejahatan dirinya. Membalikkan sejarah seolah PKI adalah korban. Perlu rekonsiliasi dan pengakuan eksistensi.

Kini rakyat Indonesia khususnya umat Islam harus memiliki alertness dan awareness terhadap eskalasi komunisme dan bangkitnya PKI baru. Langkah umat dan masyarakat yang utama adalah mempertahankan Tap MPRS XXV/MPRS/1966 dan penegakkan UU No 27 tahun 1999,
sosialisasi komunis sebagai hakekat dari ancaman tantangan hambatan dan gangguan dan (ATHG), serta waspada pada pola semburan fitnah umat yang dituduh radikal, intoleran dan anti kebhinekaan.

Di atas semua itu gagalnya G 30 S PKI adalah karena “hands of God” kekuasaan Ilahi, padahal PKI telah mampu meneror rakyat dan menyusup di semua lini termasuk TNI dan Istana. Sejarah itu tidak boleh berulang.[R]

*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan

komunisM Rizal Fadillah