Misi Menaklukkan “Barat”

Oleh: Rosdiansyah

JIKA disebut kata ‘Barat’, maka yang terbayang dalam benak adalah negara-negara modern berpenduduk maju dalam keseharian. Barat telah membenamkan citra kuat, bahwa negara-negara yang tergolong dalam wilayah itu merupakan negara makmur sejahtera dengan kemajuan sarana, ketertiban, keteraturan serta kepatuhan warga pada hukum dan tatanan sosial. Kolonisasi dan penaklukkan wilayah non-Barat telah ikut memperkuat citra tersebut ke dalam benak pribumi.

Sebagai konsep sosial-politik, Barat dipandang sebagai wilayah yang melahirkan inspirasi kemanusiaan, kebebasan serta penghargaan pada hak-hak warganegara. Para pemikir serta inspirator di berbagai bidang itu tercatat dalam sejarah. John Locke, JJ Rouseau, Thomas Hobbes, Montesquieu, John Stuart Mill, dan masih banyak lagi. Semuanya mengisi sejarah kemanusiaan, kebebasan serta hak warganegara. Ironinya, semua inspirasi itu belum tentu dipraktekkan para penjajah dari Barat di wilayah non-Barat yang menjadi koloninya.

Sejarah pemakaian kata Barat bisa dilacak jauh ke masa silam. Ketika penggunaan kata itu sebelumnya mempunyai berbagai makna, yang kemudian kata ‘Barat’ diambil alih sebagai peneguh sejarah identitas modern. Kata tersebut mulai digunakan sejak tahun 395 M untuk menggambarkan Kekaisaran Romawi Barat, setelah Kekaisaran dibagi di antara dua putra Kaisar Theodosius. Namun Kekaisaran Romawi Barat runtuh tidak lama setelah itu, ditaklukkan oleh bangsa Jerman yang dianggap ‘barbar’. Kemudian, sejak tahun 800 M, kekaisaran Charlemagne mengklaim sebagai penerus Kekaisaran Romawi. Namun, sudah ada kekaisaran Romawi lainnya, yaitu bagian dari dua entitas yang dibagi lebih awal yang tidak ditaklukkan oleh penyerang Jermanik, dengan ibukotanya di Konstantinopel.

Pemakaian kata ‘Barat’ dalam sejarah Eropa menurut Martin Lewis and Karen Wigen merujuk pada tiga tiga hal berbeda. Pertama, kata tersebut merujuk pada wilayah berbahasa Latin warisan dari Kerajaan Romawi kuno. Dan Yunani kuno termasuk ke dalam wilayah tersebut. Hal itu menjadikan wilayah lain disebut non-Barat, meski punya kaitan dengan wilayah tersebut, misalnya Kerajaan Bizantium dan Kekaisaran Rusia. Rujukan kedua tertuju pada wilayah-wilayah lain setelah terjadi ekspansi orang-orang Eropa ke wilayah nun jauh untuk membentuk koloni.

Perbedaan ekstrem antara wilayah yang disebut Barat dengan wilayah non-Barat terjadi pada Perang dunia kedua. Tatkala pertempuran antar kekuatan negara-negara Eropa, yakni Jerman lawan sekutu, faktanya juga berlangsung di wilayah yang jauh dari benua Eropa. Sehingga bisa dikatakan, saat banyak penulis atau intelektual abad ke-19 menyebut wilayah Barat, maka yang dimaksud mereka adalah dalam konteks wilayah geografis dan sejarah. Barat yang dimaksud mereka untuk kaitan ini tertuju pada warisan Kerajaan Romawi dan Eropa.

Rujukan ketiga bisa diperhatikan dari para penulis atau intelektual Prancis dan Jerman pada tahun 1820-an. Mereka memakai kata ‘Barat’ untuk menggantikan Eropa, dan sebaliknya. Misalnya, pemikir Prancis Auguste Comte yang pada awal karyanya memakai kata ‘Eropa’, namun kemudian pada karya-karya akhirnya lebih banyak menyebut ‘Barat’ ketimbang ‘Eropa’. Diantara alasan Comte melakukan itu dikarenakan penyebutan ‘Eropa’ seharusnya juga memperhatikan hal-hal spesifik antar bangsa-bangsa yang melingkupi Eropa. Sedangkan gagasan-gagasannya bersifat universal, maka lebih pas jika memakai kata ‘Barat’.

Perdebatan seputar pemakaian kata ‘Barat’ pun merebak di kalangan pemikir dan penulis Cina, Jepang, Korea, India dan Turki. Mereka mempertanyakan bahkan menggugat apakah yang dimaksud ‘Barat’ itu bermakna geografis ataukah sebutan kepada negara-negara Eropa. Jika bermakna geografis, maka ‘Barat’ yang dimaksud tentu tidak semata merujuk pada wilayah Eropa dan Anglo-Amerika, melainkan bisa merujuk ke kawasan di sebelah barat dari Cina, Jepang, Korea, India atau Turki. Lagipula, disebut ‘Barat’ tidaklah semata karena faktor kemajuan teknologi atau pengetahuan.

Kenyataan menunjukkan wilayah jauh dari Eropa, yakni di seberang lautan Atlantik atau Samudera Hindia, yang dijajah orang-orang Eropa, justru nenek moyang mereka sudah memperlihatkan perkembangan teknologi, pengetahuan serta kebudayaan. Sebaliknya, pada kurun yang sama di masa lampau, justru masyarakat Eropa masih berada dalam kegelapan, penuh mitos, klenik, percaya sihir, dan sebagainya. Sehingga menyebut ‘Barat’ dengan konotasi telah mempunyai keunggulan peradaban di masa lampau, patutlah dipertanyakan.

Buku ini memang ditulis dengan fokus pada dinamika pemakaian istilah ‘Barat’ dari para pemikir serta penulis Eropa dan Inggris. Mereka membayangkan ‘Barat’ sebagai pusat peradaban sekaligus produsen ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam berbagai karya mereka sering implisit meingindikasikan klaim bahwa ‘Barat’ melahirkan peradaban modern yang maju dan progresif. Meski tak bisa dipungkiri, bahwa ‘Barat’ sesungguhnya juga pabrik rasisme, fasisme, dehumanisasi serta dekadensi moral akibat spekulasi liar tanpa batas.

Adalah karya-karya Auguste Comte dari Prancis yang acap memakai kata ‘Barat’ untuk identifikasi diri yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris lalu dibaca luas masyarakat Inggris, pada gilirannya menyemaikan cara pandang yang sama tentang siapa mereka. Walau wilayah geografis Inggris terpisah dari benua Eropa, namun berkat penerjemahan karya-karya Comte itu, masyarakat Inggris terutama para pemikir dan penulisnya, mulai merasa dari identifikasi diri sebagai orang ‘Barat’. Mereka melihat warna kulit yang sama dengan kebanyakan orang-orang Eropa, maka identifikasi itu pun kian melekat kuat.

Masalahnya, merasa sebagai masyarakat ‘Barat’ yang punya misi suci menjadikan ras atau bangsa lain di wilayah lain agar beradab sesuai standar nilai dan moral ‘Barat’, itu jelas memicu konflik. Sejarah membuktikan penjajahan di wilayah-wilayah nun jauh dari Eropa justru sering diklaim sebagai misi suci tersebut. Para penjajah menyatakan mereka hendak menjadikan bangsa lain agar beradab, tapi mereka abai, bahwa penjajahan atau kolonisasi itu sendiri tak beradab.@