Mlaku Mlaku Nang Tunjungan

Oleh: Nanang Purwono

PADA Rabu siang (17/11) saya pergi ke Jalan Tunjungan Surabaya untuk menikmati suasana jalan legendaris yang kabarnya mulai dihidupkan kembali oleh Pemerintah Kota Surabaya.

Sebelumnya memang sudah pernah ada upaya menghidupkan kembali Jalan Tunjungan, tapi selalu tidak maksimal dan gagal. Padahal secara fisik, sudah ada pembenahan pedastrian, membuka topeng topeng yang menutupi perwajahan gedung gedung yang berarsitektur kolonial serta pembuatan taman hias dan pemasangan kursi dan lampu hias di sepanjang trotoar.

Kini upaya itu dilanjutkan kembali. Ketika saya duduk santai di kursi taman yang dipasang di trotoar, saya sempat melihat rombongan staf dan petugas Dinas Pariwisata Kota Surabaya tengah melaksanakan tugas.

Menurut seorang tenant di Jalan Tunjungan, rombongan Dinas Pariwisata Kota itu tengah mempersiapkan adanya atraksi seni untuk meramaikan jalan Tunjungan.

Keramaian di jalan Tunjungan yang bersifat insidentil, tidak natural. Foto: Nanang Purwono

 

Adalah atraksi seni musik yang bakal beraksi di ruas trotoar sisi Timur yang tidak jauh dari hotel Majapahit.

Kiat menghidupkan Jalan Tunjungan ini sebenarnya tidak lepas dari peran warga yang terlebih dahulu berinisiatif membuka cafe-cafe yang letaknya berseberangan dengan hotel bersejarah Majapahit.

Salah seorang tenant di Jalan Tunjungan ini adalah Fahad, yang ternyata berani membuka usaha ketika sudah banyak toko toko di jalan ini tutup akibat menjamurnya mal mal di Surabaya.

Ketika Fahad membuka usaha cafe, pandemi Covid 19 belum melanda. Namun, belum lama usahanya berjalan, pandemi Covid 19 tiba menghantam. Ia pun berusaha bertahan agar bisnis tetap berjalan. Meski harus beroperasi dengan separuh karyawan.

Menghidupkan Jalan Tunjungan di saat seperti ini adalah tantangan besar karena selain sudah berkali kali gagal dan juga pandemi Covid 19 masih menghantui. Entah, apakah upaya kali ini akan berhasil atau kembali gagal. Namun demikian, semua harus optimis di dalam kehidupan yang new normal.

Salah satu sosok gedung berarsitektur kolonial di jalan Tunjungan. Foto: Nanang Purwono

Bagaimanapun Jalan Tunjungan adalah aset kota yang tidak boleh diabaikan dan ditinggalkan seiring dengan perkembangan dan kemajuan kota. Kota boleh membangun mal mal yang baru, tapi Jalan Tunjungan harus diperhatikan. Jalan Tunjungan bukan sekedar jalan biasa pada umumnya. Jalan Tunjungan adalah jalan bersejarah dan legendaris. Karenanya, siapapun harus serius dalam mengelola dan memanfaatkan jalan Tunjungan.

Perlu dicatat dan diingat, Jalan Tunjungan sudah menjadi potret karakter arek arek Surabaya. Dengan adanya peristiwa perobekan bendera Belanda pada 19 September 1945, di sana tertoreh sifat keberanian dan patriotisme arek arek Surabaya dalam menghadapi lawan untuk mempertahankan kemerdekaan.

Sifat dan karakter itu kiranya harus terus dipelihara sebagai modal dan bekal untuk membangun Surabaya ke depan. Memelihara Jalan Tunjungan adalah menjaga karakter arek arek Surabaya.

Tunjungan Surabaya Vs Damrak Amsterdam

Ketika saya berjalan di sepanjang Jalan Tunjungan mulai dari ujung utara (Siola) hingga selatan (hotel Majapahit), saya teringat pada atmosfir Belanda, baik itu melalui film dan foto foto Surabaya tempo dulu maupun melalui pengalaman ketika berkesempatan pergi ke negeri Belanda dan berjalan jalan di jalan Damrak, Amsterdam.

Damrak adalah jalan utama di pusat kota Amsterdam yang menghubungkan stasiun kereta api Amsterdam Centraal di utara dan alun alun kota Damsquare di selatan. Di sepanjang jalan Damrak ini berjajar toko toko, tempat hiburan dan bahkan perhotelan. Jalan Tunjungan Surabaya bagai miniatur jalan Damrak Amsterdam.

Jalan Damrak Amsterdam yang menjadi model Jalan Tunjungan ketika dikembangkan menjadi etalase elit warga Eropa Belanda di Surabaya pada akhir abad 19 dan awal abad 20. Foto: Nanang Purwono

 

Di era Hindia Belanda, Jalan Tunjungan menjadi pengobat rindu bagi warga Eropa dan Belanda di Surabaya terhadap kota Amsterdam, utamanya suasana di jalan Damrak. Ketika itu di jalan Tunjungan masih dilewati transportasi tram listrik, ada pertokoan, tempat tempat hiburan, toko ice cream, toko buku, toko musik, cafe dan restoran, tempat perbelanjaan, hotel, bioskop serta perkantoran.

Trotoarnya menjadi sarana bagi pejalan kaki yang sangat nyaman dan aman. Konon kondisi dan situasi jalan Tunjungan tempo dulu ini persis seperti di jalan Damrak kota Amsterdam dulu dan sekarang.

Lorong Koridor Damrak menghadap ke utara dengan gedung Amsterdam Centraal di kejauhan yang difoto dari gedung Madme Tusoud di area alun alun kota Amsterdam, Dam Square. Foto: Nanang Purwono

 

Artinya di jalan Damrak Amsterdam mulai dulu hingga sekarang masih menjadi sarana publik untuk berbagai kebutuhan. Sementara di jalan Tunjungan sudah mengalami perubahan. Banyak fasilitas dan sarana publik yang hilang. Akhirnya banyak toko toko yang mati. Jalan Tunjungan sempat menjadi jalan protokol yang hanya dilewati kendaraan saja. Banyak pihak seolah lupa terhadap jalan Tunjungan.

Tunjungan Bersolek

Koridor Jalan Tunjungan sudah semakin cantik. Gedung gedung berarsitektur kolonial sudah semakin terbuka, bebas dari topeng topeng yang pernah membungkusnya. Trotoar untuk pejalan kaki juga sudah dibangun sehingga menjadi lebih ramah bagi pejalan kaki.

Mereka bisa berjalan jalan sambil menikmati suasana dengan nyaman dan aman. Taman dan pohon pohon hias menambah cantik dan segarnya jalan Tunjungan. Apalagi sudah ada penerangan jalan umum yang dedesign khusus sehingga serasi dan sesuai dengan nilai historis jalan Tunjungan.

Tongkrongan di pedastrian Jalan Tunjungan. Foto: Nanang Purwono

Ada kursi kursi taman yang terbuat dari besi agar bisa dipakai duduk sambil menikmati suasana Jalan Tunjungan. Tidak lupa juga sudah bermunculan cafe cafe dan restoran. Semuanya untuk memanjakan warga yang ingin mlaku mlaku di Jalan Tunjungan.

Dengan begitu Jalan Tunjungan semakin menarik perhatian publik. Kenyataannya, mereka sudah mulai berdatangan untuk jalan jalan dan berwisata di jalan tersebut.

Jalan Tunjungan sudah menjadi studio alam. Banyak pengunjung yang berfoto ria di tempat ini. Pengunjung yang berdatangan berasal dari beragam usia mulai dari yang dewasa hingga anak anak. Apalagi anak anak muda. Ibaratnya jalan Tunjungan bagai gula manis yang dikerubuti boleh semut semut. Pengunjung mulai menikmati manisnya jalan Tunjungan.

Jalan Tunjungan menjadi obyek fotografi dan videografi. Foto: Nanang Purwono

 

Namun ada satu hal yang seharusnya bisa ditambahkan di koridor ini. Yakni karya seni patung yang bisa dietalasekan di sepanjang trotoar. Etalase seni patung ini menggambarkan sosok pahlawan Surabaya, mulai dari pahlawan kemerdekaan, pahlawan seni budaya, pahlawan olahraga, pahlawan ekonomi dan sebagainya yang dianggap telah berkontribusi kepada kota Surabaya.

Dengan persembahan seni patung yang menghiasi trotoar Jalan Tunjungan, maka pengunjung akan memperoleh nilai tambah dengan berkunjung ke jalan Tunjungan. Yakni ada nilai pendidikan. Mereka bisa mengenal tokoh tokoh penting dari kota Surabaya.

Dengan begitu Jalan Tunjungan akan menjadi perpaduan etalase seni, budaya, sejarah, pendidikan, ekonomi, pembangunan dan bahkan peradaban.[]

*) Penulis adalah pemerhati sejarah Kota Surabaya

Jalan TunjunganMlaku mlaku nang tunjungannanang purwonosurabaya