Mochtar Kusumaatmadja, Tokoh di Balik Pelepasan Bill Master

Mantan Menteri Luar Negeri Prof.Dr. Mochtar Kusumaatmadja meninggal di usia 92 tahun. Dalam usia yang hampir 1 abad itu. Keberhasilan-keberhasilannya di Dunia Diplomatik dan Akademik sangat berarti buat bangsa dan negara. Dan tersebutlah keberhasilannya membebaskan tentara Amerika Serikat (AS) Bill Master di Vietnam.

REKAYOREK.ID Keberhasilan diplomasi Mochtar yang sangat menonjol adalah ketika dia berhasil membebaskan Bill Master (tentara Amerika Serikat AS) dari tahanan pihak Vietnam tahun 1985. Pada waktu itu Mochtar menjabat Menteri Luar Negeri (Menlu) RI yang dimintai tolong oleh Menlu AS, George Shultz agar membantu membicarakan pembebasan Bill Master kepada Menlu Vietnam Nguyen Co-Thach di Hanoi.

Bill Master adalah seorang tentara AS berpangkat kolonel. Dia ditugaskan pemerintahnya untuk menyusup ke daerah Vietnam dengan tugas mengecek keberadaan tahanan Amerika yang masih hidup di wilayah itu. Sayang, tugas yang diberikan kepada Bill Master gagal karena ketahuan. Dia ditangkap dan  ditahan oleh pihak Vietnam.

Saat kunjungan Menlu RI Mochtar Kusumaatmadja ke Hanoi tahun 1985, pesan dari Menlu AS itu disampaikan kepada Menlu Cho-Thach agar Vietnam segera membebaskan Bill Master. Tetapi menurut Mochtar, Menlu Vietnam tidak menanggapinya. Akhirnya dipakailah jalur non formal, sehingga Bill Master berhasil dibebaskan. Kecerdasan Mochtar dalam memilih orang yang tepat untuk membantunya juga merupakan keberhasilannya berdiplomasi mengenai berbagai hal.

Selain itu. Mantan Menteri Luar Negeri RI, Dr.N.Hassan Wirajuda pada satu kesempatan menyampaikan bahwa dalam bidang hukum internasional, Indonesia harus bangga memiliki Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, sang penggagas konsepsi wawasan nusantara. Pemikiran dan konsep Prof. Mochtar dianggap sebagai kekuatan besar yang pada akhirnya membawa pengakuan dunia inter internasional atas Indonesia sebagai negara kepulauan yang berdaulat.

Menurut Hassan, perjuangan panjang Prof. Mochtar melalui kemampuan  diplomasi dan pengetahuannya yang luas mengenai hukum internasional, bukan saja berhasil mempertahankan setiap jengkal pulau nusantara, tetapi juga menambah luas Negara Kepulauan Republik Indonesia, tanpa sebutir pun peluru. Ini merupakan keberhasilan yang luar biasa. Titik kunci kemenangan diplomasi kita terletak pada argumentasi yang kuat.

Hassan  juga menjelaskan,  kekalahan Indonesia dalam kasus Pulau Sipadan dan Ligitan berdampak negatif terhadap dunia diplomasi Indonesia… “Kekuatan diplomasi Indonesia sering dipandang miring oleh berbagai pihak. Ini muncul, terutama akibat kekalahan kita dalam kasus Pulau Sipadan dan Ligitan yang sebenarnya tidak pernah kita klaim sebagai bagian dari negara kita.”

Padahal, kata Hassan, banyak bidang hukum di dunia internasional yang membutuhkan ahli-ahli yang khusus menggeluti masalah itu, seperti bidang hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM). Sejak  dideklarasikannya bill of rights, banyak instrumen hukum dalam bentuk konvensi dan deklarasi dibuat. “Indonesia setidaknya perlu memiliki sepuluh ahli HAM yang punya penguasaan mendalam di bidang itu,” tutur Hassan.

Bidang lain adalah bidang hukum perdagangan. Menurut Hassan, sejak diberlakukannya World Trade Organization (WTO), peran hukum internasional menjadi begitu besar. Belum lagi dalam bidang kerjasama regional. “Di wilayah ASEAN kita telah miliki Asean Free Trade Area atau AFTA serta menjajaki free trade area dengan Asia Timur dan India. ASEAN dan juga Indonesia telah menandatangani beberapa free trade agreements, namun siapa ahli yang akan peduli dengan bidang ini? Perhatian universitas-universitas di Indonesia masih kurang, begitu pula para ahli,” papar Hassan.

Untuk itu, Hassan mengajak kalangan universitas untuk berkomunikasi dan bertukar pikiran dengan pihaknya yang juga berkepentingan untuk mengomunikasikan perkembangan dunia praktik kepada kalangan universitas. “Kita harus bisa menjawab tantangan-tantangan sebagai bangsa dalam pergaulan internasional. Era globalisasi menawarkan ruang, namun jika kita tidak siap, kita hanya akan menjadi penonton. Kita perlu bersama-sama bersinergi untuk menjawab tantangan tersebut,” kata Hassan mengakhiri.

Pelopor Wawasan Nusantara

Prof .Dr. Mochtar Kususmaatmadja adalah tokoh diplomasi Indonesia yang merupakan pelopor pengakuan konsep Wawasan Nusantara Indonesia atau Negara Kepulauan Indonesia dalam Hukum Internasional di Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1982.

Wawasan nusantara memiliki arti bahwa salah satu persyaratan mutlak yang harus dimiliki oleh sebuah negara adalah wilayah kedaulatan, di samping rakyat dan pemerintahan yang diakui. Konsep dasar wilayah negara kepulauan telah diletakkan melalui Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957. Deklarasi tersebut memiliki nilai sangat strategis bagi bangsa Indonesia, karena telah melahirkan konsep Wawasan Nusantara yang menyatukan wilayah Indonesia. Laut Nusantara bukan lagi sebagai pemisah, akan tetapi sebagai pemersatu bangsa Indonesia yang disikapi sebagai wilayah kedaulatan mutlak Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Mochtar adalah mantan Menteri Luar Negeri RI (1978-1988) dan Guru Besar Fakultas Hukum Unpad,  menyelesaikan S1 nya di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (1955). Melanjutkan kuliah di Sekolah Tinggi Hukum Yale (Universitas Yale) AS (1955). Kemudian menekuni program doktor (S3) bidang Ilmu Hukum Internasional di Universitas Padjadjaran ( lulus 1962)

Lahir di Jakarta pada 17 April 1929. Memulai karier sebagai diplomat diusia 29 tahun, dikenal piawai dalam mencairkan suasana dalam suatu perundingan yang amat serius bahkan sering menegangkan. Dia cepat berpikir dan melontarkan kelakar untuk mencairkan suasana. Diplomat penggemar olahraga catur dan berkemampuan berpikir cepat namun lugas ini, memang suka berkelakar.

Mochtar juga pernah menjadi Wakil Indonesia pada Sidang PBB mengenai Hukum Laut, Jenewa dan New York. Ia berperan banyak dalam konsep Wawasan Nusantara, terutama dalam menetapkan batas laut teritorial, batas darat, dan batas landas kontinen Indonesia.

Tahun 1958-1961, dia telah mewakili Indonesia pada Konperensi Hukum Laut, Jenewa, Colombo, dan Tokyo. Beberapa karya tulisnya juga telah mengilhami lahirnya Undang-Undang Landas Kontinen Indonesia, 1970. Dia memang seorang ahli di bidang hukum internasional.

Dari sejak mahasiswa, terutama setelah menjadi dosen di Fakultas Hukum Unpad Bandung, Mantan Dekan Fakultas Hukum Unpad ini telah menunjukkan ketajaman dan kecepatan berpikirnya. Ketika itu, dia dengan berani sering mengritik pemerintah, antara lain mengenai Manifesto Politik Soekarno. Akibatnya, dia pernah dipecat dari jabatan Guru Besar Unpad. Pemecatan itu dilakukan Presiden Soekarno melalui telegram dari Jepang (1962).

Namun pemecatan dan ketidaksenangan Bung karno itu tidak membuatnya kehilangan jati diri. Kesempatan itu digunakan menimba ilmu di Harvard Law School (Universitas Harvard), dan Universitas Chicago, Trade of Development Research Fellowship tahun 1964-1966.

Malah kemudian kariernya semakin melonjak setelah pergantian rezim dari pemerintahan Soekarno ke pemerintahan Soeharto. (Pemerintahan Soeharto memberi batasan pembagian rezim ini sebagai Orde Lama dan Orde Baru).

Di pemerintahan Orde baru, sebelum menjabat Menteri Luar Negeri Kabinet Pembangunan III dan IV, 29 Maret 1978-19 Maret 1983 dan 19 Maret 1983-21 Maret 1988, menggantikan ‘Si Kancil’ Adam Malik, Mochtar terlebih dahulu menjabat Menteri Kehakiman (Menkeh) Kabinet Pembangunan II, 28 Maret 1973-29 Maret 1978. Namun tampaknya dia lebih menunjukkan kepiawaian dalam jabatan Menlu dibanding Menkeh.

Di tengah kesibukannya sebagai Menlu, dia sering kali menyediakan waktu bermain catur,  kegemarannya, terutama pada perayaan hari-hari besar di departemen yang dipimpinnya. Bahkan pada akhir tahun 1985, ia terpilih menjadi Ketua Umum Persatuan Catur Seluruh Indonesia (PERCASI)).

Mochtar Kusumaatmadja, 17 November 1978.

Mochtar dan Politik Luar Negeri RI

Mochtar merupakan sosok diplomat yang handal dalam mengemukakan berbagai persoalan yang berkaitan  dengan kebijakan politik luar negeri bebas dan aktif. Ketika dirinya dikritik berkunjung ke Moskow oleh pers Barat, khususnya pengamat politik AS yang menilai politik luar negeri RI mengalami pergeseran, Mochtar mengatakan bahwa anggapan para pengamat politik AS itu kurang tepat. Karena politik luar negeri Indonesia bersifat bebas dan aktif, maka Indonesia bebas menetapkan dengan siapa dia berhubungan. Jadi,  menurut Mochtar, kunjungannya ke Moskow merupakan hal yang wajar. Bahkan, Mochtar adalah orang yang pertama kali dari Menlu non komunis yang berani menanyakan pengurangan perlombaan senjata nuklir dan perlucutan senjata kepada Menlu Uni Soviet Andrei Gromyko ketika di  Moskow.

Tetapi mengenai pemulihan hubungan dengan Republik Rakyat Cina (RRC) yang pada waktu itu belum pulih, Mochtar tidak sependapat dengan pendahulunya Menlu Adam Malik yang berkeinginan sesegera mungkin diselenggarakannya  hubungan diplomatik. Ujar Mochtar, pemulihan hubungan tersebut tergesa-gesa. Boleh jadi pernyataan Mochtar seirama dengan keyakinan Presiden Soeharto bahwa hubungan dengan RRC sangat tergesa-gesa. Bahkan kepada Menlu Adam Malik Soeharto pernah  bertanya mengapa     Adam Malik tidak bisa melepaskan ciri kewartawanannya ketika sudah menjadi  pejabat public?

Bagaimana pun,  bagi Mochtar RRC adalah negara penting. Tanpa kedutaan besar, hubungan kedua negara pun bisa berjalan dengan baik. Misalnya masalah Kamboja yang harus diselesaikan dengan RRC. Tanpa RRC masalah itu tidak akan selesai, ujar Mocthar.

Pada saat Mochtar menjadi Menlu, masalah Kamboja adalah yang paling banyak dibicarakan. RRC dan Vietnam adalah dua negara kunci yang bisa menyelesaikan masalah tersebut. RRC pendukung Khmer Merah, sedangkan Vietnam pendukung pemerintahan di Kamboja. Hal ini terlihat ketika RRC memilih abstain pada saat

Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa bersidang untuk menyelesaikan masalah Kamboja dan  berniat memberi sanksi kepada Khmer Merah.

Banyak pihak berpendapat, karena kecepatannya berpkir ia berhasil memainkan posisi dan kebijakan politik bebas-aktif Indonesia dalam peta diplomasi dunia. ***

Mochtar Kusumaatmadja