Oleh: M. Isa Ansori
DI balik semangat pembangunan dan kemajuan kota, Surabaya masih menyimpan realitas sosial yang memprihatinkan: anak-anak bermasalah yang tumbuh dalam keluarga tanpa arah. Mereka hidup dalam pola pikir bebas tanpa kendali, keluar malam, bermain game, tidak mau menerima nasehat dan bahkan sering membangkang pada orang tua, tidak mau sekolah, pulang pagi, tidur pada saat waktunya sekolah, malas, dan hanya mengikuti kesenangan sesaat. Bahkan ketika orang tua telah berusaha mendampingi dan membimbing, mereka tetap menolak dan menjadi beban rumah tangga.
Situasi ini bukan semata soal kenakalan remaja. Ini adalah krisis masa depan, krisis pembentukan karakter, dan sekaligus ujian bagi kehadiran negara dalam menjamin hak tumbuh kembang setiap anak. Jika tidak segera ditangani, mereka akan tumbuh dalam lingkungan yang salah, menyatu dalam pergaulan destruktif, dan kelak bisa menjadi pelaku maupun korban dari kerusakan sosial yang lebih besar.
Berangkat dari kepedulian inilah, Pemerintah Kota Surabaya menghadirkan Rumah Ilmu Arek Suroboyo (RIAS) yang terintegrasi dalam Kampung Anak Negeri dan Asrama Bibit Unggul. Fasilitas ini bukan sekadar tempat tinggal sementara, melainkan sebuah model penanganan terpadu bagi anak-anak yang rentan dan bermasalah. Di dalamnya, anak-anak mendapatkan pendampingan sosial, pendidikan karakter, keterampilan hidup, hingga terapi psikososial secara intensif.
Namun, keberadaan RIAS tidak cukup bila hanya menunggu laporan. Negara harus menjemput! Pemerintah kota bersama RT, RW, kader Surabaya Hebat, hingga tokoh masyarakat harus aktif menelusuri keberadaan anak-anak bermasalah yang tersembunyi di kampung-kampung, di lorong-lorong sempit kota, di rumah-rumah yang sunyi namun penuh ledakan konflik. Bahkan kalau perlu pemerintah kota membuat layanan call center sebagaimana layanan call center kesehatan, sehingga masyarakat, orang tua yang merasakan kesulitan mengatur anaknya bisa langsung menginfokan kepada pemerintah kota.
Langkah ‘jemput bola’ ini adalah bentuk nyata kehadiran negara dalam menyelamatkan anak-anak yang telah kehilangan arah. Negara perlu tegas, tidak boleh ragu mengasramakan anak-anak seperti ini demi menyelamatkan mereka—dan sekaligus meringankan beban keluarga.
Tindakan ini bukan penghukuman. Ini adalah intervensi penuh cinta dan tanggung jawab negara, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Pasal 21 menyatakan bahwa negara, pemerintah, dan pemerintah daerah berkewajiban memberikan perlindungan khusus kepada anak yang mengalami masalah sosial. Termasuk anak yang memerlukan pembinaan intensif di luar rumahnya.
Surabaya telah memulainya. Kini, tinggal bagaimana kita memastikan pendekatan ini diperkuat: anggaran diperbesar, jumlah pengasuh ditambah, standar pembinaan ditingkatkan, dan yang tak kalah penting, diperluas jangkauannya ke seluruh kota.
Di tengah tantangan zaman, menyelamatkan satu anak dari kehancuran adalah menyelamatkan generasi. Surabaya tidak hanya sedang membangun trotoar, jalan, dan gedung. Surabaya sedang membangun peradaban—dan RIAS menjadi salah satu fondasi pentingnya.@
*) Kolumnis dan Pendidik, Dewan Pakar LHKP PD Muhammadiyah Surabaya dan Pengurus Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jatim