REKAYOREK.ID Dusun Bumbung yang terletak di desa Bengkawan, kecamatan Seluas, kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, merupakan salah satu daerah terisolir. Meski demikian daerah yang jaraknya tidak terlalu jauh dari perbatasan Malaysia bagian Timur, dengan mayoritas penduduknya yang berasal dari suku dayak Bekaeh itu, ternyata begitu banyak menyimpan potensi yang indah dan hal hal unik.
Di antaranya adalah pemandangan alam berupa empat air terjun dengan balutan hutan tropis yang masih alami.
Sisi lain, beberapa adat istiadat peninggalan leluhur dan keunikan-keunikan lain yang bersifat tradisional amat jarang terekspos dan diketahui oleh dunia luar.
Sementara, kebudayaan wilayah terpencil ini, mencerminkan kearifan lokal masyarakat setempat. Hebatnya lagi, masyarakat setempat masih memelihara semua tradisi-tradisi itu. Bahkan terlihat dirawat dan dipertahankan dengan baik.
Galeri Foto: Ritual Tiink, Penghormatan Dayak Bekaeh pada Tamu
Namun sulitnya menjangkau daerah itu, akibat tidak adanya infrasturktur jalan sebagai akses lalu lintas, menjadi sebuah sekat tersendiri.
Sementara masyarakat setempat pun hanya mengandalkan sungai sebagai satu-satunya jalur transportasi yang dapat dilewati. Tentu saja dengan alat transportasi regionalnya berupa long boat. Namun, perjalanan sungai menuju lokasi ini, merupakan sebuah pengalaman dari negeri dongeng, seperti yang dirasakan wartawan Jemy Haryanto.
Sulitnya medan yang ditempuh, juga jarak yang sangat jauh, kurang lebih tiga jam di atas air, tidak membuat langkah dan keinginan menjadi surut untuk mengetahui lebih banyak keindahan kawasan ini. Khususnya tradisi-tradisi lokal yang ada di sana. Justru tantangan-tantangan itu dapat menjadi alasan untuk semakin memacu diri.
Dan salah satu tradisi atau adat istiadat yang sempat dikenalkan pada penulis waktu itu adalah upacara sambut tamu. Masyarakat setempat menyebutnya dengan istilah ritual adat tiink.
Ritual ini adalah suatu tradisi peninggalan nenek moyang yang masih dipertahankan secara turun temurun dalam komunitas Suku Dayak Bekaeh rumpun dari Suku Dayak Bidayuh.
Upacara adat baru akan digelar ketika ada tamu yang datang. Ini merupakan ekspresi atau wujud suka cita dan penghormatan dari masyarakat Suku Dayak Bekaeh.
Mereka percaya ajaran nenek moyang mengandung kebaikan dan nilai-nilai luhur. Ritual itu menegaskan bahwa setiap orang atau tamu yang hadir di tengah-tengah mereka adalah berkah yang dikirim oleh Tuhan Yang Maha Kuasa atau Jubata. Tujuan lain pelaksanaan ritual tiink adalah untuk melindungi dan menjauhkan para tamu dari marabahaya selama tinggal di kampung itu.
“Kami percaya kalau tamu itu merupakan berkah dari Tuhan, karena itu harus dihormati dan dilindungi layaknya keluarga. Seperti kata pepatah juga bahwa tamu adalah raja, itu benar, sehingga kita harus melayani mereka sebaik mungkin,” ucap salah seorang warga.
Ritual adat yang biasa juga diselenggarakan dalam upacara adat besar seperti Nyobeng dan Mit Podi Bauh. Ritual ini memiliki dua tahap dalam pelaksanaannya. Yang pertama adalah ritual mentah.
Dalam sesi ini Kepala Adat meminta beberapa orang warga untuk menyiapkan alat musik tradisional berupa gong dan gendang panjang yang nantinya akan dimainkan untuk mengiringi prosesi. Kemudian mengumpulkan bahan dan rempah-rempah sebagai syaratnya yang meliputi daun simpur, daun sirih, pinang, kapur sirih, buah pisang, umbi-umbian, seekor ayam, dan tak lupa tuak yang terbuat dari beras ketan.
“Bahan-bahan ini harus lengkap, karena jika salah satu ada yang kurang dapat membuat celaka, tidak saja tamu tapi juga warga kampung,” ucap Pak Tongah, Kepala Adat di dusun Bumbung, yang memimpin upacara adat ini.
Setelah semua terkumpul, bahan-bahan tersebut kemudian dipotong dan diracik kecil-kecil. Setelah itu dipisahkan menjadi tiga bagian dan disimpan di atas daun simpur. Seketika itu juga alat musik trdisional dimainkan.
Permainan musik itu sendiri oleh masyarakat setempat disebutnya dengan istilah Mogotan. Mogotan adalah sebuah proses upacara yang bertujuan untuk memanggil roh jahat.
Sambil membaca mantra-mantra Kepala Adat menuangkan tuak dari tempayan ke dalam gelas dan meminumnya. Sirih, kapur dan buah pinang dikunyah yang proses ini sangat mirip dengan tradisi Nyirih orang-orang tua di Indonesia pada umumnya. Ayam dipotong dan darahnya diteteskan pada bahan-bahan dan alat musik.
“Ini bertujuan untuk memberikan makan pada roh jahat agar tidak mengganggu tamu-tamu,” jelas Pak Tongah.
Selanjutnya orang tua itu mengelilingi panggung yang memang dibuat untuk menyambut para tamu yang datang, sambil kembali membaca mantra-mantra. Setelah itu mengambil salah satu bahan yang telah digabungkan dengan darah ayam dan meletakannya di samping alat musik. Ritual mentah pun selesai dan masuk pada tahap kedua yaitu ritual masak.
Pada kesempatan ini hampir semua terlibat proses yang diterapkan dalam ritual masak. Prosesi ini sama dengan tahap sebelumnya. Hanya saja ayam yang telah dipotong tadi dibersihkan dan dibakar, lalu para tamu dipanggil naik ke atas panggung.
Sambil menunggu ayam tersebut masak, Kepala Adat memberi doa dan berkat pada seluruh tamu satu persatu tamu. Setelah itu mereka para tamu menyantap daging ayam secara bersama-sama, yang merupakan ritual penutup. Prosesi itu sebagai tanda penutup dari semua rangkaian ritual yang telah dilaksanakan.
Dalam sesi penutup ini pula, terlihat betapa manusia itu perlu banyak belajar pada manusia lain, kehidupan lain, budaya lain. Hal ini berguna menghilangkan batasan-batasan yang selama ini dibangun oleh manusia itu sendiri dari keangkuhan maupun egoisme pikiran.
Dari rute perjalanan menuju Desa Bengkawan, Kecamatan Seluas, hingga mengiluti rangkaian ritual Tiink, penulis betul-betul merasakan bahwa kebersamaan dalam perbedaan itu indah. [Jemy Haryanto]