Oleh: Aidil Aulya
BARU-BARU ini Peter Fleming menerbitkan buku provokatifnya yang berjudul “Dark Academia: How Universities Die”. Sama halnya dengan buku-bukunya yang lain, Fleming masih fokus meneliti tentang neoliberalisme. Agenda-agenda neoliberalisme sudah merambah pelbagai bidang, termasuk universitas.
Setidaknya, pemikiran Fleming punya basis argumentasi yang lebih kuat ketika dia melihat bagaimana sebuah universitas berjalan terseok-seok di masa pandemi global covid-19 (baca: menuju endemi). Narasi-narasi provokasi yang diuraikan Fleming sangat relevan dengan psikososial sejumlah universitas di Indonesia.
Setidaknya kita bisa mengamati bagaimana universitas bertransformasi menjadi korporasi yang menghidupi dirinya dengan terjun ke pasar bebas lalu menjelma menjadi sebuah mesin-mesin ekonomi.
Kecenderungan universitas tidak lagi memproduksi pikiran dan ide-ide besar, tetapi lebih pada menyiapkan robot-robot untuk kebutuhan pasar.
Homo academicus (meminjam istilah Pierre Bourdieu) tidak lagi menjadi produsen gagasan, tetapi hanya sekadar menjadi peternak bidak korporasi atau kekuasaan.
Kata universitas terambil dari bahasa latin “universitas magistrorum et scholarium”, yang berarti komunitas guru dan akademisi. Bisa dipahami bahwa universitas adalah tempatnya para akademisi menguji gagasan, mengembangkan pengetahuan, menguatkan nalar kritis, dan menumbuhkan bibit-bibit intelektual selanjutnya.
Universitas adalah tempatnya para akademisi berkreasi, tumbuh dan mengembangkan kreatifitas ilmu pengetahuan. Sejarah universitas adalah sejarah bersemainya para pemikir besar, bukan tempat pembusukan akal sehat!
Lalu bagaimana kehidupan para intelektual berjubah akademisi yang berada di universitas? Jika pendapat Fleming tentang kematian universitas terlalu banal untuk dikunyah, maka setidaknya bisa dikatakan bahwa universitas sudah roboh.
Para akademisi sekarang tidak lagi sedang berdiri di menara gading pengetahuan dan keilmuan, tetapi sedang meratapi nasib di bawah puing-puing kehancuran. Dulu disebut di menara gading karena para akademisi hanya sibuk dengan konsep dan teori lalu jauh dari realitas masyarakat.
Kondisi sekarang, pondasi menara gading itu sudah runtuh dan para akademisi tersebut sedang berjejalan di bawah reruntuhan. Dulu dikritik karena jauh dari realitas sosial masyarakat, sekarang dianggap penyakit karena laku buruknya dalam menyelesaikan persoalan praktis di masyarakat.
Para akademisi lebih menggugu pada kekuasaan dibanding ilmu pengetahuan. Sibuk menyiapkan titel-titel akademik dan menghamba untuk mendapatkan H-Indeks sitasi demi gelar akademik tertinggi.
Nahasnya, titel akademik itu tidak diiringi dengan produksi ide dan kemajuan pengetahuan, tetapi hanya dan untuk mendekat pada ruang kekuasaan. Sampai-sampai ada yang menjadi bunglon dengan mengubah warnanya agar harmonis dengan penguasa.
Tidak sedikit juga para akademisi yang menyandang gelar guru besar (dengan pelbagai cara!), tetapi tidak (atau mungkin sedikit?) pernah punya konsep-konsep besar.
Masyarakat umum tertawan dengan deretan gelar di depan dan di belakang namanya, tetapi tertawa dengan isi kepala mereka.
Siapa yang peduli dengan kematian universitas? Toh, para akademisi dan kita semua mungkin saja sebagai tersangka utama pembunuhan itu. Tragis.
Mutasi akademisi
Tidak hanya virus, pemaknaan “menjadi akademisi” juga sedang bermutasi. Dulunya akademisi disebut sebagai kaum intelektual yang selalu punya dedikasi tinggi terhadap pengetahuan dan selalu memproduksi ide-ide besar.
Sekarang kebanyakan akademisi hanya berperan sebagai pemain cadangan yang menunggu panggilan kekuasaan. Jika panggilan kekuasaan itu tak kunjung datang, maka mereka beratraksi sambil berharap dilirik lingkar kekuasaan.
Ujung-ujungnya sama, membangun relasi kuasa. Intelektual semacam ini dalam bahasa Antonio Gramsci dalam ‘Prison Notebooks’-nya disebut sebagai intelektual tradisional.
Intelektual tradisional menurut Gramsci adalah corong kehendak penguasa. Kenyataan pahit ini terus berlanjut dengan bertambahnya jumlah para akademisi, titel akademiknya semakin panjang, tetapi hanya sebatas itu. Tidak banyak yang membanggakan.
Akibatnya, mahasiswa sebagai calon intelektual selanjutnya menjadi terdisrupsi. Akademisi yang mendidiknya hanya sebatas menjalankan ritus-ritus rutinitasnya dengan mengajar, tetapi tidak membentuk identitas intelektual mahasiswa didiknya.
Faktor apa yang menyebabkan kebanyakan akademisi bermutasi? Diakui atau tidak, kekuasaan ternyata ikut berkontribusi untuk mematikan akademisi dengan privilese kebebasan yang dimilikinya.
Ruang kebebasan akademik hanya wacana-wacana lusuh yang menopang demokrasi tetapi mati di tangan para tiran. Kampus merdeka bisa saja hanya menjadi jargon artifisial tanpa makna.
Siapapun boleh berkata apapun, bebas, aman, dan dijamin undang-undang, tapi jangan sampai terdengar suaranya. Suarakan saja kebebasan itu di dalam kebisuan, karena kalau kebebasan itu terdengah lirih, maka jeratan hukum siap menanti.
Belum lagi counterattack dari jemari para buzzer oligarki di media sosial yang siap menguliti para akademisi yang lantang bersuara. Lalu pada akhirnya universitas sudah berubah menjadi perpanjangan tangan para oligarki dan para pimpinannya malah berubah menjadi diktator bermerek in”telek”tual.
Bukan tidak mungkin, kematian universitas dan pembungkaman ruang kebebasan akademik justru dilakukan oleh para akademisi itu sendiri. Motifnya bisa bervariasi, mempertahankan status quo sebagai penguasa kampus atau hanya karena berbeda pandangan.
Bahkan ada beberapa akademisi yang juga berprofesi menjadi para pendenggung (buzzer). Otak cemerlangnya dipakai hanya untuk jadi juru bicara kekuasaan dan mendekonstruksi kebenaran sesuai dengan versinya.
Tujuannya jelas, memanjakan kuping relasi kuasanya. Kekuasaan itu selalu menarik. Jarang orang tidak tergoda atau setidaknya berselera untuk menjadi penguasa.
Sekelam itukah keadaannya? Saya sedang tidak membangun cerita-cerita distopia (imajinasi ketakutan). Fenomena ini nyata. Hanya saja kita bisa perdebatkan tentang berapa banyaknya fenomena mutasi akademisi ini terjadi.
Apakah mutasi akademisi dan keruntuhan universitas ini hanya menyasar pada kelompok akademisi di universitas negeri saja?
Ternyata tidak juga. Akademisi di universitas swasta pun juga dipaksa mengubah dirinya hanya sekadar untuk bertahan hidup dari tangan-tangan oligarki.
Kematian universitas dalam istilah Fleming mungkin bisa ditangkas dengan memunculkan kembali ruang kebebasan akademik. Hanya dengan kebebasanlah para intelektual organik kembali bersemi.
Intelektual organik dalam istilah Gramsci merupakan para intelektual yang bisa membangkitkan kesadaran perlawanan dengan basis pengetahuan yang dimilikinya.
Tidak usah fobia dengan kata perlawanan! Perlawanan disini tidak hanya dalam konteks kontestasi politik kekuasaan saja, tetapi jauh lebih umum, yaitu perlawanan terhadap penyakit-penyakit sosial kemasyarakatan.
Intelektual akademik yang seperti itulah yang sedang dibutuhkan agar keluar dari labirin permasalahan bangsa ini.
Jika asumsi Fleming benar dengan menyatakan bahwa universitas sudah mati, maka cukup berat tugas akademisi intelektual organik yang masih tersisa. Melakukan reformasi atau lebih ekstremnya melakukan revolusi sistem di universitas.
Saya tidak sedang bercarut-carut menghujat “segelintir” akademisi dan kaum intelektual. Saya hanya sedang berefleksi dan melakukan autokritik.
Anggap saja tulisan ini jeritan bisu yang tertuliskan oleh “intelektual tradisional” seperti saya. Saya dan para akademisi lainnya bisa saja sudah tidak lagi menjalankan khittah intelektualitas.
Mungkin juga sudah menghamba pada unsur-unsur di luar ilmu pengetahuan atau bahkan tidak tertutup kemungkinan libido kekuasaan saya sedang bangkit, lalu saya menulis ini sebagai penanda bahaya. Entahlah![]
*) Penulis adalah Dosen Fakultas Syariah UIN Imam Bonjol Padang dan Ketua Lakpesdam PWNU Sumatera Barat