Rumah Tradisional Surabaya Seperti Apa?

REKAYOREK.ID Surabaya sudah lama ada. Menurut GH Von Faber dalam bukunya “Oud Soerabaia” jejak Surabaya sudah ada pada 1275 dan umum dikenal pada 1293 sebagaimana diperingati sebagai hari jadi Surabaya, 31 Mei 1293.

Sementara itu berdasarkan temuan arkeologi, yang berupa prasasti Canggu, keberadaan desa Surabaya sebagai Naditira Pradeca (desa di tepian sungai) tertulis tanggal 7 Juli 1358 dan diterbitkan oleh Raja Majapahit Hayam Wuruk.

Lainnya adalah sumur Jobong. Keberadaan sumur kuno di kampung Pandean, sumur Jobong, juga menunjukkan keberadaan permukiman lokal bahwa sudah ada masyarakat di wilayah itu, Pandean Peneleh.

Sumur Jobong adalah wujud keberadaan kebutuhan domestik kala itu. Sumur ini sudah ada pada 1430. Jika ada warga, di situ tentu ada tempat tinggal, rumah. Melacak keberadaan rumah pada masa masa awal Surabaya di abad 13 dan 14 tidaklah mudah. Terlalu jauh ke belakang dan ketika itu tidak ada bentuk dokumentasi yang merekam.

Rumah Majapahitan & Tradisional

Di akhir abad ke 13 adalah awal masa Kerajaan Majapahit, rumah rumah Majapahitan diidentifikasi sebagaimana sekarang ada di desa Bejijong. Desain rumah Mojopahitan ini ditiru dari sumber relief di candi Tegowangi.

Rumah Mojopahitan di desa Bejijong, Trowulan Kabupaten Mojokerto. Foto: ist

 

Modelnya punya ciri-ciri antara lain: Memiliki pondasi batu sungai yang tinggi, Memiliki tiga anak tangga di depan pintu masuk, Memiliki atap yang miring ke depan dan belakang yang dikenal sebagai atap pelana dan Memiliki hiasan wuwungan, mahkota.

Relief rumah tradisional di candi Tegowangi. Foto: ist

 

Sementara itu menyimak gambar peta lama, yang mengilustrasikan kota Surabaya tahun 1750-an, bahwa di kawasan zona Eropa Kota lama Surabaya, terdapat perkampungan Jawa dan keluarga Bangsawan Madura, Pangeran Songennep, dapat diduga bahwa arsitektur rumah rumahnya bergaya tradisional.

Komplek rumah Tanian Lanjheng Madura. Foto: ist

 

Rumah tradisional Madura, tidak hanya melihat satu persatu bangunan rumah. Tetapi menyangkut satu tata ruang. Komplek tata ruang rumah tradisional Madura disebut Tanean Lanjhang, yang berarti halaman panjang. Rumah adat ini terdiri dari beberapa rumah, yang dihuni oleh beberapa keluarga yang masih satu ikatan keluarga.

Komplek ini terdiri dari beberapa unit rumah, yang berderet dari barat ke timur, sesuai urutan dalam keluarga. Komplek ini terdiri dari komponen komponen seperti langghar (musholla), rumah utama, dapur, kandang, dan tanean (pekarangan/halaman). Komplek ini
terinspirasi dari nilai-nilai falsafah kehidupan sosial budaya masyarakat Madura.

Rumah khas model Jawa. Foto: ist

 

Secara fisik rumah rumahnya terbuat dari material organik seperti kayu dan bambu serta sirap. Misalnya dinding terbuat dari anyaman bambu atau gedhek tembok, dan sebagainya. Atap miring ke depan dan belakang dan terbuat dari ilalang. Pintu di depan di tengah yang diapit oleh dua jendela kiri dan kanan.

Ilustrasi rumah khas Madura ini juga menjadi gambaran rumah rumah khas Jawa (Surabaya) di sekitarnya kala itu.

Rumah Belanda

Seiring dengan datangnya masyarakat Eropa, yang menempati ruang di dan sekitar komplek pemukiman Surabaya, akhirnya terbentuklah tata ruang permukiman Eropa. Secara fisik rumah rumah dibangun dari material batu, berbeda dari rumah tradisional Jawa atau Madura.

Menurut sejarawan dan penulis Balanda Emile Leushuis, ketika masyarakat Belanda datang dan mendirikan bangunan mereka belum memiliki orientasi arsitektur sehingga meniru gaya dan model rumah rumah lokal. Namun pilihan material sudah tidak menggunakan bahan organik, melainkan bahan batu, pasir dan bata. Belum ada teknologi besi kala itu.

Emile Leushuis, yang juga penulis “Panduan Jelajah Kota Kota Pusaka di Indonesia”, mengatakan bahwa rumahnya beratap tinggi dengan kemiringan ke depan dan belakang. Pada ujung gawel di sisi kiri dan kanan dihiasi mahkota piron. Tampak depan simetris dengan satu pintu di tengah dan dua jendela di kiri kanan pintu.

Beberapa unit rumah model ini masih ada di Kota Lama zona Eropa. Dibandingkan dengan bangunan bangunan lainnya, rumah rumah awal bangsa Eropa ini tidak seindah bangunan bangunan abad 19 dan 20. Bangunan, yang diduga meniru desain Jawa ini, terhitung dari abad 18 ketika masih di era VOC.

Rumah kuno yang berarsitektur tradisional Jawa di jalan Gelatik. Foto: nng

 

Rumah serupa juga masih dapat ditemukan di kampung Pandean. Rumah ini sederhana dan berukuran kecil dibandingkan dengan rumah dan bangunan Eropa di sekitarnya. Meski demikian secara sosial ekonomi, siapapun pemiliknya kala itu adalah warga yang ekonominya lebih baik.

Jaga Indentitas

Sekarang sudah tidak ada lagi bangunan serupa di Surabaya. Kalaupun ada dan diadakan, setidaknya bisa menjadi ajang edukasi yang rekreatif. Misalnya satu komplek yang terdiri dari beberapa unit bangunan dengan bermacam macam model. Ini bisa terwujud jika menjadi satu fungsi kafe atau restoran.

Waroeng Joglo Merah Putih ala arsitektur Jawa di Surabaya. Foto: ist

 

“Kita kan perlu identitas kampung Jawa dan city branding sebagai kota Pahlawan”, kata Irvan Wahyudrajad, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Penelitian dan Pengembangan (Bappedalitbang) Kota Surabaya.

Irvan mengisyaratkan bahwa Surabaya harus terus membangun dan berkembang menjadi kota modern dan maju tetapi harus tetap menjaga jati diri dan identitasnya. Tradisi yang pernah ada baik itu yang bersifat benda (tangible) dan tak benda (intangible) harus dijaga sebagai objek edukasi yang mensejahterakan.@PAR/nng