Siapa Gajah Mada?

Akhir hidup Gajah Mada tidak jelas. Gajah Mada tidak diketahui mempunyai istri dan keturunan. Tidak diketahui juga bagaimana dia mangkat, dimana dikebumikan dan dimana menghabiskan sisa hidupnya setelah tidak menjadi Mahapatih. Tidak ada satu pun candi yang didirikan untuk mengenang dirinya. Namun belakangan, seorang paranormal mengaku bisa berkomunikasi secara gaib dengan roh Gajah Mada.

REKAYOREK.ID Gajah Mada termasuk tokoh misteri besar bangsa ini. Siapa yang tidak tahu nama tokoh ini, semua orang Indonesia tahu nama besar Gajah Mada sang Mahapatih Majapahit, orang pertama yang mempersatukan Nusantara.

Tapi sampai saat ini, setelah 7 abad sejak kebesaran namanya berkibar di seantero negeri, tidak ada satu pun orang yang dapat mengungkap misteri asal-usulnya bahkan tentang akhir hidupnya.

Bukan saja tentang asal-usul dan kematiannya, tentang strategi politik menuju posisi puncak di Majapahit serta strategi perangnya menguasai Nusantara juga masih menyimpan banyak misteri yang tak terjawab hingga kini.

Ada yang menyebut Gajah Mada berasal dari Sumatera, tepatnya dari Minangkabau dengan asumsi bahwa kata Mada itu di Minangkabau berarti bandel, sementara di Jawa tidak ada kata Mada dalam kosa kata bahasanya.

Selain itu gelar Gajah juga diambil dari asal nama binatang yang berada di pulau andalas itu. Asumsi ini diperkuat dengan kedekatan hubungan antara Gajah Mada dan Adityawarman (pendiri kerajaan Pagaruyung), seorang pangeran Majapahit berdarah Sumatera, kemungkinan Adityawarman lah yang membawa Gajah Mada ke Majapahit.

Namun sebagian lainnya menyebut Gajah Mada berasal dari Bali. Masyarakat Bali mempercayai cerita turun temurun yang menyebut bahwa ibu sang patih ini berasal dari Bali. Ada juga yang memperkirakan Gajah Mada berasal dari suku Dayak Krio di Kalimantan Barat, merujuk dari kisah nenek moyang suku Krio tentang seorang Panglima besar dayak bernama Panglima Jaga Mada yang diutus ke Jawa Dwipa untuk menguasai tanah Jawa.

Kemudian ada juga yang menyebut bahwa Gajah Mada itu berasal dari Mongol. Diperkirakan dia adalah salah satu pimpinan pasukan Mongol yang tertinggal. Ketika itu Raden Wijaya (pendiri Majapahit) mengalahkan pasukannya yang berniat menyerang Raja Kertanegara karena telah melecehkan Mongol dengan memotong telingan Meng Khi (utusan Mongol).

Misteri yang luar biasa adalah tidak diketahuinya secara pasti bagaimana rupa Gajah Mada sampai saat ini. Penemuan terakota pipi tembeb di Trowulan yang disebut-sebut sebagai perwujudan wajah Gajah Mada sampai saat ini juga belum terbukti.

Rupa Gajah Mada yang kita kenal sekarang ini juga menjadi polemik dan kontroversi karena sebagian orang menyebut bahwa penggambaran rupa Gajah Mada itu hanya rekaan Moh.Yamin pengarang buku “Gajah Mada Pahlawan Nusantara”.

Monumen nasional menghormati Gajah Mada dibangun di Kediri.

 

Lihat saja wajah Gajah Mada dan bandingkan dengan wajah Moh.Yamin, sangat mirip. Jadi kemungkinan besar rupa itu hanya rekaan Moh.Yamin yang menjelmakan wajahnya sebagai Gajah Mada.

Lalu siapa sebenarnya Gajah Mada?

Sejarah awal kehidupan Gajah Mada memang tidaklah begitu jelas. Namun, Encarta Encylopedia berani memperkirakan Gajah Mada lahir tahun 1290 M. Jadi, ia lahir dan besar tatkala terjadi transisi antara kekuasaan Raden Wijaya kepada Jayanagara.

Pembacaan atas tokoh Gajah Mada kerap dihubungkan dengan dimensi supernatural. Ini sulit dihindari, oleh sebab masyarakat Indonesia, khususnya Jawa, memang menilai tinggi dimensi tersebut.

Berdasarkan petunjuk spiritual menyebutkan, Gajah Mada merupakan anak pertama dari pasangan Si-Jawangkati dengan Lailan Mangrani. Sijawangkati merupakan pembantu Si-Malui dan adiknya bernama Si-Baana dan sebagai manusia yang kedua datang di pulau Buton.

Si-Jawangkati datang ke pulau Buton menemani Si Malui dan Si Baana pada hari bulan sya’ban tahun 634 Hijriah dengan menumpangi behtera kapal bernama “Popanguna” berbenderakan Buncaha yakni bendera dengan motif warna kuning hitam selang-seling yang tak lain adalah bendera kerajaan asal leluhurnya dari daerah Bumbu negeri Melayu Pariaman.

Pada akhir tahun 1236 M, Si-Jawangkati beserta tuannya terdampar di sebelah utara timur laut Buton yakni “kamaru” dengan bentengnya bernama “Wonco”. Si-Jawangkati dengan memimpin rombongan kecil berpamitan dengan Si Malui dan Si Baana untuk mencari daerah hunian baru dan setelah ditemukan hunian ini bernama “Wasuembu”.

Setelah menemui tempat baru ini Si Jawangkati langsung membuat perkampungan serta benteng pertahanan bernama “Koncu” di Wabula. Tak lama berselang kedatangan Si Jawangkati di pulau Buton, maka datanglah serombongan para anak-anak bangsawan dari pulau Jawa.

Anak-anak bangsawan tersebut tak lain adalah Raden Sibahtera, Raden Jutubun dan Lailan Mangrani yang merupakan anak-anak dari Raden Wijaya sebagai Raja Mataram sebelum gabung dengan Majapahit.

Kedatangan ketiga anak-anak Raden Wijaya tersebut bukan tidak beralasan, mereka datang atas petunjuk ghaib yang diterima oleh dukun atau penasehat istana kerajaan Majapahit untuk memerintahkan anak-anak Raden Wijaya tersebut mencari suatu pulau yang terdapat di Wilayah Timur Nusantara bernama pulau Buton.

Gajah Mada Orang Kuat

Setelah mereka tiba dan menemui pulau Buton ketiga anak-anak Raden Wijaya diperintahkan untuk membangun Bandar perniagaan. Kedatangan putra putri Raja Majapahit itu menggunakan dua Armada antara lain satu armada dipimpin oleh Raden Sibahtera dengan adiknya Lailan Mangrani disertai dengan 40 pengikutnya, sedangkan armada yang satu dipimpin oleh Raden Jutubun beserta 40 pengawalnya.

Kedua armada tersebut masing-masing membawa bendera leluhurnya yang dipasang diburitan kapal dengan warna bendera merah putih dan bendera ini dinamai “dayialo”. Kedua armada ini setelah tiba di laut Buton selanjutnya disambut oleh Si Jawangkati dan Si Tamanajo di teluk Kalampa tempat kedua armada tersebut berlabuh.

Relief Gajah Mada menaklukkan nusantara.

 

Tak lama berselang beberapa tahun kemudian setelah Raden Sibahtera telah dinobatkan menjadi Raja Pertama Buton dengan permaisurinya bernama gelar Wa Kaa Kaa atau nama aslinya Mussarafatul Izzati Al Fakhriy, maka kawinlah Si Jawangkati dengan Lailan Mangrani. Hasil dari perkawinan Sijawangkati dengan Putri Raden Wijaya di pulau Buton ini membuahkan 3 (tiga) orang anak, yakni 2 (dua) laki-laki dan 1 (satu) perempuan.

Nah, anak pertama Si Jawangkati bersama Lailan Mangrani ini adalah seorang bayi yang cukup besar dan berparas jelek dan diberi nama Gajah Mada. Mulai umur 3 tahun Gajah Mada ini memiliki kelebihan-kelebihan luar biasa baik secara kekuatan fisik maupun instinksi dan setelah usia mencapai 7 tahun maka dilatihlah oleh ayahnya ilmu kanuragan dan ilmu kesaktian.

Perlu diketahui bahwa Si Jawangkati ini adalah seorang amat sakti dari asal keturunan para wali negeri melayu. Kemudian setelah ilmu kanuragan dan ilmu kesaktian telah diturunkan oleh ayahandanya kepada Gajah Mada, genap usia 15 tahun Gajah Mada dibawa ke pulau Jawa oleh ibunya Lailan Mangrani untuk membantu Raden Wijaya dalam kesulitan melawan para pemberontak asal dari dalam lingkungan kerajaan Majapahit.

Di sanalah awal kisah Patih Gajah Mada dalam peranannya membantu kakeknya sendiri yakni Raden Wijaya untuk memberantas para penjahat dalam lingkungan dalam kerajaan.

Leo Suryadinata menulis, Gajah Mada mengandalkan intelijensi, keberanian, dan loyalitas dalam meraih mobilitas vertikalnya. Karirnya lanjutannya adalah kepala pasukan Bhayangkara, pasukan penjaga keamanan Raja dan keluarganya.

Raja yang menjadi junjungannya saat itu adalah Jayanagara yang berkuasa di Majapahit sejak 1309-1328 M. Menjadi mungkin, Gajah Mada telah meniti karir militer sejak kekuasaan Raden Wijaya, Raja pertama Majapahit, dan sedikit banyak memahami spirit pemerintahannya.

Jayanagara ini adalah putra pasangan Raden Wijaya dengan seorang putri Sumatera (Jambi) bernama Dara Petak. Sebab itu, darah yang mengalir di tubuh Jayanagara bukanlah murni Jawa.

Anggapan yang relatif rasis ini merupakan fenomena sebuah kancah politik hegemoni dalam kekuasaan aneka suku bangsa tatkala itu. Buktinya, pernah tahun 1316 M muncul pemberontakan Nambi yang menurut http://www.gimonca.com muncul akibat sentimen “darah” Jayanagara tersebut. Meski pemberontakan itu berhasil dipadamkan, seolah sesuatu yang laten (faktor rasisme) ‘menyala’ dalam politik Majapahit ini.

Tatkala Gajah Mada jadi kepala pasukan Bhayangkara, meletus pemberontakan Ra Kuti, salah satu pejabat istana tahun 1319 M. Pemberontakan ini cukup menohok, oleh sebab si pemberontak mampu menduduki ibukota.

Jayanagara berikut istri Raden Wijaya dan putrinya (Tribhuwanattungadewi, Gayatri, Wiyat, dan Pradnya Paramita) mengungsi ke Bedander. Selaku kepala pasukan keamanan, Gajah Mada memastikan keamanan raja dan keluarga. Setelah dinyatakan aman, ia balik ke ibukota guna menyusun serangan balasan. Ia meneliti kesetiaan rakyat dan pejabat Majapahit kepada Raja Jaya Nagara dengan memunculkan isu keterbunuhan raja.

Menurut anggapannya, raja dan sebagian besar pejabat Majapahit menyayangkan kematian raja dan membenci perilaku Ra Kuti. Atas dasar ini, Gajah Mada menyusun serangan balasan secara kemiliteran, dan berhasil membalikkan keadaan.

Pemberontakan Kuti pun dipadamkan. Raja dan keluarganya kembali ke ibukota. Kebijakan Jayanagara ditopang oleh kemampuan politik Arya Tadah, mahapatih Majapahit. Fokus kebijakan raja dan mahapatih ini adalah stabilitas politik dalam negeri.

Jadi, Majapahit belum lagi melakukan penaklukan ke pulau-pulau “luar” Jawa. Ini mengingat Gajah Mada belum memegang peran penting di dalam pembuatan keputusan politik level negara.

Atas jasanya memadamkan pemberontakan Kuti, Jayanagara menaikan status Gajah Mada dari sekadar komandan pasukan Bhayangkara menjadi menteri wilayah (patih) dua daerah kekuasaan Majapahit: Daha dan kemudian, Jenggala.

Posisi tersebut cukup berpengaruh mengingat dua wilayah tersebut diwenangi oleh putri Tribuwanattunggadewi (Daha) dan Dyah Wiyat (Jenggala), dua saudari tiri Jayanagara.

Jayanagara sendiri belumlah memiliki putra laki-laki selaku penerus tahta.

Bukti mengenai hal ini, seperti ditulis Heritage of Java, sebuah enskripsi bernama Walandit menceritakan gelar Gajah Mada dalam kekuasaan barunya itu adalah Pu Mada. Wilayah yang diwenangi kepatihan Gajah Mada adalah Jenggala-Kediri yang meliputi Wurawan dan Madura.

Loyalitas Gajah Mada terhadap Jayanagara tidaklah tetap. Versi cerita seputar perubahan loyalitas tokoh ini pada rajanya, paling tidak ada tiga. Seluruhnya berorama motif pribadi.

Pertama, dari Charles Kimball yang menulis, loyalitas Gajah Mada terhadap Jaya Nagara mengalami titik balik tatkala raja mengambil istri Gajah Mada selaku haremnya.

Kedua, Kitab Negara Kertagama olahan Empu Prapanca menulis, perubahan loyalitas Gajah Mada akibat mulai jatuh hatinya Raja Jayanagara terhadap dua saudari tirinya: Tribuwanattunggadewi dan Dyah Wiyat. Empu Prapanca ini akrab dengan Gajah Mada sendiri.

Ketiga, novelis Langit Kresna Hariyadi, yang menulis loyalitas Gajah Mada terhadap Jayanagara berubah akibat kekhawatian Gajah Mada atas mulai berubahnya sikap raja terhadap Tribhuwanattunggadewi.

Ketiga asumsi tersebut melatarbelakangi proses meninggalnya Raja Jayanagara tahun 1328. Versi meninggalnya Jayanagara pun berlatar belakang loyalitas Gajah Mada pada Jayanagara.

Versi Kimball menyatakan, Gajah Mada menskenario pembunuhan atas Jaya Nagara dengan memanfaatkan tangan Ra Tanca, tabib istana. Tanca dipaksa membunuh Jaya Nagara akibat suruhan Gajah Mada dalam suatu proses pembedahan atas diri raja.

Versi ini didukung pula oleh pendapat Leo Suryadinata, yang juga menulis kekecewaan Gajah Mada akibat istrinya diambil oleh raja sebagai motif asasinasi. Setelah raja meninggal, Gajah Mada menuding Tanca ini telah membunuh raja dan ia pun dieksekusi mati olehnya sendiri. Peristiwa 1328 M ini menggambarkan rumitnya politik pada aras Palace Circle. Kepentingan pribadi berbaur dengan nasib dan masa depan suatu negara.

Pada masa terbunuh dan digantinya Jayanagara ini, Odoric dari Pordonone, pendeta ordo Fransiskan dari Italia mengunjungi Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Setelah terbunuhnya Jayanagara, Gajah Mada berkeras Tribhuwanattunggadewi dijadikan ratu Majapahit.

Belum ditemukan bukti yang cukup seputar alasan kekerasan hati Gajah Mada atas penunjukan ini. Namun, dari analisis ras, Gajah Mada mungkin khawatir singgasana akan jatuh pada Arya Damar, keturunan Raden Wijaya dari istri yang asal Jambi. Sementara, Tribhuwanattunggadewi adalah putri keturunan Raden Wijaya asli pulau Jawa.

Mungkin saja, opini yang muncul saat itu adalah putra asli atau bukan. Atau, dimungkinkan pula, dengan beralihnya kekuasaan pada ratu ini, Gajah Mada lebih leluasa dalam mengambil tindakan.

Konflik suksesi ini terbukti dengan baru dilantiknya Ratu Tribhuwanattunggadewi tahun 1329, sekurang-kurangnya menurut Charles Kimball. Pemimpin perempuan Majapahit ini berkuasa sejak 1329 hingga 1350 M. Pada fase ini, Majapahit memulai fase penaklukannya.

Mahapatih Arya Tadah pensiun tahun 1329 M, dan praktis posisi tersebut jatuh ke tangan Gajah Mada. Tribhuwanattunggadewi sangat mendukung program-program Gajah Mada.

Tahun 1331 M meletus pemberontakan Sadeng dan Keta, di wilayah timur Pulau Jawa. Gajah Mada mengirim ekspedisi militer ke sana dan berhasil memadamkan pemberontakan wilayah tersebut. Ra Kembar, salah satu bangsawan dan pejabat Majapahit berusaha menutup jalan pasukan Gajah Mada ke wilayah Sadeng, baik secara politik maupun militer.

Gajah Mada Wafat

Beberapa referensi menyebutkan bahwa Gajah Mada wafat tahun 1364 M, akibat diasingkan dan dihianati oleh Hayam Wuruk sebagai suatu buntut peristiwa BUBAT dimana Gajah Mada disingkirkan ke wilayah Madakaripura dan hidup Gajah Mada di wilayah itu asketis (http://www.setabasri01.blogspot.com).

Terdapat sejumlah tulisan yang menyebut bahwa ia menderita sakit ataupun dibunuh oleh Raja Hayam Wuruk (Rajasanagara) sendiri yang khawatir akan pengaruh politik Gajah Mada yang sedemikian kuat di Majapahit.

Penaklukan Majapahit usai. Setelah tragedi Bubat ini, Hayam Wuruk mengarahkan politiknya ke arah stabilitas dalam negeri. Memang muncul beberapa pemberontakan di pulau “luar” seperti dari Palembang, yang minta bantuan Kekaisaran Cina untuk mengimbangi kuasa Majapahit.

Namun, begitu pasukan Cina datang ke Palembang, wilayah itu sudah ditangani pasukan Majapahit dan ekspedisi Cina itu pun diluluhlantakkan.

Dalam pandangan spiritual, Gajah Mada tidak dibunuh oleh Hayam Wuruk, namun dia melihat sudah tak ada lagi kepercayaan dari sang Raja. Dia kemudian menggunakan taktiknya untuk menghilangkan diri dari wilayah pengasingannya dengan diam-diam. Dia berangkat dengan membawa pasukan atau prajuritnya yang setia sampai mati sebanyak 40 orang berlayar menuju negeri asal kelahirannya yakni pulau Buton.

Setelah melalui perjalanan panjang dari pulau Sumatera menuju pulau Buton Gajah Mada dan rombongan prajuritnya melewati kepulauan tukang besi yang sekarang dikenal dengan Wakatobi.

Perlu diketahui bahwa Gajah Mada adalah seorang sakti mandraguna sebagaimana kesaktian yang dimiliki oleh ayahnya Si Jawangkati sehingga dalam perjalanannya pulau ke pulau Buton dia dituntun secara ghaib dan mendapatkan petunjuk-petunjuk spiritual.

Sampai sekarang Gajah Mada dipercaya masih hidup.

 

Oleh karena itu setelah melewati pulau Wangi-Wangi, Gajah Mada singgah dengan prajurit setianya sebentar di salah satu pulau kecil di bagian barat kepulauan Wangi-Wangi dengan memasang simbol-simbol di sana.

Pada saat rombongan Gajah Mada singgah di pulau ini dia disambut dengan baik oleh penghuni yang sudah lama mendiami pulau kecil ini diperkirakan pertengahan Abad XI yang tak lain adalah merupakan para hulubalang dan bajak laut (bajak laut tobelo).

Para bajak laut di pulau ini terdiri dari sebagian besar adalah para prajurit Raja Khan yang berkuasa di Kamaru pertengahan abad IX dan sebagian asal Mingindanau, Papua, Tobelo, Lanun, Balangingi. Setelah beberapa saat Gajah Mada menyinggahi pulau kecil ini dalam pelariannya ke pulau Buton, akhirnya berdasarkan petunjuk ghaib, Gajah Mada memutuskan untuk wafat di pulau ini.

Sebagai tanda-tanda artifak awal sebagai landasan studi orientasi dalam mengungkap misteri Gajah Mada ini, maka diantara pelabuhan Sempo Liya dan Pulau Simpora ada Batu Parasasti yang terdapat di tepian pantai dan batu ini dinamakan “Batu Mada”.

Sementara ke 40 prajurit setianya diperintahkan untuk melanjutkan perjalanannya menuju pulau Buton dengan maksud agar kerahasiaan Maha Patih Gajah Mada yang amat sakti ini tetap terjaga.

Gajah Mada akhirnya di pulau kecil sebelah barat wangi-wangi tersebut memutuskan untuk melakukan tapa brata di dalam sebuah gua di wilayah Togo Mo’ori yang mana situasi gua tersebut di dalamnya dapat tembus ke laut dalam dan disanalah Maha Patih Gaja Mada meninggalkan alam mayapada ini dalam keadaan duduk bersemedi dengan salah satu bagian tangannya menggenggam cakram sebagai salah satu senjata andalannya.

Bukti-bukti ontologisme dari salah seorang tua pertapa yang pernah menemukan Gajah Mada dalam gua ini pernah mengisahkan secara terbatas dalam kalangan keluarga tertentu di pulau wangi-wangi, karena ada rasa ketakutan luar biasa ketika melihat sosok orang tak bergerak dalam keadaan duduk bersemedi dalam sebuah bagian gua di pulau kecil tersebut.

Selain itu bukti-bukti secara artifak sejarah yang belum terpublikasi dan hanya dikonsumsi dari kalangan metafisis penduduk salah satu desa yang terdapat di pulau wangi-wangi telah diriwayatkan oleh leluhurnya secara turun temurun adanya segumpal batu muncul kepermukaan laut ketika air laut surut dan batu ini dinamai batu Mada.

Pengamatan secara spiritual setelah melalui pemantauan khusus secara metafisis, menunjukkan bahwa keberadaan batu Mada ini merupakan simbol yang sengaja dibuat oleh Gajah Mada, dimana dibawa batu tersebut diperkirakan merupakan penyimpangan sebuah selendang warna kuning yang konon dikisahkan sebagai selendang sakti.

Sedangkan ke 40 orang prajurit setianya berlabuh di Batauga salah satu wilayah pulau Buton terdekat dari kepulauan wangi-wangi, dan merekapun setelah tiba di wilayah ini tidak begitu lama berselang kemudian mencari sebuah gua yang lebar dan luas. Dan di dalam gua inilah ke 40 orang prajurit setia Maha Patih Gajah Mada melakukan semedi berbulan-bulan sampai mereka semua meninggal secara bersamaan dan terkubur secara alamiah di dalam gua ini.

Keberadaan Gua ini di Batauga dikenal dengan nama Gua Mada tepatnya terdapat di desa Masiri, kampung Mada di Batauga pulau Buton.

Berdasarkan kisah konseptual, spiritual dan ontologisme riwayat Maha Patih Gajah Mada, maka postulat dapat disimpulkan bahwa Gajah Mada merupakan anak pertama dari Si Jawangkati dengan ibu bernama Lailan Mangrani yang tak lain adalah anak perempuan dari Raden Wijaya sebagai Raja Majapahit.

Si Jawangkati adalah salah seorang mia patamiana wolio yang pada zamannya dia memiliki kesaktian yang luar biasa dan disegani di kalangan penguasa pada saat itu.

Dan, semua itu masih diperlukan penelitian secara aksiologis untuk menguak tabir kisah Maha Patih Gaja Mada yang penuh dengan misterius selama ini oleh para ahli antropolog budaya, ahli ethnologis, ahli arkiologis dan ahli sejarah guna mendapatkan suatu naskah sejarah Indonesia yang benar sekaligus mengangkat harkat dan martabat orang-orang buton pada zamannya.

Meninggalnya Gajah Mada menurut catatan Prapanca yang dituangkan dalam Negarakertagama dalam pupuh LXXI/I. Kabar dari Pararaton menyebut, tahun meninggalnya Gajah Mada adalah 1290. Dalam hal ini, berita dari Negarakertagama lebih bisa dipercaya karena ditulis oleh Prapanca yang hidup sezaman dengan Gajah Mada.

Legenda Berserakan di Madakaripura

Nama Madakripura, konon terkait erat dengan sejarah panjang Kerajaan Majapahit. Seperti kita tahu, di masa kejayaannya, Hayam Wuruk dan Gajah Mada berhasil menyatukan bumi Nusantara yang membentang dari Wanin hingga Madagaskar.

Gajah Mada yang lihai dalam strategi, diplomasi, dan perang, berhasil meruntuhkan kepercayaan raja-raja Nusantara di masa itu, sehingga mereka mau berucap janji setia dalam naungan Surya Majapahit.

Patung Gajah Mada terdapat hampir di segala penjuru nusantara.

 

Darimana Gajah Mada mendapat kelebihan itu? Memang sulit untuk mencari tahu kebenarannya.

Tapi dipercaya, di jaman dulu, proses penggemblengan yang harus dijalani seseorang agar memiliki kelebihan khusus mesti melibatkan banyak hal. Baik penggemblengan fisik, atau non fisik.

Madakaripura, konon, dipilih oleh Gajah Mada sebagai tempat bertapa karena keyakinan bahwa ini bukan tempat sembarangan. Dan terbukti, Gajah Muda memperoleh kesaktian dan kepercayaan untuk mempersatukan tanah Nusantara.

Di sisa usia juga, disebutkan, akhirnya Gajah Mada muksa menuju Nirwana.

Muksa berarti sebuah kondisi, ketika seseorang pergi meninggalkan dunia bersama raganya. Yang bisa melakukan itu hanya orang-orang yang disucikan. Beberapa raja tanah Jawa juga memasuki tahap penyempurnaan seperti itu, misalnya Sri Aji Jayabaya. Kalau dalam pewayangan, di antara Pandawa Lima, hanya Puntadewa yang bisa masuk surga bersama raganya.

Patung Gajah Mada di Madakaripura.

 

Nama Madakaripura, lebih tepatnya disebut dengan nama Mada Kari Pura, memiliki arti ‘tempat tinggal terakhir’. Pengunaan nama ini diambil dari kepercayaan masyarakat sekitar yang mengatakan, disinilah Gajah Mada melewati masa akhir hidupnya.

Beberapa catatan menyebut, setelah perang Bubat yang sangat legendaris itu, Sang Maha Patih Gadjah Mada mencoba untuk nyepi di sini. Ia merasa gagal mewujudkan sumpahnya menyatukan Nusantara. Sehingga menenggelamkan diri dalam kesunyian dan terus berdoa pada Sang Pencipa. Sampai akhirnya, ia meninggal dunia dalam kesunyian yang tiada tara.

Di tengah tebing di balik air terjun yang paling besar, terdapat rongga menganga yang melintang secara horisontal. Penduduk setempat percaya, di lubang inilah Sang Patih Gajah Mada biasa duduk diam, bersemedi dalam keheningan rasa.@dbs