SK Trimurti, Perempuan Berkebaya yang Membelakangi Kamera Saat Pengibaran Merah Putih

Nama SK Trimurti begitu melegenda dalam dunia jurnalisme Indonesia. Dia adalah wartawan senior yang hidup tiga zaman. Pada zaman penjajahan Belanda, dia sudah terbiasa hidup di dalam bui karena idealisme dan karya jurnalistiknya. Bahkan, dia harus melahirkan anak keduanya di lorong penjara.

REKAYOREK.ID Tubuhnya yang renta terkulai di tempat tidur. Wajahnya yang pucat memancarkan kepolosan. Sesekali perempuan mungil ini meringis, mengeluhkan perutnya yang sakit. Ia meronta dari ikatan yang membalut tangannya. Ikatan yang sebenarnya membelenggunya, tapi dilakukan demi kasih sayang orang-orang terdekatnya.

Namun demikian, ajal pun tetap tak bisa dilawan. Pada Selasa 20 Mei 2008 di RS Pusat Angkatan Darat, Jakarta, istri mantan penulis naskah proklamasi Sayuti Melik menghembuskan nafas terakhir. Dia pun dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.

Meski ajal sudah menjemput, nama Soerastri Karma Trimurti tetap harum di mata kerabat dan handai taulan. Yah, oran-orang biasa memanggilnya dengan nama singkatan SK Trimurti. Trimurti merupakan wartawan tiga zaman. Dia, boleh dibilang gambaran kekuatan dari masa lalu.

SK Trimurti berdiri di samping Bung Karno. Foto: ist

 

Namanya tercatat dalam sejarah dunia jurnalisme di Indonesia. Coretan dan tulisannya meninggalkan bekas di kalangan wartawan tiga jaman.

Melalui karya-karya dan tulisannya, ia bahkan pernah menjalani hidup di bui Belanda (1936-1943). Bahkan, anak partamanya lahir dalam penjara Belanda yang kumuh dan sempit kala itu.

Wanita kelahiran Solo, 11 Mei 1912 menikah dengan Muhammad Ibnu Sayuti atau lebih dikenal Sayuti Melik pada tahun 1938. Namun dia kemudian bercerai pada tahun 1969. Dari perkawinan mereka lahir dua orang putra yang diberi nama Moesafir Karma Boediman (MK Boediman) dan Heru Baskoro.

Di usia senjanya, ia masih tetap menuangkan kritikan-kritikan tentang apa yang terjadi di sekitar dalam tulisan dan goresan di atas kertas. Sikap ramah dan penuh kesopanan, menuntunnya dalam mengungkap fakta-fakta ketidakadilan.

Trimurti, dialah perempuan berkebaya yang membelakangi kamera di sebelah kanan Fatmawati Soekarno dalam foto pengibaran Sang Merah Putih seusai pembacaan naskah proklamasi tanggal 17 Agustus 1945.

Dijothak Bung Karno

SK Trimurti lahir dari pasangan Salim Banjaransari Mangunsuromo dan Saparinten binti Mangunbisomo. Nama Karma dan Trimurti yang sering dimunculkannya, digunakannya sebagai samaran secara bergantian untuk untuk menghindar dari delik pers masa pemerintahan kolonial Belanda. Rupanya siasat itu tidak sampai meloloskannya dari penjara pemerintah Belanda.

SK Trimurti paling depan. Foto: ist

Wanita yang menjadi Menteri Perburuhan pertama pada era Soekarno ini, mengenal dunia politik sejak ia tamat dari Sekolah Ongko Loro, yang waktu itu lebih dikenal dengan sebutan Tweede Inlandsche School. Saat menjadi guru dan sering mendengar pidato Bung Karno, di radio-radio, ia pun tergerak untuk aktif sebagai kader di Partindo. Di partai tersebut, Surastri mengenal Sudiro, Sanusi Pane dan Intojo.

Pada masa-masa itu, saat mengajar di Bandung, Trimurti sempat menetap di rumah Inggit Ganarsih (istri Bung Karno), yang saat itu menjadi contoh tauladan bagi gadis-gadis sebaya Trimurti, sebab Inggit dikatakan sebagai Srikandi Indonesia.

Akibat keaktifannya di dunia perjuangan, Trimurti sempat merasakan dinginnya dinding penjara pada tahun 1936. Ia dihukum di Penjara Wanita, di Bulu, Semarang, akibat menyebarkan pamflet anti penjajah. Sekeluarnya dari penjara, ia dilarang lagi mengajar. Trimurti pun bekerja di sebuah percetakan kecil yang merupakan percetakan kaum pejuang. Di sinilah ia belajar tentang membuat koran atau mencetak majalah. Dan bakat menulisnya pun mulai terlihat. Pesat, Bedug, dan Genderang yang sudah tidak lagi terbit adalah contoh nama-nama media majalah tempat dia pernah berlabuh menuangkan kemampuan intelektual jurnalistik untuk membangun bangsa.

Pada tahun 1937, SK Trimurti berkenalan dengan Sayuti Melik. Kedua orang aktivis politik ini pun mengikat janji untuk menjadi suami istri pada 19 Juli 1938. Maka jadilah mereka pasangan suami istri yang saling bahu membahu dalam dunia perjuangan.

Dalam masa pernikahannya itu, Sayuti dan Trimurti mengalami romantisme perjuangan. Bahkan demi membela Sayuti, yang menulis artikel berisi anjuran agar rakyat Indonesia tidak membantu Belanda dan dimuat di majalah tempat Trimurti bekerja, Trimurti rela mengaku itu tulisannya sehingga ia dikenakan tahanan luar, karena saat itu ia tengah mengandung anak pertamanya.

Pada masa kemerdekaan, oleh Soekarno, SK Trimurti diangkat sebagai Menteri Perburuhan dalam Kabinet Amir Syarifuddin, mulai dari 3 Juli 1947 sampai 23 Januari 1948. Awalnya ia merasa tidak mampu, namun berkat bujukan Drs Setiajid, hatinya pun luluh. Namun kabinet tersebut tidak berjalan lama.

Pensiun jadi menteri, SK Trimurti menjadi anggota Dewan Nasional RI Ia juga melanjutkan kuliahnya di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan tamat tahun 1960. 1962 hingga 1964, ia diutus oleh Pemerintah RI ke Yugoslavia untuk mempelajari Worker’s Management dan ke negara-negara sosialis lainnya di Eropa untuk mengadakan studi perbandingan mengenai sistem ekonomi. Karena dedikasinya kepada dunia perburuhan, SK Trimurti diangkat sebagai anggota dewan pimpinan Yayasan Tenaga Kerja Indonesia (YTKI).

Meski bergelut dalam dunia perburuhan, timbul rasa rindu di hatinya untuk kembali menekuni dunia jurnalistik. Maka ia pun menerbitkan majalah yang diberi nama Mawas Diri, yang memuat soal-soal kekagamaan, aliran kepercayaan, soal-soal etika, moral dan sebagainya.

Wanita yang wafat pada usia 96 tahun itu, tinggal sendiri di rumah mungilnya di Jalan Kramat Lontar H-7, Kramat, Jakarta Pusat. Rumah sederhana itu jauh dari kemegahan dan kementerengan.

Sebagai perempuan yang lahir dan dibesarkan di lingkungan Jawa, dia menentukan sikap untuk tetap sangat tegas terhadap perihal hak-hak perempuan yang dibingkai dengan sopan santun kejawen. Ketegasan itu bukan hanya telah dia contohkan dengan kerelaan melahirkan seorang anak di sebuah lorong penjara, melainkan, terhadap seorang suami Sayuti Melik pun yang karena menikah lagi keduanya harus bercerai dia tetap menaruh rasa hormat sebagai mantan suami.

Kendati sudah berusia uzur, Trimurti masih sempat wira-wiri sebagai pembicara di seminar-seminar bertaraf nasional. Tahun 1956 ia sempat memimpin Gerakan Wanita Sedar (Gerwis), cikal bakal Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Ia juga pernah diutus Dewan Perancang Nasional (sekarang Bappenas) ke Yugoslavia untuk mempelajari manajemen pekerja. Kegiatannya hingga usianya mendekati 80 tahun masih penuh. Ia ikut menandatangani Petisi 50 tahun 1980.

Dan kini, di sebuah rumah sederhana tersebut, tampak bajaj bebas berseliweran dengan suara gaduhnya. Suara itu sewaktu-waktu dapat bercampur dengan suara orang-orang lewat. Pun anak-anak kecil yang menangis termasuk teriakan ibu-ibu yang memanggil tukang siomai dan bakso, bersahut-sahutan.

Di rumahnya yang sebagian kamarnya dia sewakan sebagai tempat indekos bagi para karyawati terdapat sebuah ruang tamu tempat menggantung lukisan Semar, tokoh pewayangan setengah dewa setengah manusia dan separuh laki-laki dan separuh perempuan yang dikeramatkan oleh sebagian orang Jawa.

Nah, baru di ruang tengah rumahnya terdapat sebuah gambar ukuran 100×60 centimeter yang melukiskan seorang Presiden Soekarno yang sedang menyematkan Bintang Mahaputra Tingkat V ke dada Trimurti.

Dia tercengang mengenang sebentar, “Saya sedang dijothak (didiamkan) Bung Karno waktu itu karena memprotes poligami!” tutur Trimurti yang akhirnya bisa tersenyum menerawang mengingat-ingat kembali tipe Bung Karno seorang lelaki yang karismatik tapi beristri banyak.

Memang, hubungan Trimurti dan Bung Karno waktu itu sempat terganggu ketika Bung Karno menikahi Hartini. Saat itu Trimurti dikenal sejawatnya sebagai perempuan yang antipoligami. Namun, sikap itu rupanya tak menghalangi Soekarno memberikan Bintang Mahaputra Tingkat V kepadanya.

Bung Karno saat menyematkan Bintang Mahaputra Tingkat V ke dada Trimurti. Foto: ist

Dia mengatakan sesungguhnya sangat loyal terhadap Bung Karno sang guru politik sekaligus orang yang memaksanya untuk pertama kali menulis di majalah Pikiran Rakyat.

Proklamator Kemerdekaan dan Presiden R.I. pertama itulah yang telah membuat dia kecemplung ke dunia jurnalisme sebab sebelumnya Trimurti sudah menjadi seorang guru di sebuah sekolah dasar khusus putri di Surakarta dan Banyumas, serta di perguruan rakyat di Bandung.

Satu-satunya persoalan fisik dia yang serius adalah keterbatasan penglihatan mata sebelah kanannya yang merosot karena termakan usia, selebihnya tak ada masalah fisik lain pada perempuan tua namun masih sehat walafiat ini. Bukan peristiwa aneh jika ketika dia sedang berjalan-jalan di sekitar rumah lalu tetangganya melontarkan senyum namun tak sekali pun pernah berbalas.

Persoalannya Trimurti tidak bisa melihat dengan sempurna bukan karena wartawan senior ini sombong. “Wong saya baca saja pake kaca pembesar!” ujarnya penuh rasa humor.

Pejuang dunia sunyi

Di masa tuanya, mata Trimurti selalu terpejam. Sesekali suara napasnya meningkahi sunyi ruangan tempat dia berbaring.

Ketika Sainah (46), yang merawat Trimurti, pahlawan negara itu sering bergulat dalam kesunyian batinnya. Dia kembali tenggelam di dalam dunianya yang sunyi, entah di mana. Kadang, seperti diceritakan Sainah, yang mendampinginya 25 tahun terakhir, Trimurti sering melantunkan tembang Sigra Milir, lagu Jawa yang syairnya berisi cerita tentang legenda Joko Tingkir.

Kali lain ia menyanyikan lagu-lagu dolanan bocah di Jawa, seperti Ilir-ilir, atau seperti ditirukan Sainah, “Saya lupa judulnya, itu lho… Aduh Yu Truno.. kathokku copot, enggal benekna.” (Aduh Yu Truno, celanaku lepas, tolong dibetulkan).

Sesekali Trimurti membuka matanya, tetapi lalu memejam lagi. Jari-jari tangannya masih bisa menggenggam tangan orang yang menyentuhnya.

Masa tua SK Trimurti. Foto: ist

Kerapuhan tubuh ibu dua anak, nenek dua cucu, dan buyut dari satu cicit ini, selain faktor usia, tampaknya juga dipengaruhi peristiwa tabrakan hebat pada tahun 1994. Menurut Heru, mobil sampai harus digergaji untuk mengeluarkan tubuh Trimurti.

“Orang menyangka Ibu meninggal saat itu,” kenang Heru, anak Trimurti.

Trimurti kemudian dirawat berbulan-bulan di rumah sakit, tetapi ia bertahan. Hanya, setelah itu, ia harus memakai tongkat kalau berjalan.

“Sebelum itu, Ibu masih pergi ke mana-mana. Pada usia 82 tahun ibu masih naik bus,” lanjut Heru.

“Pekerjaan di rumah juga dilakukan sendiri, cuci piring, cuci baju,” lanjut Sainah.

Hidupnya Trimurti memang sangat sederhana. Sebagai mantan menteri, Trimurti sebenarnya berhak atas rumah di kawasan Menteng, tetapi ia memilih Jalan Kramat Lontar. “Dekat kampung. Ibu lebih suka tinggal dekat rakyat, dan ia inginnya jadi rakyat biasa. Itu sebabnya, Ibu menolak ketika ditawari menjadi Menteri Sosial,” tutur Heru.

Memasuki usia lanjutnya, ingatan Trimurti timbul tenggelam. Ia ingat anaknya, tetapi tak ingat cucunya, apalagi cicitnya. Tetapi yang cukup mencengangkan, dia masih ingat dengan Bung Karno. “Dia masih ingat Bung Karno dan Ali Sadikin,” sambung Heru.

Dan sekarang, sang pejuang wanita itu cuma terbaring di atas ranjang, seperti tenggelam dalam dunianya sendiri. Perempuan yang dipanggil Eyang itu pada akhirnya menyerah pada takdir. Dia pun tidur tenang. Sayangnya hingga kini, tidak banyak orang yang mengetahui tentang keadaan dirinya, padahal ia punya peran besar dalam menghantarkan bangsa Indonesia menikmati kemerdekaan.@dbs

bung karnojurnalissayuti melikSK trimurtiwartawan