Suku Samin Anut Agama Nabi Adam

Masyarakat Samin sampai sekarang masing menganut budaya leluhur. Mereka sering membangkang kepada pemerintah, termasuk membayar pajak dan menolak budaya modern. Dan mereka mempunyai paham yang kuat, di antaranya paham yang dianut adalah ajaran Nabi Adam.

REKAYOREK.ID Masyarakat Samin telah lama mengisolasi diri. Hingga tahun 70-an, mereka baru tahu kalau ternyata Indonesia sudah merdeka.

Suku Samin tersebar sampai Jawa Tengah. Namun konsentrasi terbesarnya berada di kawasan Blora, Jawa Tengah dan Bojonegoro, Jawa Timur yang masing-masing bermukim di perbatasan kedua wilayah.

Di Blora, tepatnya Desa Kelopo Duwur, kecamatan Randu Blatung, masyarakat Samin berpenduduk 4.000 jiwa. Memiliki 6 dusun yang letaknya tidak berjauhan, yaitu Wot Rangkul, Klopo Duwur, Sumengko, Sale, Badong Geneng, dan Badong Kidul.

Seiring dengan arus modernitas mereka mulai terbuka terhadap informasi-informasi yang masuk. TV, radio, tape, menghiasi rumah mereka. Untuk mensosialisasikan informasi dari luar, mereka melakukannya lewat musyawarah-musyawarah desa.

Masyarakat Samin berkembang dan tumbuh di Blora dan Bojonegoro adalah salah satu bentuk sikap perlawanan untuk menolak membayar pajak pada pemerintah Belanda.

Bentuk-bentuk perlawanan yang sering diimplementasikan orang dengan mbangkang (membangkang), nggendeng, dan nyangkak. Itu adalah wujud dari bentuk perlawanan tanpa kekerasan.

Orang asli Samin.

Para penganut Saminisme yang masih hidup mengatakan, masyarakat Samin sangat tertutup dalam hidupnya. Mereka tidak mudah percaya kepada orang lain yang dianggap asing. Mereka lebih percaya pada diri sendiri dan pemerintah.

Menurut sesepuh Samin asal Dusun Jepang, Kecamatan Margomulyo, Kabupaten Bojonegoro, Harjo Kardi, istilah Samin berarti tiyang sami-sami amin, maksudnya kelompok orang yang senasib dan sepenanggungan. Munculnya nama Samin berasal dari gerakan Saminisme yang dipimpin oleh gerombolan rampok yang dipimpin oleh Surowidjojo atau Raden Suratmoko.

Raden Surowidjojo ini anak seorang Bupati Suromoto. Ia merasa prihatin melihat bangsanya dipaksa membayar pajak dengan kekerasan oleh pemerintah kolonial, sedangkan penarik pajak tersebut tidak lain adalah kaum pribumi yang bekerja pada pemerintah kolonial.

Pajak yang harus dibayar pada para petani cukup tinggi. Jika tidak dapat membayar pajak, sebagai gantinya para petani harus menyerahkan harta bendanya berupa ternak, makanan pokok, maupun barang keperluan rumah tangga.

Melihat perilaku bangsa pribumi yang menjadi antek Belanda, Raden Surowidjojo pergi ke kadipaten dan bergabung dengan gerombolan perampok. Gerombolan perampok itu bernama tiyang sami-sami amin. Kemudian disingkat menjadi Samin.

Orang-orang Samin sebenarnya kurang suka dengan sebutan “Wong Samin”, sebab sebutan tersebut mengandung arti tidak terpuji yaitu dianggap sekelompok orang yang tidak mau membayar pajak, sering membantah dan menyangkal aturan yang telah ditetapkan sering keluar masuk penjara, sering mencuri kayu jati dan perkawinannya tidak dilaksanakan menurut hukum Islam.

Para pengikut Saminisme lebih suka disebut “Wong Sikep”, artinya orang yang bertanggung jawab, sebutan untuk orang yang berkonotasi baik dan jujur.

Sekitar tahun 1890, Saminisme mulai pertama kali disebarkan oleh Samin Suro Sentiko. Dia seorang pangeran. Menurut Serat Punjer Kawitan, nama Samin adalah nama samaran dari Raden Kohar, seorang bangsawan dan guru kebatinan yang mempunyai nama samaran Suro Kuncung.

Suro Suro Sentiko diceritakan menghimpun kekuatan melawan kolonialisme Belanda dengan pergerakan rakyat anti kekerasan. Raden Kohar adalah salah satu dari lima bersaudara putra Raden Surowijaya, sesepuh samin.

Nggendeng (pura-pura gila), itulah prinsip mereka yang meniru Prabu Puntadewa dalam kisah pewayangan dalam menghadapi musuh-musuhnya.

Di samping melakukan perlawanan, Samin Suro Sentiko juga mengajarkan untuk bagaimana berperilaku di dunia dan di akhirat yang diwujudkan dalam perilaku sehari-hari.

Dengan format gerakan tersebut, Belanda akhirnya bersikap tegas. Pada 1 Maret 1907 Belanda menghambat gerakan Samin dengan melakukan penangkapan. Aktivitas orang-orang Samin di Kedung Tuban pun tercium oleh Belanda ketika orang-orang Samin tengah melakukan selamatan.

Samin Surosentiko (dilingkari), sesepuh sekaligus pembawa ajaran Samin.

Belanda lalu melumpuhkan aktivitas-aktivitas orang Samin termasuk delapan pengikut Samin Suro Sentiko. Delapan murid setia Samin Suro Sentiko tersebut kemudian dibuang di luar Jawa yaitu di Ceylon (Sailon). Sedangkan penangkapan Samin Suro Sentiko dilakukan setelah dia menerima panggilan Bupati Rembang dan dibuang bersama-sama dengan delapan muridnya.

Namun penangkapan dan pembuangan tersebut tidak menyurutkan perjuangan orang-orang Samin. Mereka tetap melakukan perlawanan-perlawanan terhadap Belanda dan menyebarkan ajarannya.

Menilik sejarah samin yang konsisten dalam perjuangannya perlu sekali dicontoh. Apalagi adat Samin mengajarkan mereka untuk berjiwa nasionalis, sense of social tinggi, menjunjung gotong royong.

Kitab Jamus Kalimasada

Samin Suro Sentiko lahir pada tahun 1859, di Desa Ploso Kedhiren, Randublatung, Kabupaten Blora. Ayahnya bernama Raden Surowijaya atau lebih dikenal dengan Samin Sepuh.

Nama Samin Suro Sentiko yang asli adalah Raden Kohar. Nama ini kemudian dirubah menjadi Samin, yaitu sebuah nama yang bernafas kerakyatan.

Samin Suro Sentiko masih mempunyai pertalian darah dengan Kyai Keti di Rajegwesi, Bojonegoro dan juga Pengeran Kusumoningayu yang berkuasa di daerah Kabupaten Sumoroto (kini Kabupaten Tulungagung) pada tahun 1802-1826.

Pada tahun 1890 Samin Suro Sentiko mulai mengembangkan ajarannya di daerah Klopoduwur, Blora. Banyak penduduk di desa sekitar yang tertarik dengan ajarannya, sehingga dalam waktu singkat banyak masyarakat yang menjadi pengikutnya. Pada saat itu pemerintah Kolonial Belanda belum tertarik dengan ajarannya, karena dianggap sebagai ajaran kebatinan biasa atau agama baru yang tidak membahayakan keberadaan pemerintah kolonial.

Samin sendiri boleh dibilang Robin Hood-nya Jawa yang gemar menjarah harta orang-orang Belanda dan lintah darat, yang kemudian dibagikan kepada masyarakat bawah.

Konon, tahun 1905 pengikut Samin mencapai 5.000 orang, tersebar di wilayah Bojonegoro, Tuban, Lamongan, Madiun, Ngawi, Jember, Banyuwangi (Jatim), Blora, Pati, Purwodadim Kudus, Rembang, Brebes dan Grobogan (Jateng).

Hidup mereka berpegang pada Jamus Kalimasada, sebuah kitab geguritan (puisi) dan gancaran (prosa) bahasa Jawa. Kitab Jamus Kalimasada terdiri dari Serat Punjer Kawitan, Serat Pikukuh Kasajaten, Serat Uri-uri Pambudi, Serat Jati Sawit, Serat Lampahing Urip, dan kesemua itu nama-nama kitab yang amat populer dan dimuliakan oleh orang Samin.

Pengikut Samin akan menjadi manusia paripurna bila mampu menjalani hidup dengan pasrah (pengendalian diri), sabar, dan menerima apa adanya. Itulah sebabnya mereka mengisolasi diri di tengah hutan, eksklusif, tak mau banyak berhubungan dengan orang luar, terutama (saat itu) kaum penjajah.

Menurut Harjo Kardi, paham Saminisme dinamakan juga “Agama Nabi Adam”. Sebab ajaran Saminisme yang terwariskan hingga kini sebenarnya mencuatkan nilai-nilai kebenaran, kesederhanaan, kebersamaan, keadilan, dan kerja keras.

Hardjo Kardi, sesepuh Samin.

“Ajaran Samin ada 3 yaitu, angger-angger pangucap (hukum bicara), angger-angger pratikel (hukum tindak tanduk), dan angger-angger lakonono (hukum perihal yang perlu dijalankan). Pertama, aja drengki srei, tukar padu, dahwen kemeren, kutil jumput, lan mbedhog colong. Artinya, jangan berhati jahat, bertengkar, iri hati, dan mencuri. Kedua, pangucap saka lima bundhelane ana pitu, lan pangucap saka sanga bundhelane ana pitu. Maksudnya, perkataan dari angka lima ikatannya ada tujuh, dan perkataan dari angka sembilan ikatannya ada tujuh. Maksud simbol itu agar manusia memelihara mulut dari tutur kata tak berguna dan menyakiti hati. Dan ketiga, lakonana sabar atau jalani hidup dengan sabar. Sementara konsep ajaran Samin yang diikuti pengikut ada 6, di antaranya tidak bersekolah, tidak memakai peci tetapi memakai iket yaitu semacam kain yang diikatkan di kepala mirip orang Jawa zaman dahulu, tidak berpoligami, tidak memakai celana panjang dan hanya pakai celana selutut, tidak berdagang, dan menolak segala bentuk kapitalisme,” terang Harjo.

Orang Samin juga punya acuan figur bernama Puntadewa. Raja Amarta di dunia pewayangan ini merupakan tipikal orang sabar, jujur, pantang berbohong, selalu berkata apa adanya. Tak mengherankan bila saat ini wayang kulit masih menjadi tontonan favorit di Dusun Jepang.

Dalam hal mata pencaharian, mereka hanya menggeluti pekerjaan petani, penggembala sapi atau kambing, atau sesekali nyambi tukang ojek. Semua penduduk berprofesi petani. Hanya segelintir orang yang pegawai negeri.

Pekerjaan pedagang yang kadang kala perlu trik atau berbohong, dijauhi orang Samin. Karena itulah di Dusun Jepang tidak akan ditemui warung. Umpatan, sumpah serapah, hujatan, dan kata-kata yang menyakitkan, juga jarang terlontar dari mulut mereka. Ngerumpi pun jarang.

Sewaktu zaman penjajahan, mereka benci setengah mati pada Wong Londo (bangsa Belanda). Membayar pajak pun tidak mau. Alasannya mereka hidup di bumi Allah. Bahkan orang Samin gemar menebang kayu jati dengan seenaknya. “Kami yang menanam kayu itu. Dan tanah ini dibuat Pangeran (Tuhan), bukan manusia,” demikian kata mereka.

Ya, dalam ajaran politiknya Samin Suro Sentiko mengajak pengikut-pengikutnya untuk melawan Pemerintahan Kolonial Belanda dengan menolak membayar pajak, menolak memperbaiki jalan,  menolak jaga malam (ronda), dan menolak kerja paksa/rodi.

Kebiasaan tak bayar pajak sempat bertahan sampai Indonesia merdeka. Sebab saat itu masyarakat Samin tak tahu kalau penjajahan telah berakhir. Baru ketika Surokerto Kamidin (generasi penerus Ki Samin) menghadap Bung Karno dan mengetahui sendiri bahwa wong Jowo wis dipimpin wong Jowo (orang Jawa telah dipimpin orang Jawa), maka sejak saat itu mereka taat kepada pemerintah yang dianggap bangsa sendiri.

Rumah ketua adat suku Samin.

Namun logika khas Samin masih sering membuat aparat geleng-geleng kepala. Misalnya yang dilakukan Hardjo Kardi. Ia menceritakan pernah diinterogasi polisi hutan gara-gara rumah miliknya dibangun dari kayu curian. Ketika rumah itu akan disita, cucu Samin Suro Sentiko ini dengan enteng menjawab, “Boleh disita, tapi berikan pada kami.”

Petugas dibuat pusing. Padahal rumah itu akan dirobohkan. “Boleh, tapi semua rumah harus dirobohkan, termasuk milik Pak Presiden,” jawab Hardjo lagi. Tak urung, petugas memilih mundur teratur.

Terbuka Dunia Luar

Lokasi yang terpencil menyebabkan Dusun Jepang begitu lambat berkembang. Pedusunan yang kini berpenduduk 600 jiwa itu terletak sekitar 65 km arah barat daya Bojonegoro, tepatnya 5 km dari ruas jalan Cepu (Jateng) dan Ngawi (Jatim).

Sejauh mata memandang, yang terbentang hanyalah pepohonan jati atau kembili (Dioscorea aculeata). Pohon-pohon itu berdiri kokoh di atas tanah kapur yang tandus dan sungguh tidak bersahabat dengan tanaman jenis lain.

Ojek menjadi sarana transportasi paling efektif. Tetapi kalau hujan, ban sepeda motor biasanya sulit berputar karena tanahnya begitu liat. Ongkosnya menjadi dua kali lipat. Jalan kaki akhirnya menjadi solusi yang paling tepat. Tapi warga Dusun Jepang lebih suka menempuh dengan jalan kaki. Makan waktu satu jam.

Orang Samin kini mulai terbuka. Mereka mulai bersedia untuk sekolah.

Kondisi ini sering dimanfaatkan Isman, warga Kalimojo (sebelah utara Jepang) untuk buka warung di sekitar km 2,5.

Kenapa bukan orang Jepang yang buka warung? “Itu tidak sesuai dengan ajaran Ki Samin,” jelas Miran, tokoh pemuda Jepang.

Dalam hal pakaian juga masih khas. Mereka memakai celana kolor-kombor-hitam, plus sarung. Kalangan tua seakan belum terasa sreg memakai celana panjang. Ini pula yang membedakan mereka dengan warga kampung lain.

Ciri lain yang masih tampak adalah arsitektur rumah. Dari sekitar 150 rumah yang ada, hampir semuanya berbentuk memanjang dengan pintu di samping. Ruangannya begitu luas dan lengang, mungkin saking sedikitnya perabotan yang ada.

Dindingnya terbuat dari kayu, namun ada pula dari kulit kayu jati. Semua rumah sudah beratap genting, sesuatu yang sulit ditemui hingga akhir 80-an. Sayangnya, rumah tembok belum bisa dijumpai di Dusun Jepang. Hanya ada empat rumah berdinding batu bata, itu pun semi permanen. Pertanda tingkat ekonominya masih begitu rendah.

Syukur sekarang generasi mudanya lebih terbuka. Faktor pendidikan dan pergaulan yang sudah semakin luas menyebabkan mereka lebih terbuka. Satu lagi, peran Islam yang membuat generasi muda Samin lebih dinamis. Sikap sabar, jujur, tak mau melukai hati orang lain yang terintegrasi dalam ajaran Saminisme, menjadi kian mengkilap akibat polesan lembut ajaran Islam. Jika kenakalan remaja di kampung lain menjadi hal lumrah, di Dusun Jepang bisa dibilang nol.

Sikap nonkooperatif kepada pemerintah pun tak ada lagi. Mereka tak pernah telat bayar pajak, meskipun kondisi ekonomi demikian sesak. Dulu mereka juga tak mau menikah di KUA, cukup disaksikan kerabat dan jadilah keluarga. Namun setelah diuber-uber petugas, mereka baru mendaftar.

Keadaannya kini berbanding terbalik. Jika mau menikah, mereka mendatangi KUA. Mereka tak mau kumpul layaknya suami istri apabila belum tercatat di kantor KUA.

Pemerintah daerah setempat juga memberi perhatian lebih kepada komunitas terpencil ini.

Bahkan pemerintah sudah membangun pesanggrahan Samin. Bangunan ini difungsikan sebagai tempat penelitian budaya Samin. Di sini tersedia data tentang sejarah dan karakteristik kulturnya.

Selama ini banyak penelitian ke Jepang, mahasiswa dan ilmuwan. Dengan pesanggrahan itu para peneliti bisa lebih tenang.

Listrik di wilayah Suku Samin juga sudah masuk. Tiang-tiang telah terpancang. Bila dibandingkan dengan kisah lama tentang Suku Samin, kini kampung Samin sudah jauh lebih modern. Walaupun begitu, perubahan tersebut tak lantas membuat mereka kehilangan jati diri.

Meski mereka berada di tengah-tengah hutan jati, akses jalan menuju kampung Samin yang berbatasan dengan Kabupaten Ngawi sudah beraspal dan mudah dilewati. Pun listrik, telepon, dan komputer (termasuk internet) sudah bisa diakses di sana.

Perubahan seperti itulah yang menyebabkan masyarakat Samin seakan berontak bila tetap “divonis” terbelakang dan terisolir. Mereka berupaya melepaskan diri dari belenggu asumsi yang telanjur berkembang selama ini.

“Saya ini ya Samin, tapi kan tidak beda dengan masyarakat lainnya?” protes Bambang, seorang pemuda Jepang.

Ya, Samin memang tengah terjaga dari tidur panjangnya.

Rata-rata orang Samin berprofesi sebagai petani.

Generasi Samin masa kini telah lama menjadi perilaku wong sikep (sebutan Suku Samin), yang mengajarkan agar jangan pernah menyakiti orang lain kalau tidak ingin disakiti, harus saling hormat-menghormati sesama manusia di dunia, dan jangan pernah mengambil apapun yang bukan haknya. Juga, beberapa ajaran lain yang mengikat masyarakat agar tidak berbuat kejahatan.

Dan realitanya hingga kini, tepo sliro (rasa saling menghormati) dan tingkat kerukunan masyarakatnya memang tinggi. Mereka biasa selalu saling membantu dalam keadaan apapun.

Harjo Kardi sebagai keturunan terakhir Samin Suro Sentiko, menjamin kampungnya relatif aman dari kasus tindak pidana kriminal, terutama pencurian atau kasus kekerasan.

Dia memastikan, setiap warga pendatang yang masuk ke komunitas Samin–baik yang membawa kendaraan–dijamin aman dari kasus pencurian.

“Kalaupun ada (pencurian), paling warga di sini hanya mengambil kayu di hutan, itu pun sebatas untuk bakar-bakar karena nenek moyang kami dahulu ikut menanam pohon di hutan ini,” papar Harjo.

Samin Suro Sentiko juga memberikan ajaran mengenai kenegaraan yang tertuang dalam Serat Pikukuh Kasajaten, yaitu sebuah Negara akan terkenal dan disegani orang serta dapat digunakan sebagai tempat berlindung rakyatnya apabila para warganya selalu memperhatikan ilmu pengetahuan dan hidup dalam perdamaian.

Pokok-pokok ajaran Samin yang bisa diterapkan pada kondisi bangsa yang morat marit akibat konflik SARA, adalah paham Samin tidak membeda-bedakan agama, oleh karena itu orang Samin tidak pernah mengingkari atau membenci agama.

Yang penting adalah tabiat dalam hidupnya. Orang Samin juga mengajarkan untuk tidak mengganggu orang, jangan bertengkar, jangan suka iri hati, dan jangan suka mengambil milik orang. Bersikap sabar dan jangan sombong. Manusia hidup harus memahami kehidupannya sebab hidup adalah sama dengan roh dan hanya satu, dibawa abadi selamanya. Menurut orang Samin, roh orang yang meninggal tidaklah meninggal, namun hanya menanggalkan pakaiannya.

Demikian ajaran Samin Suro Sentiko yang diwariskan pada anak cucunya. Ajaran Samin bukanlah ajaran yang pesimitis, melainkan ajaran yang penuh kreatifitas dan keberanian. Samin Suro Sentiko selama hidup telah memberi warna sejarah perjuangan bangsa. Sejarah mencatat, dia telah mampu menghimpun kekuatan yang luar biasa besarnya.[]

*) Diolah dari berbagai sumber

jawa tengahsuku samin
Komentar (0)
Tambah Komentar