REKAYOREK.ID Sejauh ini belum ditemukan naskah kuno, yang secara khusus menjelaskan tentang Surabaya. Tetapi ada catatan raja Hayam Wuruk terkait dengan perjalanannya yang melalui Surabaya. Catatan tertua adalah pada prasasti Canggu (1358) dan catatan berikutnya pada Manuskrip Kitab Negarakertagama yang ditulis Mpu Prapanca (1365).
Prasasti Canggu ini ditulis pada sebuah lempeng tembaga dalam aksara Jawa Kuna atau biasa disebut Aksara Kawi. Pun demikian dengan Manuskrip Negarakertagama yang ditulis pada media daun lontar. Manuskrip ini ditulis dalam aksara Bali yang berbahasa Jawa Kuna.
Ada sebuah catatan lagi dari lingkungan bangsawan Keraton Surakarta, yang mencatat silsilah bangsawan Jawa, yang di dalamnya juga mencatat silsilah keluarga Sunan Ampel dan Raden Patah. Dalam catatan beraksara Jawa Carakan itu juga menuliskan Pangeran Pekik. Banyak lagi keluarga keluarga bangsawan yang terkait dengan Keraton Surakarta. Catatan ini ditulis pada 1871. Catatan Kuna ini dimiliki oleh seorang kolektor Surabaya.
Dari era Sunan Giri, juga didapati sebuah surat, yang berisi tentang pengembalian keris sunan Giri yang ditulis pada Oktober 1772. Surat ini menjadi koleksi museum sunan Giri Gresik. Demikian unggahan yang ditulis oleh Amir Sjarifuddin, warga Gresik, dalam akun Facebooknya.
Amir menuliskan bahwa menurut buku sejarah perjuangan dan dakwah Islamiyah Sunan Giri, lembaga riset Islam Pesantren Luhur Malang (1974), keris yang dipinjam itu bernama keris Suro Angon Angon.
Surabaya dan Negarakertagama
Surabaya di Kitab Negarakertagama ditulis dengan aksara Bali dan bahasa Jawa Kuno dalam bentuk kakawin. Naskah ini ditulis di atas media lontar yang terdiri dari 44 lembar. Di setiap lembar berisi 4 baris tulisan.
Di kitab itu, nama Surabaya disebut. Nama Surabaya ditulis dengan bunyi “Syurabhaya” yang secara harfiah tertulis “Surabaya”. Syurabhaya dan Surabaya memiliki perbedaan makna. Syurabhaya berarti berani menghadapi bahaya. Surabaya berarti Dewa Buaya. Penulisan Syurabhaya ini muncul dalam konteks perjalanan Raja Hayam Wuruk dari Kerajaan Majapahit pada tahun 1365. Kitab ini mencatat kunjungan raja ke berbagai tempat, termasuk Surabaya, yang pada saat itu masih merupakan sebuah desa di pinggir sungai.
Catatan Mpu Prapanca ini berangka 1365. Sebetulnya catatan yang menyebut nama Syurabhaya (Surabaya) ini berkorelasi dengan Prasasti Canggu yang berangka tahun 1358.
Kisah ini menunjukkan bahwa nama Surabaya telah dikenal sejak masa Kerajaan Majapahit. Berarti Surabaya sebagai sebuah desa di tepian sungai (Naditira Pradeca) telah ada. Itulah Syurabhaya Kuna yang keberadaannya menempel pada sungai. Sekarang di Surabaya modern, Kalimas (kali Surabaya) berada/mengalir di dalamnya.
Pada masa itu, Majapahit, masyarakatnya, berbicara menggunakan bahasa Jawa Kuna dan menulis menggunakan aksara Jawa Kuna (Kawi).
Pada pergantian masa dari abad 14 ke abad berikutnya, terjadi perubahan dan perkembangan aksara. Dalam perkembangannya, aksara, yang digunakan tidak lagi Jawa Kuna atau Kawi, tetapi Jawa Baru atau Carakan Jawa.
Bukti penggunaan Carakan Jawa ini tampak pad inskripsi di salah satu Gapura Ampel. Lainnya adalah sepucuk surat yang berisi tentang pengembalian keris sunan Giri, yang ditulis pada Oktober 1772.
Para wali dan masyarakatnya pada saat itu menggunakan aksara Jawa untuk menulis. Beberapa kuburan di komplek Pesarean para bupati Surabaya di Sentono Agung Botoputih Pegirian Surabaya berinskripsi aksara Jawa. Inskripsi ini serupa dengan yang ada di komplek Pesarean bupati pertama Gresik, Pusponegoro.
Karena itu kiranya layak aksara Jawa menjadi sebuah Ingatan Kolektif yang perlu dimajukan.
Aksara adalah IKON dan OPK
Aksara Jawa dan daerah lainnya adalah Sebuah Ingatan Kolektif Nasional (IKON) dan Objek Pemajuan Kebudayaan (OPK).
Melalui kerangka Perda maupun Undang Undang, Aksara daerah termasuk Aksara Jawa akan aman ketika dilindungi oleh Undang Undang. Perlindungan ini akan sekaligus sebagai upaya menjaga ingatan kolektif.
Secara sederhana dan praktis faktual, banyak orang mengatakan “dulu saya sempat belajar aksara Jawa, sekarang sudah lupa”. Mengingat pentingnya penyelamatan aksara sebagai identitas bangsa, maka perlu dibangun kembali ingatan terhadap aksara Jawa. Membangun ingatan terhadap aksara daerah berarti menjaga identitas bangsa.
Perlu diketahui bahwa tidak semua bangsa bangsa di dunia memiliki aksara. Ternyata Nusantara (Indonesia) memiliki aksara asli.@PAR/nng