Teluk Lamong Diduga Sebagai Pelabuhan Laut Kuno Surabaya

Jika di kawasan Morokrembangan, yang dekat dengan Teluk Lamong, pernah ditemukan serpihan kayu dalam ukuran besar dan jangkar dari kapal Cheng Ho, ini menjadi petunjuk bahwa Teluk Lamong sebagai pangkalan armada baik armada dagang maupun armada Militer di jamannya.

REKAYOREK.ID Sebuah peta Surabaya tertua diketahui berangka tahun 1677 M. Peta ini sesungguhnya lembar laporan yang dibuat oleh Laksamana Cornelis Speelman atas misinya ke Surabaya dalam menghadapi Trunojoyo.

Peta laporan Speelman ini menggambarkan titik titik pertahanan Speelman dan Trunojoyo di Surabaya. Peta ini banyak dimuat dalam banyak literasi. Diantaranya adalah “Soerabaja 1900-1950” (Asia Maior), “Oud Soerabaia” (GH Von Faber) dan Nationale Archief Nederlands.

Secara umum peta itu menggambarkan area topografi Surabaya, yang pada pertengahan abad 17 garis pantainya tidak jauh berbeda dari abad 21 (sekarang).

Di peta abad 17 diilustrasikan ada dua sungai. Satu sungai bermuara di sebuah teluk, yang selanjutnya dikenal bernama Teluk Lamong. Sungai ini bernama Sungai Surabaya (rivier van Surabaya).

Peta Surabaya tertua diketahui berangka tahun 1677 M. Foto: repro

 

Kini sungai, yang menjulur ke Teluk Lamong ini, sudah mati karena pada ruas sungai di daerah Kampung Baru (utara Jembatan Merah), dibuatkan sudetan (kanal) yang langsung potong kompas lurus ke utara. Sudetan ini dibuat pada awal abad 19, yang selanjutnya disebut Kanal Kalimas.

Sedangkan sungai lainnya bermuara di selat Madura. Nama sungainya adalah Sungai Ampel (rivier van Ampel), yang sekarang dikenal dengan nama Sungai Pegirian. Namun dalam perkembangan jaman, muara Sungai Pegirian ini juga berubah. Tidak lagi bermuara di Semampir, tetapi berpindah di Tambak Wedi. Muaranya sama sama di Selat Madura.

Karena perkembangan jaman, perubahan pun terjadi. Kedua muara Sungai Kalimas dan Pegirian berubah.

Sebelum abad 17, Sungai Kalimas, yang kala itu disebut Pa-Tsih-Kan atau Kalimas Kecil, (Ma Huan: Ying-Yai Sheng-Lan, The Overal Survey of the Ocean’s Shores, yang diterjemahkan dari the Chinese text dan diedit oleh Feng Ch’eng-Chiin lalu diterbitkan oleh Cambridge University Press 1970), menjadi jalur utama yang menghubungkan lautan dan pedalaman Jawa, khususnya ke Majapahit.

Bahkan kedatangan pasukan Tartar pada 1293 juga melalui sungai ini. Dalam perkembangan jaman, Kalimas masih tetap menjadi jalur kedatangan imigran Cina sampai abad 18 (Claudia Salmon: The Han Family on East Java Entrepreneurship and Politics, 18th and 19th Centuries).

Kapal kapal besar sebelum menurunkan perahu perahu kecil (skoci) terlebih dahulu lempar jangkar di muara Pa-Tsih-Kan (Kalimas), yang dapat diduga, tidak lain adalah sebuah teluk. Berbagai sejarawan mengakui bahwa teluk menjadi tempat yang enak dan aman bagi kapal kapal lego jangkar.

Menurut Andri Setyo Nugroho dan Purnawan Basundoro dalam buku “Peran Jawa (bagian) Timur Dalam Jaringan Jalur Rempah, sejak periode kuno hingga abad 18” (2022) menuliskan bahwa teluk menjadi jujugan kapal kapal untuk bersandar dan lempar jangkar.

Hal senada juga dituliskan oleh Herry Priyatmoko, FIB Universitas Gajah Mada dalam “Sebelum Kapal Kandas: Pelabuhan Jepara dan Semarang Pada “Abad Rempah”, bahwa posisi pelabuhan di dalam teluk bisa disambangi kapal kapal besar. Mereka menggambarkan Jepara sebagai pelabuhan yang ada di dalam teluk.

Kalimas menjadi jalur utama perahu perahu kecil (skoci) setelah turun dari kapal. Maka dapat diduga bahwa kapal kapal besar lempar jangkarnya di teluk di depan muara Kalimas. Diduga kuat bahwa teluk itu adalah Teluk Lamong. Dari pantauan citra satelit, Teluk Lamong memang memiliki ceruk yang dalam.

Jika di kawasan Morokrembangan, yang dekat dengan Teluk Lamong, pernah ditemukan serpihan kayu dalam ukuran besar dan jangkar dari kapal Cheng Ho, ini menjadi petunjuk bahwa Teluk Lamong sebagai pangkalan armada baik armada dagang maupun armada Militer di jamannya. Serpihan kayu sepanjang 7,5 meter dengan diameter hampir 40 sentimeter itu tersimpan di Klenteng Sam Poo Tian Djien di jalan Demak Surabaya.

Secara umum dalam peta menggambarkan area topografi Surabaya, yang pada pertengahan abad 17 garis pantainya tidak jauh berbeda dari abad 21 (sekarang). Foto: repro

 

Bahkan di era Majapahit, Laksamana Nala, yang memimpin kesatuan armada laut Majapahit, salah satu gugus armada lautnya, bertanggung jawab menjaga dan mengamankan wilayah alur sungai yang menuju pedalaman Jawa (Majapahit) dan alur laut dari muara Kalimas (teluk) hingga ke perairan Kepulauan Rempah di Maluku.

Orientasi alur lalu lintas sungai di Kalimas ini sebagaimana ditulis oleh banyak sumber mulai dari kisah datangnya Tartar pada 1293, Cheng Ho dan Ma Huan 1433, hingga kapal kapal dagang di era kolonial mulai dari abad 17 hingga 19.

Teluk Lamong

Teluk Lamong adalah wilayah laut yang menjorok ke daratan dan langsung bersinggungan dengan garis pantai di wilayah Desa Karangkiring Kabupaten Gresik dan kelurahan Osowilangun, Sarioso dan Kalianak Kota Surabaya.

Ketika berbicara tentang Teluk Lamong, secara umum arah pembicaraan menuju ke terminal laut internasional, Terminal Teluk Lamong yang disingkat TTL. Terminal ini dibangun oleh PT Pelindo III untuk meningkatkan daya saing pelabuhan dan merupakan salah satu pembangunan infrastruktur yang termasuk dalam program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia atau yang biasa disingkat MPEI. Alasannya bahwa Pelabuhan Tanjung Perak sudah over capacity sehingga dibutuhkan tempat lain sebagai perluasan untuk mengantisipasi kapasitas pelabuhan Tanjung Perak.

Terminal Teluk Lamong merupakan sebuah terminal multiguna atau pelabuhan logistik berskala internasional milik PT Pelabuhan Indonesia III (Persero), yang berlokasi pada perairan Selat Madura di Tambak Osowilangon, Surabaya. Lokasi terminal ini berada di area pengembangan reklamasi muara Kali Lamong, yang terletak di antara Pelabuhan Tanjung Perak dan Pelabuhan Gresik.

Wilayah Teluk Lamong secara alami sangat strategis untuk persinggahan kapal kapal besar. Lautnya relatif dalam. Sejarah menunjukkan bahwa sudah berabad abad lamanya, Teluk ini menjadi jujugan kapal kapal besar mulai dari era kedatangan tentara Tartar (Mongol) di abad 13, Muhibbah Cheng Ho di abad 15, kedatangan VOC pada abad 17 serta kedatangan saudagar dan Imigran Cina pada abad 18 hingga 19.

Teluk Lamong diduga pernah menjadi jujugan kapal kapal besar mulai dari era kedatangan tentara Tartar (Mongol) di abad 13, Muhibbah Cheng Ho di abad 15, kedatangan VOC pada abad 17 serta kedatangan saudagar dan Imigran Cina pada abad 18 hingga 19. Foto: repro

 

Kondisi alamnya sangat mendukung untuk mobilisasi para pendatang asing itu. Sementara gerbang masuk ke pedalaman Jawa adalah melalui muara kali yang kala itu disebut Pa-Tsih-Kan. Pa-Tsih-Kan adalah Kalimas (Groenneveld, Notes in the Malay Archipelago and Melacca”, compiled from Chinese Sources” (1876),

Sehingga pengembangan Teluk Lamong sebagai pelabuhan laut internasional untuk masa depan adalah beralasan karena ini mempertegas fakta bahwa Teluk Lamong di masa lalu sebagai sebuah Teluk yang menjadi jujugan kapal kapal besar di eranya.

Teluk Lamong menjadi muara dari sungai sungai penting di wilayah Surabaya. Selain pernah ada Kali Surabaya (Kalimas), juga masih ada Kalianak dan Kali Lamong itu sendiri. Kini muara Kali Surabaya sudah hilang dan tergantikan oleh Bozeem. Sedangkan muara Kalimas dipindahkan ke Ujung Surabaya dengan adanya sudetan atau kanal Kalimas.

Serpihan Kapal Cheng Ho

Cheng Ho memang pernah melalui Surabaya dalam perjalanan muhibahnya ke Majapahit pada 1433. Ini adalah muhibahnya ke 7 ke Jawa.

Surabaya dicatat oleh Ma Huan sebagai tempat yang disinggahi sebelum melanjutkan perjalanan ke Canggu dengan menggunakan perahu perahu kecil dan kemudian dilanjutkan dengan berjalan kaki ke kota Raja Majapahit.

Ketika melawat ke Majapahit, kapal besarnya Cheng Ho lempar jangkar di perairan yang diduga kuat adalah Teluk. Itulah Teluk Lamong yang menjadi muara sungai Kalimas (Pa-Tsih-Kan), Kalianak dan Kali Lamong.

Disaat berhenti, kebiasaan para pelaut selalu memperbaiki kapal kapalnya. Hingga sekarang kebiasaan pelaut itu selalu memperbaiki kapal kapal nya ketika merapat di pelabuhan. Kebiasaan ini terlihat di pelabuhan Kalimas Surabaya, dan pelabuhan pelabuhan di Pasuruan dan Probolinggo.

Pun demikian dengan para awak kapal Cheng Ho. Mereka diduga juga melakukan perbaikan perbaikan atas kapalnya. Sejarah kedatangan tentara Tartar (Mongol) ketika sampai di pulau Gelam (dekat Kalimantan) pada 1293, mereka juga melakukan perbaikan atas kapal kapalnya serta membuat perahu perahu kecil untuk penjelajahan pedalaman Jawa.

Awak kapal Cheng Ho ketika di Teluk (Teluk Lamong) juga melakukan perbaikan. Biasanya bekas kayu kayu kapal setelah perbaikan ditinggalkan di tempat. Termasuk onderdil onderlin kapal lainnya yang sudah tidak dipakai, pasti ditinggalkan agar tidak menambah beban.

Warga setempat dikabarkan menemukan serpihan kapal Cheng Ho di muara Krembangan. Panjang serpihan adalah 7,5 meter dengan diameter kayu hampir 40 sentimeter. Bisa dibayangkan betapa besarnya kapal Cheng Ho yang dinaiki mulai dari negeri Cina hingga ke Jawa pada abad 15.

Sisa kayu kapal Cheng Ho ini oleh warga setempat dianggap bertuah dan dinamakan sebagai Kayu Aji. Kini kayu itu disimpan di dalam Klenteng Sam Poo Tian Djien (Cheng Ho) di jalan Demak Surabaya. Sebelum dipindahkan ke Klenteng, kayu ini berada di Moro krembangan. Kayu ini dipindahkan ke kuburan Mbah Ratu ketika di Morokrembangan dibangun lapangan terbang di era kolonial.

Yang tersimpan di Klenteng Sam Poo Tian Djien tidak hanya kayu balok bekas kapal Cheng Ho, tapi juga ada peninggalan jangkar kapal.

Dengan fakta dan data yang ada terkait dengan dunia kemaritiman, maka keberadaan Teluk Lamong di perairan Surabaya diduga kuat adalah pangkalan armada kuno yang menjadi jujugan kapal kapal besar di era klasik, yang ternyata hingga sekarang menjadi kawasan pengembangan pelabuhan di Surabaya.@Nanang