Tetap Mewaspadai Faham Komunis

Oleh: M Rizal Fadillah

SEMUA tahu bahwa PKI sudah dibubarkan pada tahun 1966. Penyebaran faham Komunisme, Marxisme dan Leninisme dilarang oleh Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966. Meski secara institusi sudah bubar tetapi secara ideologis masih ada dan mungkin terus berkembang. Tokoh PKI saat berpisah menyatakan “Kita bergerak tanpa bentuk”.

Pemberontakan PKI 1965 mengulangi pemberontakan PKI 1926 di Batavia, Bandung, Garut dan lainnya, termasuk beberapa daerah di Sumatera. Gagal dan banyak kader dibuang ke Boven Digoel. Muso dan Semaun lari ke Sovyet. Muso kembali melakukan pemberontakan PKI di Madiun 18 September 1948 bersama Amir Syarifudin. Menyebut gerakan sebagai Revolusi Proletariat. Semaun sendiri kembali ke Indonesia tahun 1959 menjadi Wakil Ketua Badan Kegiatan Aparatur Negara (Bapekan). Pada tahun 1961 mendapat gelar Doktor dan mengajar di FE Unpad hingga 1971.

Pemberontakan PKI 30 September 1965 diawali penyusupan anasir PKI ke lingkaran kekuasaan. Seolah tidak hendak mengganti Pancasila DN Aidit tahun 1964 membuat buku “Membela Pantjasila”. Dengan ruang politik yang dibuka Presiden Soekarno maka 30 September 1965 mencoba kudeta dan gagal. Menculik dan membunuh Jenderal TNI. Hal ini akibat Soekarno menerapkan pola dan teori perimbangan PKI dan TNI.

Tap MPRS XXV/MPRS/1966 dinyatakan tetap berlaku oleh Tap MPR No 1/MPR/2003 tentang Peninjauan Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR sejak 1966 hingga 2002. Sebelumnya UU No 27 tahun 1999 tentang Perubahan KUHP berkaitan dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara memberi sanksi atas penyebaran faham Komunisme, Marxisme/Leninisme dengan hukuman variasi 12, 15, dan 20 tahun.

Masa Reformasi ada nuansa kebangkitan. Dimulai dengan pendirian PRD pimpinan Budiman Sudjatmiko. Setelah Kongres PKI VII di Blitar (1965), maka Kongres VIII di Sukabumi Selatan (2000), Kongres IX di Cianjur Selatan (2006), Kongres X di Nagrak Magelang (2010) dan Kongres XI sekaligus HUT PKI 23 Mei 2015 di Kendal Jawa Tengah. Ribka Tjiptaning “Aku Bangga Menjadi Anak PKI” Maret 2004 menyatakan “Hanya Front Nasakom yang bisa keluarkan bangsa dari krisis”–vide Buku Alfian Tanjung “Menangkal Kebangkitan PKI”.

Di masa Jokowi muncul slogan mirip PKI “Kerja, Kerja, Kerja”. Keluar Kepres 24 tahun 2016 tentang Harlah Pancasila 1 Juni 1945 sila pertama Kebangsaan dan sila terakhir Ketuhanan. Menetapkan sebagai Hari Libur Nasional. Terbit Perpres No 7 tahun 2018 tentang BPIP. Tahun 2020 muncul RUU HIP yang kontennya menghilangkan Tap MPRS No XXV/MPRS/1966, pemerasan sila dengan tekanan “Gotong Royong”, penafian Agama mengganti dengan pokok “Keadilan Sosial” lalu Agama sejajar “Rohani dan Kebudayaan”, sinkretisme dan Pancasila, Trisila, Ekasila.

Setelah RUU HIP yang “berbau Komunis” gagal menjadi UU, maka dipersiapkanlah RUU BPIP. Baru masuk Prolegnas DPR, namun hingga kini belum dibahas. BPIP dengan Ketua Yudian Wahyudi ini terkesan “Islamophobia”. Musuh Pancasila itu Agama, anti hijab serta salam semua Agama. BPIP harus dibubarkan.

Tahun 2022 terbit Kepres No 17 tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu. Meski berbagai HAM Berat disebutkan seperti Talangsari, Trisakti, Wasior, Tanjung Priok, Jambo Keupok, Banyuwangi, Petrus, Mei 1998, Penculikan dan lainnya, namun terbesar adalah Peristiwa 1965 dimana PKI dianggap sebagai korban. Dilengkapi dengan Inpres 2 tahun 2023 dan Kepres 4 tahun 2023.

Pola pengembangan PKI sangat terasa seperti anti Islam, sinkretisme, nir-moral, adu domba, sekularisasi, pelanggaran HAM, kesenjangan sosial, pengaruh China, serta fenomena G 22 S JKW dan Akun Fufufafa. Surpim MPR Bamsoet 9 September 2024 soal Tap MPRS No XXXIII/MPRS/1967 dalam kaitan Soekarno dan PKI, cukup menarik. Ada upaya membersihkan Soekarno dan PKI dengan cara manipulasi.

“PKI memang dibubarkan tetapi cara berpolitik gaya PKI yang menghalalkan segala cara tetap ada. Jika kita tidak waspada, maka Indonesia berada dalam bahaya”.@

*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan