Tukang Masak dan Rahasianya #10

Jamuan Terakhir

Oleh: Noviyanto Aji

Mus dan Warti pergi ke warung Mbah Wito. Di sana mereka bertemu dengan para pencoleng. Ketika rencana ini disampaikan, bukan main kagetnya mereka.

“Apa benar kalian mau meracuni mereka semua?” Tanya Moenasan.

“Iya, Cak!”

“Kalian tidak salah. Apa sudah kalian pikirkan masak-masak!” Mbah Wito menimpali.

Sementara pemuda-pemuda lain hanya mendengarkan rencana Mus dengan geleng-geleng kepala. Ada yang melamun dalam kebingungannya, ada pula yang cengar-cengir karena merasa bahwa ini adalah perjuangan yang sesungguhnya.

Menghabisi semua orang Belanda adalah cita-cita mereka. Namun ada pula yang mendengarkan dengan seksama bagai patung karena rencana tersebut, entah dianggap berani atau sekedar nekat.

“Siapa yang merencanakan ini?” Tanya Moenasan.

“Bik Inah.” Jawab Warti.

“Yah, aku tahu dia. Aku kenal dengan suaminya. Saat ini suaminya sedang menggalang pejuang-pejuang di daerah untuk ikut dengannya berjuang. Kalau memang ini rencana Inah, aku yakin dia pasti sudah memikirkannya dengan matang,” Mbah Wito menimpali.

“Jadi bagaimana, Cak?” Mus menunggu jawaban teman-temannya.

“Kita jalankan sesuai rencana. Toh, kita juga tidak tahu apa yang bakal terjadi nanti. Jadi, biarlah Tuhan yang membantu kita. Kalau begitu aku dan teman-teman akan segera mengerahkan orang-orang. Ini bukan pekerjaan mudah. Sebab kita butuh banyak orang untuk melakukannya. Nanti kita akan mencegat mereka di tengah jalan. Setiap sudut-sudut kota akan kita awasi. Tenang saja Mus, teman-teman siap mati demi negara. Kamu kembali ke rumah dan sampaikan pesan ini ke Bik Inah. Salam kami untuk kalian dan semoga berhasil.”

Setelah Moenasan berkata demikian, dia lantas berdiri dan mengajak anak buahnya pergi. Dari kejauhan Mus dan Warti melihat Moenasan memberi komando ke teman-temannya. Setelah itu mereka berpencar.

“Mbah, kalau begitu aku pulang ya. Oh iya, Mbah, sampeyan punya kapur barus dan racun tikus nggak?”

“Tunggu sebentar ya.”

Mbah Wito masuk ke dalam dan keluar sembari membawa buntelan berisi pesanan Mus dan Warti.
Setelah itu mereka berpisah. Semua rencana sudah disusun dengan matang. Tinggal menjalankan saja.
Kepulangan Mus dan Warti disambut Bik Inah dan Ijah.

“Bagaimana?”

“Sudah bik, semua teman-teman sudah dihubungi. Mereka siap!”

“Iya.” Sambut Warti.

“Baiklah, kita siapkan menu-menu hari ini untuk esok. Simpan dulu buntelan itu di tempat yang aman. Ayo kita bekerja!” Bik Inah menyemangati.

Hari ini pekerjaan serasa tidak melelahkan. Sebab perempuan-perempuan pemberani itu memiliki tujuan yang sangat berarti dalam pekerjaannya. Tujuan itu kini lebih mulia, lebih bermartabat, lebih patriotisme, lebih sempurna ketimbang sekedar memperoleh 5 sen.

Uang bisa dicari tapi harga diri bangsa tetap nomor satu.

Seperti biasa, hari Senin telah tiba. Puluhan tamu sudah singgah di rumah Tjan Cuk.

Hari ini akan menjadi hari paling bersejarah. Hari ini adalah jamuan terakhir. Sebab pada hari ini, pembantu-pembantu itu akan mengukir sejarah dengan melakukan tugas kenegaraan yang teramat penting. Satu kesalahan saja akan membuat semua rencana berantakan.

Pukul 4 sore, tamu-tamu Tjan Cuk sudah datang. Mereka duduk di meja makan dan bersiap menyantap makanan yang dihidangkan.

Wajah-wajah mereka nampak berseri. Semua orang saling menyapa. Para pejabat terlihat terlibat obrolan seru dengan pemilik rumah. Sedang yang berpakaian seragam perang, seperti para serdadu dan polisi nampak bersendau gurau. Mereka tidak tahu bahwa sebentar lagi semua kesenangan itu bakal berakhir.

Sementara keadaan di dapur jauh lebih menyeramkan. Mus dengan gigih mengaduk masakan di panci besar yang telah dicampuri kapur barus dan racun tikus. Bik Inah yang kebagian meracik racun. Sebab hanya dia sendiri tahu berapa takaran yang pas untuk menu-menu tersebut.

Perhitungan Bik Inah: kapur barus dan racun tikus dicampur dalam panci besar yang berisi masakan, seperti cap cay, tumis kangkung, dan lain-lain.

Diperkirakan usai menyantap semua menu itu, mereka masih dalam keadaan sadar. Racun itu sendiri sebenarnya tidak mematikan, hanya cukup membuat mereka tidak sadar.

Nah, setelah beberapa jam kemudian, tepatnya setelah keluar rumah, dipastikan mereka akan sempoyongan. Saat itulah tugas Moenasan dan teman-temannya untuk menghadangnya.

Waktu makan sudah tiba. Bik Inah, Mus, Ijah, dan Warti masuk ke ruangan makan. Semua tamu sudah tidak sabar menanti hidangan.

Mereka tertawa-tawa, bersenda gurau, dan sesekali mengumpat pribumi-pribumi yang tidak becus.

“Sikap kalian benar-benar menjengkelkan. Awas! Sebentar lagi kalian akan mampus di tangan teman-temanku. Mereka sudah menunggu di sana. Menunggu kelengahan kalian. Dengan makanan yang telah kami bubuhi racun ini, kalian pasti akan mampus. Sekarang tertawalah sesuka kalian, sebab ini adalah hari terakhir kalian duduk di meja ini.” Batin Mus berteriak sekencang-kencangnya sewaktu menyajikan menu di hadapan mereka.[bersambung]

tukang masak
Komentar (0)
Tambah Komentar