Utang Negara Dibayar Atau Diwariskan?

BPK mengkhawatirkan kemampuan pemerintah dalam membayar utang yang mencapai Rp 8.670 triliun, itu termasuk utang BUMN. Apakah utang ini ditanggung APBN, atau utang di era Presiden Jokowi akan diwariskan pada presiden berikutnya?

REKAYOREK.ID Hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengkhawatirkan kemampuan pemerintah dalam membayar utang, yang sampai dengan 31 Desember 2021 sudah mencapai Rp 6.074,56 triliun.

Hal itu diungkap BPK dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LHP) LKPP 2020. BPK menilai ke depannya kemampuan pemerintah untuk membayar utang makin menurun.

Ketua BPK Agung Firman Sampurna mengungkapkan tren penambahan utang pemerintah dan biaya bunga telah melampaui pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) dan penerimaan negara. Yang dikhawatirkan pemerintah tidak mampu untuk membayarnya.

“Memunculkan kekhawatiran terhadap penurunan kemampuan pemerintah untuk membayar utang dan bunga utang,” jelas Agung Firman dalam Rapat Paripurna, Selasa (22/6/2021) lalu.

Namun data Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat utang pemerintah mencapai Rp 6.527,29 triliun atau 41,18% terhadap PDB per April 2021.

Dalam hal ini BPK memaparkan beberapa indikator yang mendasari kekhawatirannya soal kemampuan pemerintah untuk membayar utang makin menurun.

BPK menilai rasio utang Indonesia terhadap penerimaan sudah tembus 369% atau jauh di atas rekomendasi International Debt Relief (IDR). Padahal, standar IDR untuk rasio utang yang stabil berada di 92-176%. Kemudian, bila melihat rekomendasi Dana Moneter Internasional (IMF) berada di 90-150%.

Selain itu, rasio debt service terhadap penerimaan sebesar 46,77%, hal ini telah melampaui rekomendasi IMF sebesar 25-35%.

Sementara itu, rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan sebesar 19,06%. Ini melampaui rekomendasi IDR sebesar 4,6-6,8% dan rekomendasi IMF sebesar 7-10%.

Selain itu BPK menyoroti indikator kesinambungan fiskal 2020 sebesar 4,27% yang telah melampaui batas yang direkomendasikan The International Standards of Supreme Audit Institutions (ISSAI) 5441- debt indicator yakni di bawah 0%.

“Pandemi COVID-19 meningkatkan defisit, utang dan SILPA yang berdampak pada peningkatan risiko pengelolaan fiskal,” jelasnya.

Sementara penjelasan pemerintah beda lagi. Melalui Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo mengungkapkan bahwa dalam pengelolaan utang dan pembiayaan APBN, pihaknya mengklaim sudah menjaga pada kondisi aman.

Dalam menekan biaya utang, Kemenkeu, juga kata Prastowo telah melakukan berbagai upaya. Di antaranya melakukan sinergi dengan Bank Indonesia (BI) dalam kebijakan burden sharing.

“Sinergi Pemerintah dan BI (SKB II) untuk membiayai penanganan pandemi, dimana BI ikut menanggung biaya bunga utang,” jelas Yustinus, Kamis (24/6/2021).

Prastowo menambahkan, Kemenkeu saat ini telah melakukan kebijakan konversi pinjaman luar negeri, yakni dengan mengubah pinjaman dalam Dolar Amerika (USD) dan suku bunga mengambang (basis LIBOR) menjadi pinjaman dalam Euro dan Yen, dengan suku bunga tetap mendekati 0%. “Sehingga mengurangi risiko dan beban bunga ke depan,” tuturnya.

Upaya yang juga dijalankan pemerintah dalam hal ini Kemenkeu adalah dengan melakukan strategi pengelolaan pembiayaan melalui upaya menurunkan yield di tahun 2020 yang dapat menekan yield SBN sekitar 250 bps mencapai 5,85% di akhir tahun atau sudah turun 17% sejak awal tahun 2021 (year to date).

“Dengan berbagai respon kebijakan tersebut, ekonomi Indonesia di 2020 cenderung tumbuh relatif cukup baik dibanding negara lain,” ujar Yustinus.

“Pemerintah sepakat untuk terus waspada dan mengajak semua pihak bekerja sama dalam mendukung pengelolaan pembiayaan negara. Pemerintah senantiasa mengelola pembiayaan secara hati-hati, kredibel, dan terukur, termasuk dalam beberapa tahun terakhir ini ketika terjadi perlambatan ekonomi global,” lanjut Yustinus.

Warisan Utang Jokowi

Ekonom senior, Prof. Didik J. Rachbini sepakat dengan kekehawatiran BPK bahwa Indonesia tidak akan mampu membayar utang yang kian menggunung.

Namun ahli ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) ini mewanti-wanti pemerintah untuk tidak memberangus sikap kritis yang dilakukan BPK.

“Saya setuju BPK mengingatkan pemerintah karena tugasnya memang harus begitu. Jangan kemudian kritis malah dinafikan atau bahkan yang kritis diberangus, yang kritis seperti yang dilakukan sekarang terhadap aktivis,” kata Didik, Kamis (24/6/2021).

Dia juga memberikan koreksi sedikit kepada BPK bahwa utang yang menjadi tanggung jawab pemerintah bukan hanya di APBN yang nilainya Rp 6.527 triliun, namun juga utang BUMN senilai Rp 2.143 triliun.

“Utang BUMN keuangan sebesar Rp 1.053,18 triliun dan BUMN non-keuangan sebesar Rp 1.089,96 triliun. Jadi total utang pemerintah pada masa Presiden Jokowi sekarang sebesar Rp 8.670 triliun,” tegasnya.

Rektor Universitas Paramadina itu menambahkan, di sisi lain saat ini BUMN juga diminta dan dibebani tugas untuk membangun infrastruktur dalam proyek pembangunan nasional.

“Kalau gagal bayar atau bangkrut harus ditanggung APBN, sehingga menjadi bagian dari utang pemerintah. Warisan utang Presiden Jokowi kepada presiden berikutnya bisa lebih Rp 10 ribu triliun,” Didik mengingatkan.

Adapun konsekuensi yang didapat Indonesia dari tumpukan utang luar negeri ini, Didik mengatakan APBN akan terkena beban berat lantaran harus membayar utang yang sangat besar.

“APBN akan lumpuh terkena beban utang ini dengan pembayaran bunga dan utang pokok yang sangat besar. APBN bisa menjadi pemicu krisis ekonomi,” katanya.

“Kalau 20 tahun lalu krisis 1998 dipicu oleh nilai tukar, maka sekarang bisa dipicu oleh APBN yang berat digabung dengan krisis pandemi karena penanangan yang salah kaprah sejak awal. Jadi, gabungan dari kedua faktor itu potensial memicu krisis,” ucap Didik.

Didik pun memberi saran kepada pemerintah untuk menyelesaikan masalah utang dengan mendorong ekonomi dengan strategi ekspor, meningkatkan daya saing, dan penyesuaian struktural.

Namun, menurutnya hal itu tidak mudah dilakukan karena adanya krisis pandemi Covid-19, dan kapasitas kepemimpinan saat ini yang tidak cekatan dalam penanganan pandemi, serta problem relasi politik yang rusak.

“Jadi, masyarakat akan menerima konsekuensi utang yang berat di masa yang akan datang. Lebih komplikasi lagi karena ada akrobat politik yang dibiarkan, dianggap indah dan dimainkan terus, banyak oknum yang mendorong tiga periode,” tegasnya.

Dia menambahkan, energi politik Indonesia saat ini habis karena banyaknya unsur politis dalam setiap kebijakan pemerintah, sehingga permasalahan ekonomi nasional tidak mendapatkan solusi yang baik.

“Energi politik habis untuk akrobat politik seperti ini, bukan untuk solusi kegentingan pandemi dan ekonomi. Akrobat politik presiden tiga periode tersebut jika dibiarkan semakin besar kekuatannya, akan menimulkan resistensi dan bahkan benturan politik lebih berat,” tandasnya.

Senada disampaikan Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira. Menurutnya permasalahan utang ini sudah ada sejak sebelum pandemi Covid-19 dan kenaikannya terjadi 5-6 tahun yang lalu.

Paling utama, utang bukan terletak pada besarnya utang yang harus ditanggung pemerintah Indonesia. Melainkan bagaimana cara pemerintah membayarnya.

“Mau utangnya Rp 10 ribu triliun kalau bisa bayar ya tidak ada masalah. Amerika Serikat, Jepang, itu kan utangnya besar-besar. Rasio utangnya di atas 100 persen, tapi kemampuan bayarnya juga besar,” jelas Bhima.

Bhima menambahkan, perbedaan Indonesia dan Jepang misalnya, adalah soal bagaimana utang dilepas. Di Indonesia pemerintah melepas bebas kepada siapapun yang mau membeli surat utang.

“Kemudian mereka (Jepang) kalau ngutang tidak seperti Indonesia, kalau di Indonesia utang dilepas yang beli bukan hanya di Indonesia tapi juga investor asing. Sehingga kalau investor asingnya keluar maka akan guncang sistem keuangan Indonesia,” urainya.

Sementara di Jepang, utang banyak diserap bank sentral termasuk ritel atau investor dalam negeri.

“Sehingga meskipun rasio utang di atas 100 persen tetapi itu kalau dijual utangnya kan uangnya berputar di Jepang. Jadi tidak terjadi capital outflows, itu risiko yang pemerintah anggap enteng,” pungkasnya.

Sudah Diingatkan Jauh Hari

Ekonom senior, DR. Rizal Ramli jauh-jauh hari sudah mengingatkan bahaya besarnya utang asing yang semakin bertambah tiap tahunnya. Hanya saja, para pejabat pemerintah justru ramai-ramai membantahnya.

Pada Juli tahun 2018, Rizal Ramli pernah mengingatkan soal bahaya utang. Dia mengkritik cara pemerintah menyampaikan tentang kondisi utang kepada masyarakat.

“Indikator yang dipakai pejabat-pejabat bela utang hanya ratio Debt/GDP. Itu menyesatkan!! Indikator-indikator yang lebih penting: ratio Debt Service/Export, Debt Service/Penerimaan, Primary Balance,” ungkap dia.

Namun, lanjut Rizal Ramli, saat itu dia dibantah oleh para pejabat bidang ekonomi yang dikomandoi Menteri Keuangan, Sri Mulyani.

“Pakai ratio Debt/GDP itu menyesatkan! Tapi, RR waktu itu dibantah-bantah oleh pejabat-pejabat ekonomi,” ucapnya.

Rizal Ramli juga mengungkapkan seharusnya Pemerintah lebih fokus kepada masalah itu, daripada menaikkan PPN untuk sembako dan pendidikan.

“Caranya gimana? Lakukan langkah-langkah dong, terobosan, supaya kewajiban bunga itu bisa dipotong menjadi setengahnya,” imbuhnya.

Rizal Ramli mencontohkah, saat menjabat sebagai Menko Perekonomian di era Presiden Gusdur, dia melakukan tukar utang dengan hutan.

“Waktu itu sama Jerman, Jerman tukang pengkritik Indonesia. Perusak lingkungan! Mengganggu paru-paru dunia!,” cerita Rizal Ramli.

Dia mengatakan dirinya bertemu dengan Menteri Keuangan Jerman pada saat itu, dan menawarkan solusi win-win.

“Saya ketemu sama Menteri Keuangan Jerman, ‘Jangan gitu deh, kita win-win. Saya sediakan 300 ribu hektare hutan di Kalimantan untuk konservasi, kamu potong utang Indonesia 600 juta dolar.’ Kita lakukan dalam 5 tahap, dia setuju,” tuturnya.

Proses pertukaran itu pun sempat dilakukan, langkah pemotongan utang sebesar Rp8,5 triliun itu pun dimulai, tetapi tidak dapat selesai karena masa Pemerintahan Gusdur telah selesai.

“Nah hari ini, isu lingkungan hidup nomor satu di dunia. Bahkan RRC saja setuju,” tandasnya.

Pada hari ketiga Lebaran 2021 kemarin, Rizal mengaku kedatangan teman-teman dari Amerika Serikat yang menawarkan bantuan kepada Indonesia.

“Saya bilang kalau bantu, kita adakan lagi swap debt to nature loan, kita sediakan di seluruh luar Jawa hutan 30 juta hektare buat konservasi, kamu potong utang Indonesia 60 miliar dolar (Rp853 triliun),” imbuhnya.

Dia mengungkapkan bahwa teman-temannya yang dekat dengan orang berpengaruh di negeri Paman Sam tersebut menyambut dengan baik tawaran itu.

“Dia bilang Dr. Ramli we’d love to do it (kami senang melakukan itu), karena kita kan nyelamatin paru-paru dunia. Kalau kita inovatif, out of the box, banyak kok solusi soal utang ini,” saran Rizal.

Ketika ditanya apakah usulan itu telah disampaikan kepada Pemerintah, dia pun mengatakan hal itu telah disampaikan melalui media sosialnya.

“Saya sudah ngomong di sosial media, tapi mereka enggak ngerti, mereka terikat dengan pola yang lama,” ucap Rizal.[]

utang
Komentar (0)
Tambah Komentar