REKAYOREK.ID Jika dalam beberapa hari saja nama Alun Alun Surabaya mampu membius ratusan pengunjung, apa yang akan terjadi jika waktu berjalan hingga berbulan bulan dan bahkan bertahun tahun. Berapa juta orang akan dibuat tidak sadarkan diri, tidak mengenal sejarah kotanya, oleh karena nama “Alun Alun Surabaya”?
Profesor Purnawan Basundoro, yang bertindak secara langsung sebagai moderator dalam webinar “Anomali Alun Alun Kota Surabaya” yang digelar oleh Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Jawa Timur menyimpulkan bahwa perlunya mengganti nama “Alun Alun Surabaya” yang disematkan pada hasil revitalisasi kawasan Balai Pemuda Surabaya di pojokan Jalan Gubernur Suryo dan Jalan Yos Sudarso, Surabaya.
Perlu diketahui bahwa Pemerintah Kota Surabaya menamakan komplek Balai Pemuda yang telah direnovasi dengan nama Alun Alun Surabaya. Penamaan ini menuai reaksi ketidaksetujuan dari banyak kalangan, terutama para pemerhati dan pegiat sejarah, budaya dan cagar budaya kota Surabaya.
Nama Alun Alun Surabaya dianggap mengaburkan sejarah. Selain mengaburkan sejarah Balai Pemuda itu sendiri, juga sejarah Alun Alun Surabaya yang sesungguhnya pernah ada.
Testimoni warga, yang dilakukan oleh Tim Begandring Soerabaia dan dikemas dalam video Heritage Walk, kemudian ditayangkan dalam webinar menunjukkan ketidak tahuan warga terhadap tempat bersejarah yang mereka kunjungi. Mereka lebih mengenal “alun alun Surabaya” ketimbang gedung Balai Pemuda yang menyimpan sejarah kepahlawanan arek arek Surabaya.
Ketidaktahuan warga yang terekspos melalui video pendek itu membuat Ir. Handinoto sangat prihatin.
“Dari rekaman video tadi menunjukkan bahwa para generasi muda sangat tidak mengerti sejarah kotanya. Saya sangat prihatin”, tutur Handinoto.
Menanggapi fakta tentang ketidak mengertian generasi muda akan sejarah kota Surabaya, ia berharap ada kebijakan dalam dunia pendidikan di Surabaya untuk menyisipkan materi pelajaran sejarah Surabaya sebagai muatan lokal.
“Harus ada pelajaran sejarah Surabaya yang diajarkan mulai tingkat SD, SMP hingga SMA”, lanjut Handinoto yang juga sebagai anggota Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Surabaya.
Dalam paparannya ketika mengawali webinar, Handinoto menjelaskan konsep Alun Alun di Jawa: Dulu dan Sekarang. Menurutnya Alun Alun adalah simbol kekuasaan yang memiliki sifat sakral karena dipakai sebagai tempat acara acara penting seperti penobatan dan upacara keagamaan. Bahkan struktur tata ruang komplek alun alun pun sangat diperhitungkan. Misalnya di sisi barat alun alun ada tempat ibadah masjid, di sisi utara atau timur ada pendapa tempat penguasa bertempat dan berkantor.
Hal senada juga disampaikan pemateri lainnya, Eko Jarwanto, yang menjelaskan tentang perubahan fungsi alun alun dalam arus zaman. Bahwa alun alun yang sudah ada sejak era klasik, keberadaannya memang menembus lintas jaman tapi terpaksa mengalami perubahan seiring dengan perkembangan yang terjadi.
Di era kolonial, ada perubahan fungsi lahan di kompleks alun alun. Misalnya ada pembangunan kediaman atau kantor residen atau wakil residen. Ada juga bangunan fasilitas penjara.
Di era pasca kemerdekaan, perubahan fungsi dan pemanfaatan lahan di sekitar dan kompleks alun alun terlihat semakin jelas dan pesat.
“Misalnya, alun alun sudah menjadi lapangan olahraga. Ada lapangan sepak bola, basket, termasuk area pedagang kaki lima”, jelas Eko terkait dengan perubahan fungsi alun alun.
Baik Eko Jarwanto maupun Ir. Handinoto, sama sama sepakat bahwa Surabaya pernah memiliki alun alun yang letaknya berada di kawasan Tugu Pahlawan. Karena perkembangan jaman dan perubahan fungsi maka alun alun Surabaya menjadi hilang.
Misalnya ketika kantor Pemerintah Kota Surabaya (Gemeente) dibangun di kawasan Ketabang pada 1920-an, maka ruang publik semacam alun alun tercipta di sana. Sementara di komplek alun alun Surabaya sendiri dibangun kantor pemerintah propinsi, gouvernor, pada akhir 1920-an. Masjidnya pun, yang berada di sisi barat alun alun, juga dibongkar. Sekarang di bekas area alun alun sudah berdiri Tugu Pahlawan dan museum. Alun alun nya hilang.
Yang patut menjadi perhatian serius adalah, menurut Handinoto, tidak adanya keterlibatan masyarakat dalam penamaan baru komplek Balai Pemuda. Bahkan Handinoto tidak menemukan konsep dan latar belakang yang jelas dengan penggunaan nama “alun alun Surabaya“. Justru yang jelas adalah pengaburan sejarah dan identitas kota.
Alun Alun Surabaya adalah Identitas kota yang membunuh indentitas kota. Kesan itu yang didapat Begandring Soerabaia ketika survey lapangan dan melakukan wawancara dengan beberapa pengunjung. Dari wawancara itu, hasilnya menunjukkan bahwa nama Alun Alun Surabaya benar benar membius pengunjung dan membuat mereka tidak sadarkan diri. Mereka tidak tau lagi tempat yang begitu bersejarah bagi kota Surabaya.
Mereka tahunya adalah alun alun Surabaya. Jika dalam beberapa hari saja nama Alun Alun Surabaya mampu membius ratusan pengunjung, apa yang akan terjadi jika waktu berjalan hingga berbulan bulan dan bahkan bertahun tahun. Berapa juta orang akan dibuat tidak sadarkan diri oleh nama Alun Alun Surabaya?
Inilah proses missing link yang menjadi terputusnya pemahaman sejarah kota oleh warganya. Ini bahaya. Kota bisa kehilangan jatidirinya. Surabaya bisa kehilangan ruh kepahlawanannya.
Di akhir webinar, yang berlangsung selama dua jam, dicapai kesepakatan publik termasuk dari para pembicara webinar bahwa nama “Alun Alun Surabaya” patut diganti. Usulan nama pengganti yang muncul dari peserta webinar adalah “Alun Alun Simpang” dan ‘Alun Alun Balai Pemuda”.
Profesor Purnawan Basundoro yang juga sebagai Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Jawa Timur termasuk Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Surabaya, atas nama MSI Jawa Timur akan menyerahkan rekomendasi dari hasil diskusi publik ini ke Walikota Surabaya, Eri Cahyadi.
“Nanti rekomendasi dari hasil diskusi ini akan kita serahkan ke Walikota dengan harapan segera ditindaklanjuti karena rekomendasi ini dari hasil pemikiran publik untuk kota tercinta Surabaya “, pungkas Profesor Basundoro mengakhiri webinar.[]