Anies Arek Suroboyo

"Surabaya hulunya keluarga kita. Kakek saya asli Surabaya. Besar di Surabaya. Tinggal di Surabaya. Bahasanya Surabaya."

REKAYOREK.ID Anies Baswedan akhirnya diusung Partai Nasdem sebagai Capres 2024 pada Senin, 3 Oktober 2022. Sederhana kata Surya Paloh, “Why not the best”. Ini petunjuk. Pemilihan Anies tidak main-main. Nasdem punya rekam jejak lengkap siapa Anies. Partai ini tidak mencalonkan sosok dari internal, bahkan Anies sendiri belum menjadi anggota atau kader partai tersebut.

Elektablititas Anies selama ini masuk 3 besar. Lawan terkuatnya Prabowo dan Ganjar. Bahkan Pilpres 2024 kali ini boleh dibilang banyak pengelompokan. Mulai pendukung Anies Baswedan hingga relawan Ganjar dan Prabowo. Tetapi Anies nampaknya secara obyektif lebih mumpuni dibanding calon lain. Kapasitasnya kecendekiawanan, relijiusitas, pengalaman birokrasi, maupun prestasi kerja sebagai Kepala Daerah, sangat mumpuni.

Menghadapi lawan politiknya, Anies juga tak gentar. Dikritik habis-habisan pun tak membuatnya berbelok menyerang.

Mungkin kepiawaian Anies ini ditularkan dari kakeknya Abdurrahman Baswedan atau dikenal AR Baswedan.

Ya, sebelum diumumkan sebagai Capres 2024, Anies sempat menceritakan sosok kakeknya di Balai Kota, beberapa waktu lalu.

Kata Anies, dia tidak asing dengan Kota Pahlawan. Kakeknya AR Baswedan lahir di Surabaya pada 9 September 1908 dan meninggal di Jakarta pada 16 Maret 1986.

Abdurrahman asli Arek Suroboyo. Dia termasuk tokoh keturunan Arab yang berjasa dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Salah satunya, Abdurrahman menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dia bersama pendiri bangsa terlibat aktif menyusun UUD 1945.

AR Baswedan. Foto: wikipedia

 

Presiden Jokowi kemudian menetapkan AR Baswedan sebagai pahlawan nasional pada November 2018. Keputusan ini tertulis dalam Keputusan Presiden Nomor 123/TK/2018, dengan pedoman Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.

“Surabaya hulunya keluarga kita. Kakek saya asli Surabaya. Besar di Surabaya. Tinggal di Surabaya. Bahasanya Surabaya,” kata Anies dikutip rekayorek.id.

Kata Anies, kakeknya dulunya adalah seorang jurnalis. “Beliau pernah bekerja di koran Soeara Oemoem milik dr. Soetomo dengan gaji 10-15 gulden sebulan,” ceritanya.

Awal mula Abdurrahman bekerja sebagai jurnalis setelah bertemu wartawan pertama dari keturunan Arab di Hindia Belanda, Salim Maskati. Di situ Abdurrahman tertarik terjun ke jurnalis. Menjadi penulis handal. Menjadi wartawan pejuang. Dan Abdurrahman termasuk penulis produktif. Saat era revolusi, tulisan-tulisannya kerap tampil di media-media propaganda kebangsaan Indonesia dengan nada positif dan optimis.

Selain di surat kabar Soeara Oemoem, Abdurrahman pernah bekerja di Sin Tit Po, ia mendapat 75 gulden—waktu itu beras sekuintal hanya 5 gulden. Setelah itu dia bekerja di surat kabar Matahari. Tak hanya dikenal penulis, Abdurrahman juga dikenal sebagai penyair, sastrawan, dan politisi.

Setelah Abdurrahman mendapatkan amanah menjalankan roda organisasi Persatuan Arab Indonesia (PAI), dia lantas meninggalkan Matahari. Padahal saat itu gajinya 120 gulden atau setara dengan 24 kuintal beras.

Dari sini Abdurrahman kemudian berpindah-pindah tempat. Melalui PAI, kakek Anies mengikrarkan Sumpah Pemuda Keturunan Arab di Semarang. Hal ini terinspirasi dari peristiwa sumpah pemuda 28 Oktober 1928.

Rupanya Abdurrahman sengaja mendeklarasikan Sumpah Pemuda Keturunan Arab untuk menyiapkan gerakan pemuda keturunan Arab untuk berperang melawan Belanda. Mereka yang terpilih kemudian dilatih dengan semi militer di barak-barak. Mereka dipersiapkan secara fisik untuk bertempur.

“Perjuangan kakek berpindah-pindah. Menjelang 45 pindah ke Jakarta, atau tepatnya sebelum BPUPKI. Bahkan saat ibukota pindah ke Jogja, kakek juga pindah ke Jogja,” kenang Anies.

Abdurrahman pernah mengemban misi diplomatik ke Mesir untuk mendapatkan pengakuan de jure dan de facto atas kemerdekaan Indonesia. Berkat jasanya itu, Mesir menjadi negara pertama di dunia yang mengakui kemerdekaan Indonesia.

Pada masa kemerdekaan, Abdurrahman sempat masuk dalam kabinet sebagai Wakil Menteri Muda Penerangan RI pada Kabinet Sjahrir. Ia pernah menjadi bagian dari Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP), Anggota Parlemen, dan Anggota Dewan Konstituante.

Abdurrahman, cerita Anies, menikahi Syeikhun. Keduanya menikah tahun 1925. Namun Syeikhun meninggal duluan pada 1948 di rumah sakit Kadipala, Sala. Sepanjang hidup Syeikhun telah menemani perjuangan sang suami. Dari Syeikhun lahir 9 orang anak. Mereka Anisah, Aliyah, Fuad, Awad Rasyid (Ayah Anies Baswedan), Hamid, Atikah, Nur, Imlati dan Lukyana.

Yang menarik kata Anies adalah nama anak Abdurrahman Imlati. Ya, nama ini sengaja dipakai untuk menggambarkan perjuangan saat itu.

“Yang menarik kakek menamai salah satu anaknya dengan nama Imlati. Itu kepanjangannya Indonesia Merdeka Lekas akan Tercapai,” ucap Anies.

Anies Baswedan. Foto: ist

 

Sejak pindah ke Jogja, Abdurrahman kemudian memutuskan untuk menetap di Jogja. Makanya Anies sangat mahir dengan bahasa Kromo Inggil. Maklum, waktunya banyak dihabiskan antara Jogja dan Surabaya.

“Saya terbiasa tinggal di lingkungan Jogja dan Surabaya. Makanan Jogja dan Surabaya tidak asing. Jajanan Surabaya juga. Sejak kecil saya sering diajak ke Surabaya. Soalnya kakek tidak bisa melupakan kota kelahirannya. Kalau di Surabaya biasanya di rumah anaknya di Jalan Kali Kepiting. Dulu masih sawah-sawah,” urai Anies.

Bagi Anies, Surabaya punya memori khusus. Terutama Jalan Mas Mansur. Di situ adalah rumah keluarga besarnya. Sayang sekarang rumah itu tidak ada lagi.

“Ya, Jalan Mas Mansur itu rumah keluarga besar kami. Sekarang jadi rumah sakit (Al Irsyad),” ucapnya.

Terkait Kota Pahlawan, menurut Anies, Surabaya adalah kotanya petarung. Di situ lahir pejuang-pejuang bangsa yang hebat. Bayangkan saja, saat pertempuran 10 November 1945, ribuan nyawa pejuang melayang demi membela negaranya.

“Bagi saya, itu peristiwa monumental. Dahsyat. Tapi yang lebih dahsyat adalah para orangtua yang mengijinkan anak-anaknya pergi ke medan tempur. Bisa dibayangkan mereka yang bertempur pada 10 November rata-rata masih remaja. Mereka datang kepada orangtuanya. Sungkem. Pamit mau berperang jihad. Makanya saya bilang Surabaya adalah kota petarung,” demikian Anies.@von

Komentar (0)
Tambah Komentar