Bahasa Universal Itu Bernama Matematika

Oleh: Rosdiansyah

SAAT masih kecil sampai remaja, mungkin sebagian besar dari kita alergi pada matematika. Mata pelajaran ini sering jadi momok, apalagi kalau pengajar matematika sangat tidak ramah, bermuka masam, jarang senyum, kurang telaten, minus kreativitas. Maka, lengkaplah penderitaan peserta didik. Mereka merasa tak nyaman dengan materi-materi matematika. Mereka merasa dipaksa memahami rumus-rumus yang dijelaskan pengajar ala kadarnya.

Padahal, matematika sebenarnya bahasa universal. Dimanapun di belahan dunia ini, rumus matematika selalu sama. Tanda tambah atau kurang, dipahami sama. Baik di AS, Eropa, Australia, Asia, Afrika, Amerika Latin, tanda dalam operasi penjumlahan atau pengurangan itu sama. Dipahami sama. Hanya beda dalam pengucapan bahasa saja.

Dalam sejarah umat manusia, matematika lahir 3000 tahun Sebelum Masehi di Sumeria. Saat itu, bangsa Sumeria membutuhkan cara untuk menghitung dalam perdagangan, pengukuran dan berbagai kebutuhan sehari-hari. Matematika lahir untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Setelah bangsa Sumeria, kemudian bangsa Mesir mengembangkan lebih lanjut karena juga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, terutama untuk mengukur tanah usai air Sungai Nil meluap.

Buku ini diterjemahkan dari bahasa Spanyol. Pada bab awal, Raúl Rojas, menjelaskan sejarah panjang simbol-simbol matematika. Aljabar yang telah dikembangkan sedemikian rupa oleh para matematikawan muslim seperti Al Khawarizmi merupakan disiplin yang bukan saja bermanfaat untuk menyelesaikan masalah-masalah keseharian. Namun, melalui simbol-simbol Aljabar, para matematikawan muslim berhasil menyelesaikan persoalan matematis warisan matematikawan sebelumnya, secara sederhana.

Pada beberapa abad sebelumnya, Euklides dari Alexandria dan Diophantus dari Yunani telah melahirkan karya-karya yang kemudian hilang pada abad-abad berikutnya. Adalah para matematikawan muslim yang kemudian menyelamatkan warisan matematikawan Yunani itu. Selama enam ratus tahun era keemasan Islam dari abad ke-8 sampai abad ke-13, tulis Raúl Rojas, orang-orang Arab menyerap warisan peradaban dan pengetahuan Babilonia, Mesir, Yunani dan Romawi. Wabil khusus, pengetahuan matematika.

Bahkan lebih dalam, para matematikawan muslim mengembangkan sistem desimal serta berbagai metode penyelesaian masalah-masalah Aljabar dan kalkulasi rumit. Pemahaman sederhana, logis dan argumentatif dari para matematikawan muslim sangat membantu para sarjana Eropa pada abad-abad berikutnya untuk melanjutkan penemuan-penemuan baru. Ditegaskan Rojas, nama ”Aljabar” sendiri diambil dari nama kitab yang ditulis Al Khawarizmi. Dan nama Al Khawarizmi diabadikan dalam disiplin komputasi hingga saat ini, yaitu Algoritma. Algoritma adalah sebutan lidah Eropa pada nama Al Khawarizmi.

Kitab karya Al Khawarizmi memperoleh perhatian istimewa dari Rojas karena kitab itu seperti buku manual perhitungan. Buku ini, urai Rojas, diterjemahkan ke dalam bahasa Latin pada tahun 1145. Judul terjemahannya menjadi Liber algebrae et al mucabola. Melalui buku ini kemudian Aljabar dikenal sebagai disiplin matematika yang spesifik mengkaji berbagai operasi perhitungan.

Meskipun matematikawan Yunani, Diophantus, juga melahirkan karya berisi perhitungan-perhitungan rumit. Namun, karya Diophantus ini kurang bermanfaat untuk menyelesaikan persoalan sehari-hari yang dihadapi warga biasa. Karya Diophantus tak berdampak pada keseharian warga. Sehingga, karya Diophantus kalah populer dibanding karya Al Khawarizmi di daratan Eropa selama berabad-abad.

Dalam sebuah konferensi di Buenos Aires, Argentina, pada 1977, sastrawan kondang Jorge Luis Borges mengatakan kekagumannya pada kisah 1001 malam. Ia menjelaskan sejarah ringkas bagaimana kitab tersebut lahir. Sangat mengesankan, karena kisah-kisah dalam 1001 malam berawal dari India, lalu masuk Persia, selanjurnya tersebar ke wilayah Asia Minor. Lantas, kisah-kisah itu dikompilasi di Kairo. Menurut Rojas, Borges yang suka matematika mungkin melihat kisah 1001 malam setara dengan kisah ajaib Al Khawarizmi.

Sejarah matematika meliputi tiga periode. Pertama, periode retoris, yakni ketika ekspresi matematis bukan dalam bentuk rumus, melainkan dalam frasa, kalimat atau narasi. Ekspresi ini kemudian dituangkan dalam rumus-rumus atau anotasi. Itu periode kedua. Memasuki abad pertengahan di Eropa, muncul berbagai simbol matematis yang kemudian menjadi kosa kata matematis yang baru. Inilah periode modern dari matematika yang dipenuhi simbol. Pemecahan persoalan-persoalan sehari-hari di berbagai bidang disiplin memakai simbol matematis.

Pada tahun 2002, matematikawan Rusia, Natasha Kondratieva, mengirim surat ke sejumlah matematikawan beken seluruh dunia. Ia menanyakan kepada mereka ihwal rumus matematika yang indah. Jawaban terbanyak yang diterima Kondratieva menyebut, para matematikawan kesengsem pada rumus Phytagoras dan rumus Euler. Kedua rumus ini memang menjadi bahasa universal untuk menunjukkan ketepatan bukan saja dalam perhitungan, namun juga dalam bentuk geometris.

Ala kulli hal, matematika menjadi mengasyikkan jika diketahui sejarahnya. Tanpa mengetahui sejarah, maka matematika hanya menjadi kumpulan rumus bak topeng horor. Sebaliknya, jika diketahui sejarahnya, lalu ditarik makna di balik rumus-rumus yang ada, maka bahasa matematika setidaknya akan menjadi agak mudah terpahami.@

*) Penulis adalah akademisi