Peneleh, Laboratorium dan Museum Hidup Arsitektur Surabaya

Keragaman rumah rumah lama ini tidak hanya pada usianya atau era pembangunannya, tapi juga pada model dan arsitekturnya. Tidak ketinggalan juga memperhatikan siapa orang orang yang tinggal di kawasan itu.

REKAYOREK.ID Kamis, 20 April 2023, tepat di hari jadiku, kusempatkan mengunjungi sisi lain kawasan kelurahan Peneleh Surabaya. Jelajah sejarah ini mengakhiri bulan Ramadhan, yang pada hari Jumat, 21 April 2023, sebagian umat Islam sudah ada yang melaksanakan Sholat Ied. Hari Raya.

Jelajah sejarah mandiri di kawasan selatan kelurahan Peneleh ini berdua bersama Yayan Indrayana yang dalam Perkumpulan Begandring Soerabaia menduduki posisi sebagai sekretaris. Dalam keseharian, profesinya adalah seorang arsitek.

Kami berdua selama ini sudah pernah keluar masuk kampung kampung di kawasan selatan kelurahan Peneleh, tapi belum secara khusus fokus memperhatikan rumah rumah lama yang masih berdiri hingga 2023. Kawasan selatan kelurahan Peneleh adalah kampung Plampitan. Kali ini kami sengaja berkeliling untuk mengamati rumah rumah kuno di kawasan ini.

Ternyata, dari pengamatan lapangan, keragaman rumah rumah lama ini tidak hanya pada usianya atau era pembangunannya, tapi juga pada model dan arsitekturnya. Tidak ketinggalan juga memperhatikan siapa orang orang yang tinggal di kawasan itu.

Keragaman ini penting karena bisa menjadi obyek obyek penelitian dan pendidikan bagi masyarakat, utama nya para mahasiswa arsitektur maupun sipil. Karena keragaman itulah, sesungguhnya kawasan ini bisa dianggap sebagai sebuah laboratorium dan museum hidup arsitektur.

Dalam penjelajahan yang sekaligus ngabuburit pada hari terakhir bulan Ramadhan 1444 H, kami berdua seolah diberi hadiah karena bisa menyaksikan keragaman rumah rumah lama di kawasan itu dan sekaligus menarik kesimpulan berdasarkan pengamatan pada keragaman rumah dengan model dan gaya arsitekturnya.

Kami menyimpulkan bahwa kawasan Plampitan, yang merupakan bagian dari kurahan Peneleh, adalah sebuah laboratorium dan museum arsitektur hidup. Di sana tersimpan artefak rumah rumah lama yang bersifat in situ mulai dari abad 20 hingga mundur ke belakang abad 18.

Karenanya, kawasan ini layak menjadi daerah tujuan wisata arsitektur kuno. Kalau toh ada yang dibilang arsitektur moderen, itu karena ada gaya arsitektur yang muncul di pertengahan abad 20.

Belum Cagar Budaya

Pada akhir Maret 2023, ada tim aksesor Bank Indonesia yang datang meninjau perkampungan di lingkungan kelurahan Peneleh, tepatnya di Kampung Pandean. Mereka melihat secara langsung sebagian kecil rumah rumah kuno dalam berbagai model dan gaya arsitektur.

“Apakah rumah rumah ini sudah ditetapkan sebagai cagar budaya?”, tanya Lia salah seorang aksesor BI.

Kebetulan saya ikut mendampingi mereka keluar masuk kampung Panden dan saya jawab jika secara individu belum ada penetapan.

Kalau toh kampung kampung di kawasan Peneleh ini telah dikategorikan sebagai kawasan cagar budaya, tapi nyatanya, ada beberapa rumah lama yang pada akhirnya dibongkar dan dibangun rumah rumah baru.

“Sayang kalau sampai ada pembongkaran rumah rumah lama di kawasan ini”, keluh Lia.

Ia berharap ada kebijakan yang jelas dan tegas mengenai perlindungan atas rumah rumah lama yang menyimpan dan memiliki nilai nilai pendidikan, penelitian, ilmu pengetahuan, kebudayaan dan pariwisata bagi publik.

Menurut Yayan Indrayana, sekretaris Begandring Soerabaia, yang sore itu jajah kampung milangkori, mengatakan bahwa kawasan Peneleh ini sudah ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya, tapi tidak mencakup semuanya.

“Cuman ndak semua kawasan sudah ditetapkan, rodok aneh batas deliniasinya”, kata Yayan yang berprofesi sebagai arsitek itu.

Lia, aksesor Bank Indonesia ketika melihat lihat kampung, mengatakan perlu ada penetapan tegas sebagai upaya perlindungan atas potensi ini.

Potensi ini akan semakin terlihat jika kemudian potensi itu dikuatkan dengan dijadikannya kawasan itu sebagai laboratorium dan museum hidup arsitektur. Dengan demikian kawasan itu menjadi daya tarik yang dapat dikunjungi tamu tamu.

Retno Hastijanti, dosen arsitektur Universitas Tujuhbelas Agustus (Untag) Surabaya telah berkoordinasi dengan Begandring Soerabaia tentang agenda penelitian lapangani oleh 50 mahasiswa arsitektur Untag di daerah Peneleh.

Ini menjadi langkah kongkrit dalam membangun pemahaman publik, termasuk pemerintah Kota Surabaya akan aset bersejarah dan budayanya di lingkungan kawasan Peneleh.

Rumah simetris pada tampak depan. Foto: nanang

 

Retno Hastijanti sebagai dosen arsitektur, yang menjabat dekan di Untag Surabaya dan ketua Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) kota Surabaya, menjadikan kampung kampung di lingkungan kelurahan Peneleh sebagai obyek penelitian arsitektur mahasiswa nya. Diharapkan kegiatan akademik ini bisa membantu mempertegas keberadaannya sebagai kawasan cagar budaya.

Dengan penelitian oleh mahasiswa arsitektur Universitas 17 Agustus (Untag) Surabaya ini akan didapat hasil positif yang selanjutnya bisa menjadi dasar pengembangan kawasan Peneleh yang berbasis sejarah, budaya dan ekonomi.

Saat ini pemerintahan Kota Surabaya memang sedang dalam tahapan upaya mengembangkan kawasan Peneleh. Pada kesempatan sebelumnya Asisten II bidang Perekonomian dan Pembangunan Kota Surabaya, Irvan Widyanto, memimpin rapat bersama jajaran pemkot terkait mengenai upaya pengembangan Peneleh.

Selanjutnya jajaran terkait menindaklanjutinya bersama mitra Bank Indonesia melakukan asesmen sebagai langkah awal upaya pengembangan itu. Pada kesempatan itu tim aksesor Bank Indonesia melakukannya kunjungan lapangan ke kampung kampung.

Tim aksesor Bank Indonesia berharap ada deliniasi yang jelas atas kawasan cagar budaya. Jelas dan tidaknya ini juga perlu dipahami warga, utama nya yang menempati rumah rumah lama yang memiliki potensi edukasi, ilmu pengetahuan, dan penelitian.

Keragaman Arsitektur

Kawasan Peneleh ini bisa dibilang sebagai surga arsitektur klasik Surabaya. Di lingkungan kampung Plampitan saja, utamanya yang sempat kami jelajahi pada Kamis, 20 April 2023 di saat ngabuburit (kegiatan menunggu datangnya berbuka puasa), ditemui beragam arsitektur klasik mulai dari model dan arsitektur pada pertengahan abad 20 hingga ke belakang ke model model yang umum ditemui pada abad 18.

Rumah arsitektur Kolonial moderen. Foto: nanang

 

Ada tiga masa (zaman) arsitektur dengan variasinya di kampung Plampitan gang X, XI dan XII Surabaya. Tentu ketiga gang ini hanya sebagian dari kampung kampung yang ada di wilayah kelurahan Peneleh. Selain kampung Plampitan, juga ada kampung Peneleh, Pandean, Lawang Seketeng, Jagalan, Grogol, Undaan Peneleh, Klimbungan dan Polak Wonorejo. Semua kampung kampung ini memiliki rumah rumah berarsitektur klasik.

Kita fokus saja ke kampung Plampitan gang X, XI dan XII. Identifikasi rumah rumah tertua dilakukan berdasarkan pengamatan gaya arsitektur nya.

Rumah Abad 18

Rumah ini umum ada pada tahun 1700-an. Bentuk rumahnya sederhana. Dari depan tampak simetris. Bentuk atapnya berupa pelana yang menjulang tinggi dengan kemiringan yang ekstrim ke depan dan ke belakang. Sementara sisi kiri dan kanan berupa dinding segitiga yang tampak meruncing ke atas. Pada ujung atas dinding ini terdapat hiasan berbentuk kotak yang disebut piron (Emile Leushuis).

Model pelana lancip ini memiliki banyak kelebihan antara lain pengerjaannya relatif cepat karena konstruksinya sederhana. Bahan yang diperlukan untuk membuat model atap ini juga lebih sedikit sehingga lebih murah dari segi biaya. Model pelana memiliki risiko bocor yang kecil karena air hujan akan langsung mengalir ke bawah.

Rumah beratap pelana dengan kemiringan ekstrim dan bermahkota piron menjadi ciri rumah dari abad 18. Foto: nanang

 

Model ini menggambarkan bahwa mereka kala itu di abad 18 masih belum memiliki orientasi arsitektur yang rumit. Model ini awalnya dibangun di lingkungan kota bertembok Surabaya dan mereka meniru model rumah rumah pribumi yang masih terbuat dari struktur kayu. Mereka kemudian membangun menggunakan struktur batu bata (bertembok).

Di kawasan Peneleh, kawasan perumahan warga pribumi, kemudian meniru model dan gaya arsitektur rumah berpelana lancip dan berhias piron ala Eropa di kota bertembok (walled town) Surabaya.

Rumah Abad 19

Gaya rumah dari abad 19 ini umum disebut Arsitektur Indische Empire Style dan gaya ini diperkenalkan oleh Herman Willen Daendels saat bertugas sebagai Gubernur Jendral Hindia Belanda (1808-1811).

Indische Empire Style (gaya Imperial) sebenarnya merupakan gaya arsitektur yang mulai berkembang pada akhir abad ke-18 sampai akhir abad ke-19.

Munculnya gaya tersebut akibat percampuran kebudayaan Belanda, Indies dan sedikit kebudayaan China. Ciri-ciri bangunannya adalah pertama; denah berbentuk simetris. Terdapat satu pintu di tengah dan dua jendela di samping kiri dan kanan pintu.

Rumah bergaya Indies Empire dengan ciri pilar pilarnya dari abad 19. Foto: nanang

 

Begitu masuk rumah, di sana terdapat ruang tamu selebar bangunan. Lalu pada ruang tengah bangunan terdapat ruang utama yang terdiri dari kamar tidur utama dan kamar tidur lainnya. Masih terdapat ruang belakang yang terhubung dengan halaman belakang.

Sementara teras depan, bagian atapnya ditopang oleh barisan kolom yang bergaya Yunani (Doric, Ionic dan Corinthian). Di abad 19, hampir semua bangunan di kota Eropa Surabaya berarsitektur Empire.

Namun di luar dari batas tembok kota ini, terutama di perkampungan Peneleh, bangunan bangunan bergaya empire menghiasi perkampungan. Tentu yang bisa membangun rumah bergaya empire ini adalah mereka dari kalangan orang kaya dan bangsawan pribumi.

Terbukti di beberapa rumah terdapat nama nama dengan gelar Raden, baik Raden Mas maupun Raden Ayu. Termasuk makam makam tua dengan inskripsi R.A. dan Raden. Bahkan kami, sempat bertemu ibu ibu (81 tahun) di Plampitan X yang menyandang gelar kebangsawanan Jawa, Raden Ayu.

Rumah Moderen Abad 20

Rumah dan bangunan dari abad 20 menambah varian arsitektur di kampung Plampitan. Arsitektur kolonial modern yang menghiasi kampung Plampitan ini merupakan sebuah bentuk protes yang dilontarkan oleh arsitek Belanda setelah tahun 1900 atas gaya Empire Style.

Menurut Handinoto dalam buku “Arsitektur dan Kota-Kota di Jawa pada masa Kolonial”, Graha Ilmu, Yogyakarta (2012), bahwa arsitek Belanda yang berpendidikan akademis mulai berdatangan ke Hindia Belanda, mereka mendapati suatu gaya arsitektur yang cukup asing, karena gaya arsitektur Empire Style yang berkembang di Perancis tidak mendapatkan sambutan di Belanda.

Arsitektur kolonial moderen abad 20. Foto: nanang

 

Model arsitektur nya memasukkan unsur-unsur yang terutama dirancang untuk mengantisipasi matahari dan hujan. Ciri-ciri bangunannya adalah, denah lebih bervariasi sesuai kreatifitas dalam arsitektur modern, namun bentuk simetri banyak dihindari, dan memiliki teras yang nyaman untuk sosialisasi. Bagian atap berbentuk pelana limasan.

Bahkan pada pasca kolonialisme, bangunan bangunan dengan identitas Indonesia juga bermunculan di sana. Menurut Yayan Indrayana, para arsitek Indonesia pada saat itu mencari bentuk tersendiri, ynag selanjutnya disebut arsitektur jengki.

Keberagaman arsitektur ini dapat dijumpai di Plampitan. Tentu masih ada lagi lainnya di kampung kampung di wilayah kelurahan Peneleh.

Terlalu sayang jika kekayaan arsitektur yang memang ada di Peneleh ini dibiarkan berlalu tanpa ada sikap untuk memanfaatkannya demi tujuan tujuan pendidikan, ilmu pengetahuan, penelitian, kebudayaan dan pariwisata.@Nanang

Komentar (0)
Tambah Komentar