Salah Kaprah, Motto Sura ing Baya Bukan Hiu dan Buaya

Diduga kuat karena ada kemiripan ejaan pada nama binatang “buaya” dan kata “baya” (bahaya), maka digeneralisasi bahwa “buaya” adalah “baya”. Sedangkan “hiu” diterjemahkan “Sura”. Akhirnya, digeneralisasi bahwa “Soera ing Baya” adalah “Sura baya” dan jadilah Surabaya. Padahal tidak begitu.

REKAYOREK.ID “Sura ing Baya” adalah spirit dan semangat Kota Surabaya yang sudah terwariskan dari generasi ke generasi dan oleh karena itu motto, yang mengandung nilai nilai luhur ini, pantas dilestarikan dan dimajukan sebagaimana amanahkan Undang Undang 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.

Begandring Soerabaia sebelumnya pernah menulis cerita tentang logo kota Surabaya, yang bergambar ikan hiu dan buaya. Selain itu, juga diberitakan bahwa kota Surabaya adalah kota yang tidak memiliki motto.

Umumnya, motto tersematkan pada logo suatu daerah baik di tingkat kota/kabupaten, propinsi maupun negara. Indonesia misalnya memiliki motto “Bhineka Tunggal Ika”, yang artinya berbeda beda tetapi tetap satu. Propinsi Jawa Timur juga memiliki moto “ Jer Basuki Mawa Bea” yang artinya cita-cita hanya dapat dicapai dengan pengorbanan.

Lantas, bagaimana dengan kota Surabaya?

Surabaya sungguh tidak memiliki motto. Terbukti pada lambang kota yang bergambar binatang ikan hiu dan buaya serta tugu pahlawan, tidak tertulis adanya moto kota. Padahal motto atau semboyan merupakan spirit, semangat, atau pedoman yang menjadi pendorong dalam mencapai tujuan.

Logo Kota Surabaya sekarang tanpa motto. Foto: ist

 

Motto umumnya tersematkan pada logo daerah yang dimaksudkan agar spirit, semangat dan semboyan itu mudah dilihat dengan tujuan untuk senantiasa mengingatkan warganya akan nilai nilai dasar yang dimiliki untuk menggerakkan pembangunan daerahnya.

Karena merasa penasaran, kemudian penulis melakukan pencarian dengan mengunjungi laman http://www.idezia.com/2016/10/Logo.Kabupaten.Kota.di.Provinsi.Jawa.Timur.html?m=1.

Memang benar, di antara daerah daerah lain di Jawa Timur, Surabaya adalah kota tanpa motto.

Jika membuka lembar sejarah kota Surabaya, ternyata ketika masih di era Hindia Belanda kota Surabaya memiliki motto yang berbunyi “Soera ing Baia” (ejaan lama). Ejaan barunya “Sura ing Baya” yang artinya berani menghadapi tantangan dan bahaya.

“Berani menghadapi tantangan dan bahaya” adalah spirit dan semangat yang sebenarnya telah teruji dan menjadi bagian dari jiwa rakyat Surabaya dari masa ke masa. Spirit arek arek Surabaya yang berani mati dalam menghadapi Sekutu dalam perang kemerdekaan pada 1945 adalah nyata.

Berbagai semboyan kemerdekaan “merdeka atau mati” dan “lebih baik mati daripada dijajah kembali” adalah semboyan untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Semboyan semboyan itu adalah refleksi dari motto berani menghadapi tantangan dan bahaya.

Soera ing Baia (Sura ing Baya) Secara Harafiah Tidak Berarti Surabaya

Adalah salah kaprah atau sesuatu yang salah atau kurang tepat tapi dianggap benar. Pandangan salah kaprah ini yang diduga telah menyebabkan motto “Soera ing Baia” dihilangkan dari logo Surabaya.

Secara formal logo Surabaya, yang bergambar binatang berupa ikan hiu dan buaya ini, muncul pada era desentralisasi di era Hindia Belanda.

Dalam buku “25 Jaren Decentralisatie in Nederlandsch – Indie 1905-1930”, terpampang logo kota Surabaya yang bergambar ikan hiu dan buaya. Logo ini hadir bersama logo kota kota lain yang menjadi daerah otonom.

Sementara nama Surabaya sendiri sebenarnya sudah ada jauh sebelum ada penetapan logo resmi kota Surabaya yang bergambar ikan hiu dan buaya pada 1906. Nama Surabaya sudah ada sejak 1358 M berdasarkan prasasti Canggu dengan ejaan Curabhaya setelah ditranskrip dari bahasa Jawa Kuna.

Ketika pemerintah Hindia Belanda membuat logo logo daerah berdasarkan kondisi geografis dan alami, maka gambar gambar logo yang umumnya bergambar alam dan binatang disesuaikan dengan kondisi geografis dan alami di daerah masing masing.

Kota Surabaya, yang berada di daerah pesisir, dilambangkan dengan binatang ikan hiu sebagai ilustrasi alami laut dan binatang buaya sebagai ilustrasi daratan. Maka jadilah logo kota yang bergambar ikan hiu dan buaya dengan motto “Soera ing Baia” (Sura ing Baya) yang artinya berani menghadapi bahaya.

Diduga kuat karena ada kemiripan ejaan pada nama binatang “buaya” dan kata “baya” (bahaya), maka digeneralisasi bahwa “buaya” adalah “baya”. Karena dasar pemikiran itulah “buaya” = “baya”, maka dengan mudahnya ikan “hiu” diterjemahkan “Sura”. Akhirnya, digeneralisasi bahwa “Soera ing Baya” adalah “Sura baya” dan jadilah Surabaya.

Padahal motto “Sura ing Baya” merupakan bahasa Jawa Kuna yang berarti berani menghadapi bahaya.

Secara harafiah, “Soera” bukanlah berarti “Hiu” dan ”Baya” juga bukan berarti “Buaya”. Tetapi “Sura ing Baya” berarti berani menghadapi bahaya, yang menjadi motto kota Surabaya yang logonya bergambar binatang ikan hiu dan buaya.

Menurut Von Faber, penggunaan gambar binatang ikan dan buaya mulai dikenal di Surabaya pada pertengahan abad 19 (tahun 1850-an). Penggunaan gambar binatang ikan dan buaya sebetulnya sudah dikenal oleh orang Belanda di Surabaya sebagai bentuk kenangan pada tanah air mereka karena di Belanda hewan hewan sering digunakan sebagai tanda peringatan.

Komparasi Dengan Daerah Lain

Ada daerah lain seperti Kota Pasuruan dengan motto “Sura Dira Satya Pati”, yang berarti Berani Teguh Hati dan Setya kepada pimpinan Negara dan Agama.

“Sura” dalam motto Kota Pasuruan ini berarti “berani”, seperti halnya kata “Sura” dalam motto yang pernah dimiliki kota Surabaya.

Logo Kota Pasuruan dan moto “Sura Dira Satya Pati”. Foto: ist

 

Selain Kota Pasuruan yang memiliki kesamaan kosa kata dalam moto, Kota Kediri juga memiliki motto yang hampir sama dengan motto yang pernah dimiliki kota Surabaya.

Jika kota Surabaya pernah memiliki moto yang berbunyi “Sura ing Baya”, maka Kota Kediri memiliki moto “Djaja ing Baja” (Jaya ing Baya).

Ada kesamaan kata “Baya” pada motto kota Surabaya dan Kota Kediri. Kata “Baya” sama sama berarti bahaya atau tantangan.

Arti motto Kota Kediri “Jaya ing Baya” adalah Mengalahkan Marabahaya.

Logo Kota Kediri. Foto: ist

 

Sekarang kembali lagi ke motto yang pernah dimiliki kota Surabaya yang berbunyi “Sura ing Baya”. Mengapa kata “Sura” diartikan ikan hiu dan apalagi dengan pemaksaan pemaknaan bahwa “Sura” adalah “ikan Sura”. Padahal tidak ada hewan yang bernama ikan sura.
Kemudian kata “Baya”, yang secara harfiah berarti “bahaya atau marabahaya”, kok juga diartikan “Buaya”. Apa karena ada kesamaan bunyi pada kata “baya” dan “buaya”, lantas dengan mudah diartikan sama bahwa “baya” adalah “buaya “.

Diduga karena penerjemahan dan anggapan yang salah inilah yang menjadikan motto kota Surabaya “Sura ing Baya” diartikan Surabaya. Kemudian motto “Sura ing Baya” dihilangkan.

Mungkin karena nama kota “Surabaya” dan motto kota “Sura ing Baya” dianggap sama secara alfabetikal, maka motto “Sura ing Baya” dihilangkan. Andai nama kota dan logo tidak sama, mungkin moto Surabaya masih tersematkan disana. Kita bandingkan dengan nama kota “Kediri” dengan motto “Joyo ing Boyo”.

Padahal nama Surabaya sendiri bukan berasal dari lambang binatang ikan hiu dan buaya. Nama Surabaya sudah ada sebagaimana tertulis pada prasasti Canggu (1358), yakni “Curabhaya” yang kemudian dalam pelafalan dituliskan Surabaya.

Selain itu nama Surabaya juga diketemukan dalam kitab Negara Kertagama, yang ditulis Prapanca di era raja Hayam Wuruk (1350-1389), tepatnya pada 1365 dalam pupuh 17 (seloka 5, bait terakhir), yang berbunyi “yang ring Jenggala lot sabbanrpati ring Surabaya manulus maring Buwun” yang artinya ketika raja berada di Jenggala, selanjutnya dia singgah di Surabaya lalu meneruskan perjalanan menuju Buwun.

Awal Motto dan Logo Surabaya

Menurut GH Von Faber dalam “Oud Soerabaja”, dituliskan bahwa motto “Sura ing Baya”, yang berarti “berani menghadapi bahaya” berasal dari kisah adanya pendirian sebuah benteng pertahanan yang dibangun pada lokasi pertemuan Kalimas dan Kali Pegirian (Delta: kawasan Peneleh Pandean), yang dimaksudkan sebagai perlindungan dalam menghadapi atau menghalau bahaya.

Pernah adanya sebuah benteng di kawasan ini dapat diidentifikasi adanya kampung yang bernama “Grogol” yang mana grogol berarti benteng perlindungan.

Karena benteng ini dianggap sangat efektif untuk digunakan menghadapi musuh dan bahaya maka benteng itu dinamakan “Sura ing Baya” (GH Von Faber: Oud Soerabaia). Di balik fisik benteng, tersimpan nilai semangat dan keberanian.

Sementara, logo dengan gambar ikan dan buaya mulai muncul ketika gambar ini digunakan pada sebuah judul halaman berita di sebuah majalah mingguan “Soerabajasch Weekblad” (1849) dan koran “De Narvorscher” (1855) yang beredar di Surabaya.

Pada perkabaran ini dituliskan “Pada suatu lambang peringatan yang sangat langka, yang di cetak sehubungan dengan perayaan 10 tahun keberadaan yayasan musik Santa Cecelia (1848-1858) di Surabaya, maka muncul sebuah lambang perisai panjang berwarna biru dimana seekor ikan dengan paruh runcing berenang ke sisi kanan dan seekor hewan melata dengan paruh lebar terbuka (buaya) ke sisi kiri. Di atasnya sebuah karangan bunga seperti lambang Batavia tetapi di antara keduanya terdapat sebuah anak tangga suatu bangunan.

Saatnya Mengembalikan Motto Surabaya pada Logo Surabaya

Berangkat dari data dan fakta di atas, maka saatnya mengembalikan dan menggunakan kembali motto kota Surabaya, yang sarat akan nilai nilai luhur, yang sebenarnya telah terwariskan dari waktu ke waktu dan dari generasi ke generasi dan bahkan masih sangat relevan menjadi semangat, spirit dan pedoman untuk masa sekarang dan mendatang.

Moto “Sura ing Baya” secara harafiah memiliki makna tersendiri yang berarti berani dalam bahaya. “Sura ing Baya” bukan berarti Surabaya.

Surabaya juga bukan berarti ikan hiu dan binatang buaya. Gambar ikan hiu dan buaya hanyalah sebuah perlambang untuk kota yang bernama Surabaya.

Adalah sudah menjadi kebiasaan orang orang Belanda yang sering dan terbiasa menggunakan gambar gambar hewan sebagai lambang lambang daerah seperti yang terjadi di negara Belanda.

Moto “Sura ing Baya” sendiri mengandung nilai nilai luhur yang harus dilestarikan dan dimaknai dalam kehidupan. Nilai nilai luhur ini harus dimajukan karena makna yang terkandung di dalamnya merupakan bagian dari kebiasaan, adat istiadat setempat yang harus dimajukan.

Pemajuan nilai nilai budaya (kebudayaan) ini sesuai dengan Undang undang 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.

“Sura ing baya” sendiri juga menjadi ekspresi nilai nilai kejuangan dan kepahlawanan kota Surabaya karena disana terdapat upaya keras dalam meraih tujuan yang didasari oleh jiwa jiwa patriotisme dan pantang menyersh. Sifat sifat ini sudah ditunjukkan oleh para pejuang kemerdekaan dalam meraih dan mempertahankan kemerdekaan.

Menyematkan motto “Sura ing baya” pada logo kota Surabaya adalah upaya pelestarian nilai nilai luhur.

Bonek (Bondo Nekad) adalah Sura ing Baya

Tidak asing dengan istilah “Bonek” yang merupakan akronim “Bondo Nekad” (bermodal nekad atau berani). Istilah ini muncul sebagai sebutan suporter klub sepak bola kesayangan warga Surabaya, Persebaya.

Bonek mengandung arti berani total dengan penuh semangat. Dalam arti positif bonek adalah spirit dan semangat yang dimiliki oleh arek arek Surabaya dalam meraih suatu tujuan.

Demi mendukung klub kesayangannya, mereka berani nekad berangkat ke stadion meski lokasinya jauh dan mereka tidak punya uang. Mereka bermodal nekad berangkat ke stadion.

Dalam konteks tersebut bahwa Bonek berarti berani menghadapi tantangan (bahaya). Esensinya Bonek sama dengan Sura ing Baya. Maka untuk sebuah motto resmi kota Surabaya, tentu “Sura ing Baya” adalah yang lebih pantas.

“Sura ing Baya” adalah spirit dan semangat Kota Surabaya yang sudah terwariskan dari generasi ke generasi dan oleh karena itu moto, yang mengandung nilai nilai luhur ini, pantas dilestarikan dan dimajukan sebagaimana amanahkan Undang Undang 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.[]

*) Artikel ini dipublikasikan komunitas Begandring Soerabaia

Begandring Soerabaialogo surabayamotto surabaya