Sesepuh Made Mbah Seniman Bercerita Soal Kepahlawanan Darmosugondo

Darmosugondo adalah orang yang suka bersemedi. Mbah Man bercerita saat itu usianya yang masih belasan tahun pada masa perang kemerdekaan. Dan ia menyaksikan bahwa Darmosugondo bersemedi di punden Singojoyo.

REKAYOREK.ID Mbah Seniman atau yang sering dipanggil Mbah Man (89) adalah sesepuh Desa (kelurahan) Made, Kecamatan Sambikerep, Surabaya Barat. Pada setiap gelaran tradisi Bersih Desa yang umumnya diramaikan dengan arak-arakan ancak berisi hasil bumi, olah raga tradisional Gulat Okol, wayangan, campur sari, ludruk, tayub dan open house, Mbah Man tidak pernah luput dari tradisi itu.

Mbah Man selalu gembira melihat keceriaan warga sebagai perwujudan syukur mereka kepada Tuhan YME atas limpahan hasil bumi yang menghidupi.

Namun, di balik kegembiraan mbah Man, ternyata tersimpan kegelisahan yang berpuluh puluh tahun lamanya ia rasakan.

Sebagai sesepuh desa, Mbah Man menjadi jujugan banyak pihak yang ingin mengetahui sejarah Desa Made. Namun sayang, hampir semuanya lebih menanyakan tentang tradisi lokal yang selama ini ada di Kelurahan Made. Mbah Man pun melayani mereka dengan menjawab dan menjelaskan sesuai dengan pertanyaan yang diajukan.

Di sela sela menjawab pertanyaan itu, tidak jarang Mbah Man menyisipkan cerita tentang sejarah perjuangan dan kepahlawanan yang pernah terjadi di Desa Made pada 1945. Tetapi sisipan cerita Mbah Man tidak bersambut.

Lagi lagi cerita Mbah Man kembali ke cerita tradisi dan kisah Singojoyo yang menjadi latar belakang sejarah desa (kelurahan) Made.

Klise cerita tentang Desa Made ini terjadi selama bertahun tahun. Selama bertahun-tahun tahun itu pula, Mbah Man gagal menyampaikan isi hati dan pikirannya tentang peristiwa kejuangan dan kepahlawanan warga Made ketika melawan penjajah. 47 tahun bukan waktu yang sebentar.

Hampir setengah abad, terhitung dari 1975 hingga 2022. Ketika mendapat kunjungan dari Begandring Soerabaia pada Sabtu (5/2/2022), Mbah Man baru bisa mengeluarkan unek-uneknya. Yaitu menceritakan kisah kejuangan dan kepahlawanan rakyat Desa Made yang dipimpin oleh Darmosugondo.

Semangat, Pekik Merdeka, Tangisan Hingga Pingsan Berbaur Jadi Satu

Sabtu petang menjelang maghrib (5/2/22) tim Begandring Soerabaia, yang didampingi oleh Joko (keponakan) Mbah Man, berkunjung ke kediaman Mbah Man di Gondosari, Made Timur.

Dari awal pembicaraan, Mbah Man langsung merasa senang karena akhirnya bisa bertemu dengan orang orang yang memiliki minat menggali sejarah Made. Tidak hanya sejarah tradisi tapi juga sejarah perjuangan.

Mbah Man pun sangat bersemangat ketika bercerita. “Lho, sampean kok takon koyok ngono. Awak dewe iki gak janjian (Lho anda kok ya bertanya seperti itu. Kita ini tidak janjian bicara seperti ini),” kata mbah Man kepada tim Begandring Soerabaia.

Saking gembiranya, Mbah Man tidak sekedar bersemangat dalam bercerita, pekik merdeka pun ia ucapkan dengan disertai kepalan tangan ke atas. Ia juga menangis hingga pingsan di kursi.

“Aku yo lagek sak iki iso cerito ngene. Sak durunge nang wong liyo yo tau cerito, tapi gak nyambung,” jelas Mbah Man yang artinya bahwa baru kali ini ia bisa bercerita seperti ini.

Mbah Man menangis saat bisa melampiaskan unek-uneknya. Foto: nanang

 

Sebelumnya ia pernah bercerita ke pihak lain tapi tidak bersambut.

Untuk mendukung cerita cerita kepahlawanan yang terjadi, ia menunjukkan petilasan petilasan para pejuang, yang ada di sekitar desa, yang salah satunya adalah di punden Singojoyo. Yaitu punden yang selama ini menjadi pusat kegiatan ritual bersih desa.

Menurut Mbah Man bahwa di sekitar punden Singojoyo sebenarnya dulu pernah ada obyek semedi, yang secara fisik terbuat dari batu bata dengan bentuk berundak memuncak membentuk sebuah gunungan.

Sementara menurut A. Zaki Yamani, pegiat sejarah Begandring, Darmosugondo adalah orang yang suka bersemedi. Mbah Man lalu menimpali bahwa di usianya yang masih belasan tahun pada masa perang kemerdekaan, ia menyaksikan bahwa Darmosugondo bersemedi di punden ini.

Buku “Riwayat Perjuangan dan Batalyon Darmosugondo” menyebut bahwa Darmosugondo berada di Desa Made karena ia adalah menjadi komandan Komando Distrik Militer (KDM) Surabaya, yang berkedudukan di desa Made pada era Perang Revolusi.

Karena obyek struktur bangunan berundak memuncak seperti gunungan dianggap sebagai saksi bisu ritual Darmosugondo dalam aksi gerilyanya, obyek ini kemudian dijadikan sebuah tetenger kepahlawanan sehingga menjadi “tugu peringatan” kepahlawanan.

Menurut Mbah Man, tugu ini mengalami beberapa kali perbaikan, yang dilakukan oleh keluarga Darmosugondo. Perbaikan terakhir dilakukan oleh keturunan Darmosugondo pada tahun 1975.

Menurut Mbah Man, perbaikan terakhir ini (1975) telah merubah bentuk struktur bangunan. Kala itu tujuannya untuk mempermudah penyelesaian perbaikan atau renovasi.

Kemudian renovasi renovasi berikutnya dilakukan oleh warga Made secara swadaya sehingga terbangun lah sebuah pendopo dengan petilasan di dalam sebuah ruang gan tertutup.

Menurut Joko Hadi bahwa di dalam ruang terdapat sebuah tombak yang berdiri di atas sebuah struktur batu. (Tim Begandring belum sempat melihat secara langsung). Akhirnya, dari beberapa kali perbaikan tetenger, hilanglah struktur tetenger itu baik yang bersifat arkeologis maupun heroisme.

Punden Singojoyo berbalut merah putih. Foto: nanang

 

Ketika bentuk tetenger kepahlawanan yang diduga sebelumnya berbentuk struktur punden sudah semakin kabur, maka mbah Man semakin kesulitan menjelaskan kepada publik pernah adanya nilai nilai kejuangan dan kepahlawanan di desa Made. Apalagi orientasi masyarakat terfokus pada tradisi bersih desa dan sejadah nama Made yang bersifat Hinduisme.

Kepada sang cucu Joko dan tim Begandring Soerabaia, mbah Man berpesan agar nilai nilai kejuangan dan kepahlawanan rakyat Made dapat diceritakan dan disimbolisasikan dalam bentuk kegiatan sehingga generasi penerus mengenal sejarah perjuangan pada masa perang revolusi.

Made, Tradisi dalam Himpitan Modernisasi

Desa/kelurahan Made masih sangat alami. Meski sudah terhimpit oleh komplek perumahan mewah dan moderen, Made tetap bertahan dengan perisai tradisi dan alamnya. Alam Made sangat kontras dengan alam perkotaan Surabaya.

Sawah dan tegalan masih menjadi pemandangan vegetasi yang menyegarkan. Bahkan waduk waduk menjadi keragaman kontur bumi yang setiap tahun terus dibersihkan agar alam Made senantiasa selamat dalam lindunganNya. Pepohonan besar dan langka pun masih tumbuh di Made.

Tapi bukan berarti bahwa Made terbebas dari potensi pengembangan perumahan elit di Surabaya Barat, yang siap mencakar cakar alam dan budaya dengan kuku kuku besinya. Menurut Joko yang juga sebagai ketua LPMK Made bahwa di beberapa titik wilayah Made sudah dimiliki oleh pengembangan. Luasnya sudah hektaran.

Cepat atau lambat warga Made akan beralih profesi dari petani menjadi lainnya. “Cepat atau lambat warga Made juga harus siap dengan perubahan itu”, kata Joko. Karenanya ia berharap ada intervensi pemerintah kota Surabaya dalam persiapan itu sehingga warga tidak gagap bila sewaktu waktu ada pergeseran fungsi lahan.

“Yang cocok bagi warga Made adalah usaha atau dagang di sektor UMKM”, harap Joko.

Selain perlu adanya persiapan dan antisipasi demi ketahanan masyarakat desa, tradisi bersih desa yang selama ini digelar adalah perisai. Perisai harus senantiasa disandang demi perlindungan.

Karenanya meski pandemi covid 19 terus mengancam, gelaran tradisi bersih desa terus berjalan meski tidak sebesar dan selengkap dibandingkan dengan sebelum pandemi.

“Tahun ini kita berusaha mengadakan termasuk mengupayakan menampilkan dan mulai memasyarakatkan kisah kepahlawanan warga Made”, harap Joko setelah terlibat diskusi dan gali sejarah di kediaman mbah Seniman bersama Begandring Soerabaia.[nanang]

Begandring Soerabaiadarmosugondodesa madesingojoyo
Komentar (0)
Tambah Komentar