Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Agama Baha’i Dilarang Sukarno, Diakui Gus Dur

“Kepada saudaraku masyarakat Baha’i dimanapun berada, saya mengucapkan selamat merayakan Hari Raya Naw-Ruz 178 EB,” kata Menteri Agama RI, Yaqut Cholil Qoumas mengawali ucapan selamat kepada agama Baha’i Indonesia dalam video singkat.

Pada kesempatan berikutnya, Menag Yaqut menyampaikan. Ini adalah momentum bagi seluruh bangsa kita untuk saling bersilahturahmi dan memperkokoh persatuan dan kesatuan menjunjung tinggi nilai-nilai moderasi beragama.

Tak butuh waktu lama. Video yang di unggah hari Selasa (27/07) oleh akun twitter @Bang_Has1705 ini viral di media sosial.


***
Menurut Situs Resmi Agama Baha’i di Indonesia (bahai.id), agama Baha’i dipelopori oleh Mirza Husein Ali, seorang ulama dari Persia yang mengaku dirinya sebagai Baha’ullah (kemuliaan Allah) adalah pembawa wahyu agama Baha’i. Pada 1863, dia mengumumkan misinya untuk menciptakan kesatuan umat manusia serta mewujudkan keselarasan di antara agama-agama.

Dalam perjalanannya di sebagian besar kerajaan Turki, dia banyak menulis wahyu yang diterimanya dan menjelaskan secara luas tentang keesaan Tuhan, kesatuan agama serta kesatuan umat manusia. Dia mengajarkan bahwa semua agama berasal dari Tuhan dan mereka saling mengisi serta melengkapi. Semua utusan Tuhan mengajarkan keesaan Tuhan dan mewujudkan cinta Tuhan dalam kalbu-kalbu para hamba-Nya.

Sementara itu, mantan Menteri Agama, Lukman Hakim Syaifuddin melalui akun Twitter-nya, @lukmansaifuddin menyatakan bahwa Baha’i merupakan agama dari sekian banyak agama yang berkembang di lebih dari 20 negara. “Baha’i adalah suatu agama, bukan aliran dari suatu agama,” tulis Lukman.

Twitter @lukmansaifuddin pada Jumat, 25 Juli 2014, soal Baha’i /Repro

“Saya menyatakan bahwa Baha’i adalah termasuk agama yang dilindungi konstitusi sesuai Pasal 28E dan Pasal 29 UUD 1945.” Lukman juga menjelaskan bahwa berdasarkan UU 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama, agama Baha’i merupakan agama di luar Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Khonghucu, yang mendapat jaminan dari negara dan dibiarkan adanya sepanjang tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan.

“Saya berpendapat umat Baha’i sebagai warganegara Indonesia berhak mendapat pelayanan kependudukan, hukum, dll dari pemerintah,” tulis Lukman. “Kemenag itu produk kesepakatan luhur pendiri bangsa yang berkomitmen bahwa (nilai-nilai) agama harus jadi jiwa yang mengisi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan kita. Saya hanya menjalankan kewajiban saja,” kata Luqman.

Lukman Syaifuddin juga menyajikan data pemeluk agama Baha’i di Indonesia, yang tersebar di Banyuwangi (220 orang), Jakarta (100 orang), Medan (100 orang), Surabaya (98 orang), Palopo (80 orang), Bandung (50 orang), Malang (30 orang), dll.

Pada 15 Agustus 1962, Presiden Sukarno mengeluarkan Keppres No. 264/1962 yang melarang organisasi Baha’i bersama organisasi-organisasi lainnya: Liga Demokrasi, Rotary Club, Divine Life Society, Vrijmet, Selaren-Loge (Loge Agung Indonesia), Moral Rearmament Movement, Ancient Mystical, dan Organization Of Rucen Cruisers (AMORC).

Keputusan itu dikeluarkan karena Sukarno menilai paham Baha’i tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia, menghambat revolusi, dan bertentangan dengan cita-cita sosialisme Indonesia. Akan tetapi, setelah reformasi, paham Baha’i dapat bernapas lega.

Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mencabut Keppres No. 264/1962 dengan Keppres No. 69/2000. Dengan demikian, Gus Dur mengakui secara konstitusional keberadaan ajaran Baha’i dan memperbolehkan menjalankan aktivitas keagamaannya.

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 2000/Repro.

“Pembelaan Gus Dur dalam memperjuangkan kelompok minoritas dan hak-hak umat Baha’i di Indonesia di dalam menjalankan aktivitas keagamaannya menunjukkan keberanian yang cukup serius terhadap warisan politik peninggalan rezim Sukarno dan Suharto,” tulis Pengamat Baha’i Indonesia dan Asia Tenggara, Amanah Nuris.

Komentar
Loading...