Oleh: Dahlan Iskan
INI cerita istimewa dari Bu Risma, Menteri Sosial kita. Akhirnya Bu Risma menghasilkan angka-angka yang istimewa. Yang hanya bisa diketahui dari seseorang yang sangat komit pada detail-njelimet. 28.000 orang penerima bansos adalah pegawai negeri. Termasuk di dalamnya anggota TNI. Masih ada ribuan lagi pensiunan pegawai negeri. Yang terakhir bisa saja pensiunan yang sangat menderita.
Pun yang masih pegawai negeri. Bisa saja itu golongan paling bawah yang miskin karena apa pun. Masalahnya, kata Bu Risma: peraturan melarang bantuan sosial jatuh ke tangan orang yang berpenghasilan tetap.
Ini rumit: kalau 28.000 orang itu kena hukuman harus mengembalikan. Atau tidak rumit: kalau ternyata memang mereka itu mampu.
Bisa jadi itu bukan karena kecerobohan. Di desa ada budaya Gotong Royong dalam bentuk lain: kenapa si A yang dapat. Kenapa tidak semua saja dapat.
Pokoknya hebat: Bu Risma masih tetap Bu Risma. Cara kerjanya yang seperti itulah yang membuat dia punya nama harum ketika menjadi wali kota Surabaya.
Bisakah Bu Risma sampai tahap itu kalau tidak lewat marah-marah yang menghebohkan itu?
Ini cerita biasa dari orang biasa. Dia juga wanita. Juga gigih luar biasa. Juga sangat detail. Dia jadi sokoguru rumah tangga.
Dia memilih menjadi pengusaha kecil -karena tidak ada sebutan lebih kecil dari kecil. Apalagi di Jakarta. Pandemi Covid membuatnya sampai di ujung jalan: tidak bisa lagi berusaha.
Penghasilan berhenti total. Dia wanita Disway.
Di saat kesulitan mencapai puncaknya, dia mendapat angin segar. Pemerintah membantu usaha kecil yang berhenti berusaha karena Covid.
Inilah ceritanya:
Tahun 2019, Desember, saya mendapat bantuan dari pemerintah bagi UMKM yang mendadak berhenti karena pandemi. Nilainya Rp 2,4 juta.
Saya harus membuka rekening di bank BRI. Bantuan itu akan langsung ditransfer ke rekening tersebut.
Beres. Terima kasih. Pemerintah baik sekali.
Bantuan itu sudah saya gunakan untuk modal jualan jasa titipan sayur-yang saya pernah cerita ke Abah dulu.
Pertengahan Oktober barusan, ada teman belanja jilbab. Uangnya akan ditransfer. Tapi mintanyi ke rekening bank BRI. Alasannyi, agar tidak kena biaya administrasi.
Saya ingat, bahwa saya pernah punya rekening BRI. Yakni saat saya dulu dapat bantuan.
Saya kasihkan nomor rekening itu.
Dua hari kemudian, saya ingin mengambil uang jilbab itu. Saya butuh uang buat belanja dagangan lagi.
Sampai di BRI ternyata dana saya itu nggak bisa ditarik. Dananya ada. Di cetakan di buku juga terlihat. Tapi saya tidak boleh ambil uang tersebut.
Kaget dong. Itu kan rekening saya. Masak enggak boleh ambil uangnya.
Antrelah saya di customer service. Mengadu. Ternyata, rekening saya itu di-blok. Tidak boleh diambil uangnya. Alasannya: sebagai ganti cicilan uang bantuan yang Rp 2,4 juta tahun 2019 dulu itu.
Pikiran saya, loh, itu kan bentuknya bantuan. Bukan pinjaman. BRI tidak bisa menjelaskan: kenapa rekening saya di-blok. Katanya, mereka hanya sebagai penyalur saja.
Waktu menerima bantuan itu sama sekali tidak ada dokumen pinjam meminjam. Tidak ada akad kredit.
Saya penasaran bagaimana bantuan Rp 2,4 juta berubah jadi pinjaman, justru setelah dipakai.
Saya ganti pindah ke kantor BRI lainnya. Siapa tahu ada kesalahan di BRI yang pertama. Eh ternyata sama. Tapi yang ini disertai penjelasan. Bahwa di 2020, Oktober, saya sudah dianggap mampu. Buktinya saya sudah bisa bikin CV.
Padahal CV itu saya buat dengan uang pinjaman. Yakni dari seseorang yang Anda pasti sudah tahu.
Lucunya, saya justru diminta melunasi kekurangan dari total Rp 2,4 juta itu.
Astaga naga! Bagaimana tidak. Saya merasa diprank oleh pemerintah.
Tetiba saya ingat nasib orang-orang yang menerima bantuan traktor yang setelah selesai seremoni traktornya diambil lagi.
Pagi ini saya sudah berdoa, sudah zikir pagi. Saya bisa menulis ini sambil menunggu pembeli. Tentang toko ini:
Akhir September lalu, pemilik toko meminta dana sewa toko. Katanyi, dia lagi butuh dana, sangat. Dia bilang enggak apa-apa dibayar 6 bulan dulu. Nanti, bulan April tahun depan, baru dibayar untuk 6 bulan berikutnya. Saya bayar yang 6 bulan dari pinjaman itu.
Eh, ada masalah dadakan. Seminggu yang lalu ortunya wafat. Dan dia meminta yang 6 bulannya lagi. Ya Allah …pening-nya nih kepala.
Saya mencoba cool calm. Dia butuh uang saya butuh waktu. Saya bilang, saya usahakan akhir November ya. Saya bilang nggak bisa dadakan begitu.
Dia setuju. Legaaaa…. masih bisa bernapas sebulan.
Tiba-tiba teman butuh bantuan. Anaknya belum bayar uang sekolah. Aduuuuh! Pusing karena toko belum hilang. Datang pula pusing baru.
Saya bilang, saya belum bisa membantu lagi. Tapi…. bagaimana ini, menyangkut urusan sekolah anak. Bagaimana kalau anaknya engga bisa sekolah? Kebayang saya pontang panting bulan Agustus lalu. Ketika anak saya di-bully akibat uang sekolah. Saya jadi kasihan sama anaknya.
Ya sudahlah saya bantu. Tapi tidak semua (berharap semoga Allah bantu saya dimudahkan masalah saya sendiri).
Tiba-tiba saya ingat Mensos Juliari yang meluncurkan bantuan itu.[]
Sumber: disway