PDI Jazuli

Oleh: Dahlan Iskan

PUN ketika saya ke sana. Kaus dalam putih yang dipakainya. Dikombinasikan dengan sarung. Dan kopiah.

Saya menemuinya lewat jalan desa yang sangat sempit. Agak becek. Kaki gunung Ciremai, tenggara Cirebon, memang lagi hujan Selasa sore lalu.

Di situlah pesantren hebat ini berada. Dengan nama yang tidak memakai bahasa Arab: Bina Insan Mulia.

Saya pernah melihat kiai muda ini di video: Imam Jazuli. Juga pakai kaus dalam berlengan. Padahal, saat itu, ia menemui seorang menteri.

Bagi saya, penampilan Kiai Jazuli yang seperti itu sebagai lambang keterbukaan dan pembebasan. Itu lebih terlihat nyata setelah saya mendengarkan lebih banyak penjelasannya.

Tentu saya pernah bertemu Kiai Jazuli yang tidak seperti itu: ketika sama-sama di kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU), di Jakarta.

Di pesantrennya itu, seminggu sekali, Kiai Jazuli memberikan kebebasan berpakaian pada santrinya: boleh pakai pakaian santai. Termasuk pakai celana jeans. Pun bagi yang wanita. Juga boleh tidak berkopiah. Boleh bernyanyi-nyanyi. Bahkan, sebelum Covid, sesekali diajak nonton bareng ke bioskop.

Kurikulum di pesantren ini juga beda. Semester pertama hanya tiga pelajaran: pelajaran membaca Quran, matematika, dan fisika. Pelajaran menghafal Quran ada di semester 2. Ditambah dua pelajaran lain: matematika dan fisika.

Menghafal Quran-nya dengan metode baru. Dalam enam bulan semua santri sudah bisa hafal Quran. Khususnya santri yang IQ-nya 120 ke atas.

Yang punya IQ di bawah itu tetap harus menjalani pelajaran menghafal Quran. Tidak harus 30 juz (satu Quran terdiri dari 30 juz). Ada yang 20, 15, bahkan hanya 10 juz.

Di semester ketiga juga tiga pelajaran: bahasa Arab, matematika, dan fisika. Kitab-kitab dari Al Azhar dipelajari dalam pelajaran bahasa Arab ini. Dalam enam bulan mereka sudah harus bisa berbahasa Arab.

Di semester keempat, tiga pelajaran lagi: bahasa Inggris, matematika, dan fisika. Dalam enam bulan harus bisa berbicara dalam bahasa Inggris.

Semester 5 dan 6 khusus untuk pelajaran yang akan masuk ujian nasional. Juga untuk mempersiapkan sekolah di luar negeri: ke Timur Tengah, ke Eropa/Amerika, dan ke Tiongkok. Yang ke Tiongkok hanya lewat yayasan ITCC –yang saya dirikan bersama beberapa teman Surabaya.

Sekolah ke luar negeri begitu pentingnya. “80 persen lulusan pesantren ini melanjutkan kuliah di luar negeri,” ujar Kiai Jazuli.

Kiai Jazuli mendirikan madrasah bertaraf internasional ini tahun 2013. Ia sendiri lulusan Al Azhar, Mesir. Jurusan filsafat. Kiai Jazuli adalah alumni pertama pesantren Lirboyo yang kuliah di Al Azhar. Lirboyo, Kediri, adalah salah satu pondok berbintang sembilan di dunia NU.

“Sebenarnya, waktu itu, saya mendapat beasiswa ke Madinah, Arab Saudi. Ayah saya tidak mengizinkan,” ujar Kiai Jazuli. “Beliau takut saya menjadi penganut paham Wahabi,” ujarnya.

Ia dapat tawaran beasiswa lagi: kuliah di Qom, Iran. “Ayah saya juga tidak setuju. Beliau takut saya menjadi penganut Syiah,” katanya.

Dua tahun kemudian barulah ia mendapat beasiswa ke Mesir. Ayahnya petani di desa kaki gunung Ciremai itu. Tidak bisa membekali biaya yang cukup. Ia punya bekal lain yang lebih dari cukup: modal tirakat. Berani sengsara. Tidak takut menderita.

Ia sudah dibiasakan berpuasa setiap hari. Dalam setahun ia hanya 6 hari tidak berpuasa. Yakni di hari-hari yang oleh agama dilarang berpuasa. Salah satunya di hari raya Idul Fitri.

Orang-orang pondok pesantren biasa tirakat seperti itu. Harus bisa menjalani hidup susah. Salah satu tanda kelulusannya di Lirboyo adalah: jalan kaki, tanpa bekal uang, ke seluruh makam walisongo.

Perjalanan dimulai dari Kediri ke Surabaya: makam Sunan Ampel. Lalu ke Bangkalan, Madura: ke makam Kiai Kholil yang disetarakan dengan wali. Terus ke Gresik, Tuban, Rembang, Jepara, Kudus, Demak, dan berakhir di makam Sunan Gunung Jati, Cirebon. Itu sudah lebih dekat ke kampungnya sendiri.

Sepanjang perjalanan ia boleh menerima tawaran bermalam di masjid atau rumah siapa saja. Termasuk menerima makanan. Tapi tidak boleh menerima tawaran dibonceng sepeda motor maupun tumpangan mobil.

Di Mesir pun Jazuli mencari tempat tinggal yang tidak pakai uang: jadi penunggu kantor. Tidur di kantor itu. Mengerjakan apa saja di situ: di kantor NU cabang Mesir.

Semua santri di Bina Insan Mulia juga puasa setiap hari. Tidak peduli anak siapa. Pun yang di kampus 2. Sampai tidak ada perasaan bahwa puasa itu berat –karena sudah biasa.

Pesantren ini memang punya dua kampus. Sama-sama di pelosok desa itu. Sama-sama lewat jalan sempit. Juga sama-sama mempertahankan suasana pedesaan. Bedanya, di kampus 2 itu, setiap kamar diisi 20 santri. Luas kamar 9 x 9 meter. Ada 10 tempat tidur bertingkat di situ. Pakai AC.

Di kampus 2 juga dilengkapi kafe: di tengah halaman. Itulah kafe bus tingkat. Seperti bus wisata di kota Paris –yang tanpa atap itu. Bodi bus beneran, warna warni, ditaruh di situ.

Juga dilengkapi kolam renang.

Di kampus 2 itu kelasnya sudah smart class –mengadopsi sistem dari Australia.

Sedang di kampus 1, satu kamar diisi 25 orang, masing-masing dapat 1 kasur di lantai. Kamar itu, di siang hari, untuk kelas. Lebih 2.500 santri di kampus 1 ini.

Jazuli ingin mengembangkan pesantren internasional dengan ciri khas Indonesia. Bukan internasional yang kebarat-baratan atau ke Arab-araban. Salah seorang pemimpin di pesantren itu adalah Dr Ferry Muhammadsyah Siregar, peneliti dari Amerika dan Mesir.

Cara itu tentu dinilai sebagai pemberontakan terhadap sistem di mainstream NU. Ia tidak peduli. Ia begitu ingin umat Islam berorientasi ke kemajuan. Ke masa depan. Termasuk dalam melihat semua hal.

Itulah sebabnya Jazuli kurang sepaham dengan ulama muda NU yang lagi ngetop sekarang: Gus Baha’. Yang dari Rembang itu. Yang ia anggap terlalu berorientasi ke hukum agama masa lalu.

Belakangan Jazuli sebenarnya ingin memperbaiki hubungannya dengan Gus Baha’. Terutama menjelang muktamar NU di Lampung bulan depan.

“Sudah bisa bertemu?” tanya saya.

“Saya sudah ke Jawa Tengah. Sudah ke Rembang. Tapi belum bisa bertemu,” katanya.

Menghadapi muktamar NU itu Jazuli memang ingin mengegolkan ide ini: agar muktamar menarik kembali putusan kembali ke khittah itu.

“Relevansinya sudah berubah. Sesuai di zaman Orde Baru. Tidak sesuai lagi sekarang,” katanya.

Dengan pencabutan itu semua warga NU bisa diarahkan memilih PKB. “Kata orang, warga NU itu 60 juta. Kok partainya orang NU hanya dapat 9 persen?” katanya. “Padahal kalau PKB dapat suara 20 persen NU bisa mengatur negara ini,” tambahnya.

Bukan berarti Jazuli terjun ke politik. Ia tidak mau jadi apapun di NU maupun di PKB.

Ia sudah pernah terjun ke politik: Jazuli inilah yang mendirikan cabang PDI-Perjuangan di Kairo, Mesir. Ia pula yang menjadi ketuanya.

“Berarti punya kartu anggota PDI-Perjuangan?” tanya saya.

“Punya. Waktu itu. Sudah lama mati,” katanya.

Sepulang dari Mesir, Jazuli jadi pengusaha. Di Jakarta. Sukses. Lalu dipanggil pulang ayahandanya. Mulailah ia bangun Bina Insan Mulia. Sepenuh hati. Tidak toleh sana-sini. Konsentrasi di pendidikan. Sampai menghasilkan mutu pendidikan yang tinggi: sudah terlihat hasilnya kini.

Sikap modernnya itu juga ia wujudkan di rumah tangga. Ia kiai yang istrinya tetap satu. Dengan enam orang anak.

Sebenarnya bukan wanita ini calon istri yang asli. Awalnya ia sudah akan kawin dengan putri kiai Gontor Ponorogo. Batal. Di Pondok Modern Gontor, siapa pun, tidak boleh masuk politik. Partai apa pun. Jazuli PDI-Perjuangan.

Sistem pendidikan di NU akan berubah total –kalau model Jazuli ini bisa menular cepat.

Sehari setelah dari sana saya dapat kiriman video. Rupanya salah satu santri yang membuatnya. Lalu mengunggahnya di banyak channel.

Saya lihat video itu. Bagus sekali –dari kacamata ilmu media. Editingnya sempurna. Santri di sana sudah bisa bikin itu. Ternyata memang ada pendidikan media, TV, video di pesantren itu.[]

sumber: disway

dahlan iskan