REKAYOREK.ID Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut penyedia jasa tes Polymerase Chain Reaction (PCR) meraup untung puluhan triliun selama pandemi Covid-19.
ICW mencatat, keuntungan penyedia jasa PCR dihitung mulai Oktober 2020 sampai Agustus 2021 mencapai Rp 10,46 triliun.
“Ini angka yang sangat besar. Perhitungan secara kasar atau jika kita mengkalkulasi jumlah spesimen yang diperiksa oleh lab dikalikan dengan tarif pemeriksa paling tinggi yakni Rp900 ribu hasilnya kita melihat setidaknya ada perputaran uang dalam konteks pemeriksa PCR itu sekitar 23,2 triliun,” kata peneliti ICW, Wana Alamsyah, dalam webinar yang disiarkan melalui akun YouTube LaporCOVID-19, Jumat (20/8/2021).
Perhitungan itu berdasarkan dimulainya pemberlakuan tarif tes PCR tertinggi Rp900 ribu sesuai dengan Surat Edaran Nomor HK.02.02/I/3713/2020 yang ditandatangani Plt Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Abdul Kadir pada 5 Oktober 2020.
Sampai kemudian diberlakukan tarif baru Rp495 ribu di Pulau Jawa dan Bali, serta Rp 525 ribu di luar Pulau Jawa dan Bali sesuai Surat Edaran Nomor HK.02.02/I/2845/2021 yang ditandatangani Abdul Kadir pada 16 Agustus 2021.
Tarif baru tersebut ditetapkan melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan nomor HK.02.02/I/2845/2021 Tentang Batas Tarif Tertinggi Pemeriksaan Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR).
Batas tarif tertinggi itu berlaku untuk masyarakat yang melakukan pemeriksaan RT-PCR atas permintaan sendiri atau tes mandiri.
Batas tarif tertinggi tidak berlaku untuk kegiatan penelusuran kontak atau rujukan kasus Covid-19 ke rumah sakit yang penyelenggaraannya mendapatkan bantuan pemeriksaan RT-PCR dari pemerintah, atau merupakan bagian dari penjaminan pembiayaan pasien Covid-19.
Sebaliknya, mahalnya harga tes PCR tentu memberikan dampak pada warga yang enggan melakukan tes PCR mandiri. Sementara itu, pemeriksaan PCR melalui puskesmas mengharuskan masyarakat untuk menunggu dalam waktu yang lama. Tidak hanya itu, hasil tes PCR pun tidak segera dikeluarkan secara cepat. Ini berpotensi menghambat pelayanan kesehatan selanjutnya.
Karena itu, ICW menduga ada potensi konflik kepentingan soal mahalnya harga pemeriksaan tes PCR di Indonesia.
Wana mengatakan penurunan harga PCR baru dilakukan selang 10 bulan kemudian lantaran ada keengganan evaluasi harga karena kebijakan ditetapkan oleh orang yang menyediakan jasa. Terlebih, potensi penerimaan dari tes PCR sangat besar.
“Ketika ada potensi konflik kepentingan, tidak ada upaya pemerintah. Ada kecenderungan normalisasi konflik kepentingan,” ujar dia.
Penyebab Mahalnya Tes PCR
Polemik mahalnya harga pemeriksaan PCR di Indonesia kembali mencuat setelah munculnya informasi terkait perbandingan harga tes PCR di India.
Sejumlah media pemberitaan nasional menyebutkan jika Pemerintah India memangkas tarif PCR dari 800 Rupee menjadi 500 Rupee atau sekira Rp96.000.
Sementara itu, tarif tertinggi untuk pemeriksaan PCR di Indonesia sebesar Rp900.000 atau sekitar 10 kali lipat dari tarif di India.
Mahalnya tarif pemeriksaan PCR di Indonesia, tentu berdampak terhadap upaya pemerintah dalam memutus rantai penularan Covid-19. Pasalnya, banyak kasus pasien Covid-19 tanpa gejala dan mahalnya tarif pemeriksaan menjadi penghambat bagi sejumlah warga untuk melakukan tes PCR secara mandiri.
Berdasarkan penjelasan dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes), mahalnya tarif pemeriksaan karena bahan baku untuk tes PCR masih bergantung pada impor dan harga reagen yang mahal.
Dari penjelasan yang disampaikan Kemenkes, Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan dua permasalahan. Pertama, tidak ada biaya impor yang dibebankan kepada Pelaku Usaha untuk produk test kit dan reagen laboratorium.
Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf c Peraturan Menteri Keuangan Nomor 34/PMK.04/2020 tentang Pemberian Fasilitas Kepabeanan dan/atau Cukai Serta Perpajakan atas Impor Barang untuk Keperluan Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dijelaskan bahwa atas impor barang untuk keperluan penanganan pandemi Covid-19 diberikan fasilitas kepabeanan dan/atau cukai serta perpajakan berupa pembebasan pungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 salah satunya tes PCR.
Tidak adanya biaya impor barang, tentu akan mempengaruhi komponen dalam menyusun tarif PCR, sementara yang menjadi masalah adalah publik tidak pernah diberikan informasi mengenai apa saja komponen pembentuk harga dalam kegiatan tarif pemeriksaan PCR.
Kedua, hasil penelusuran ICW menemukan bahwa rentang harga reagen PCR yang selama ini dibeli oleh Pelaku Usaha senilai Rp180.000 hingga Rp375.000. Setidaknya ada enam merk reagen PCR yang beredar di Indonesia sejak 2020, yaitu Intron, SD Biosensor, Toyobo, Kogene, Sansure, dan Liverifer.
Jika dibandingkan antara penetapan harga dalam Surat Edaran milik Kementerian Kesehatan dengan harga pembelian oleh Pelaku Usaha, gap harga reagen PCR mencapai lima kali lipat.
Selain itu, Kementerian Kesehatan tidak pernah menyampaikan besaran komponen persentase keuntungan yang diperoleh Pelaku Usaha yang bergerak pada industri pemeriksaan PCR.
Kebijakan yang dibuat tanpa adanya keterbukaan berakibat pada mahalnya harga penetapan pemeriksaan PCR dan pada akhirnya hanya akan menguntungkan sejumlah pihak saja.
Pertanyakan Posisi Komisaris Kimia Farma
Selain mahalnya harga tes PCR, ICW juga menyoroti posisi Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan, Abdul Kadir sebagai Komisaris Utama PT Kimia Farma Tbk (Persero).
Ya, Abdul Kadir meneken Surat Edaran Nomor HK.02.02/I/3713/2020 yang menetapkan tarif tertinggi untuk pemeriksaan PCR sebesar Rp 900.000 pada 5 Oktober 2020, sebelum akhirnya pemerintah menurunkan tarif PCR menjadi 495 ribu beberapa hari lalu. Abdul Kadir ditunjuk sebagai Komisaris Utama PT Kimia Farma Tbk (Persero) pada 28 April 2021.
“Pertanyaan sederhana kami, bagaimana mungkin seseorang yang membuat regulasi tentang tarif pemeriksaan PCR, menduduki posisi Komisaris Utama di BUMN Kimia Farma yang juga bertindak sebagai pihak penyedia jasa layanan PCR?,” ujar Wana.
Wana menduga, jangan-jangan selama ini pemerintah tidak mengevaluasi mahalnya PCR karena salah satu orang yang menetapkan tarif pemeriksaan tersebut, merupakan orang yang juga menyediakan jasa pelayanan.
“Sehingga ada kemungkinan keengganan melakukan evaluasi tersebut. Sebab jika kita melihat potensi penerimaan terhadap pemeriksaan PCR ini sangat besar,” ujar Wana.
Sementara itu, Dirjen Yankes Abdul Kadir menampik adanya konflik kepentingan dalam penetapan tarif PCR.
Dia mengatakan harga tes ditentukan lewat audit Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
“Tidak ada hubungannya karena saya komisaris utama baru tiga bulan. Padahal SE pertama tahun lalu. Sama sekali tidak ada hubungan,” ujar Kadir pada awak media, Jumat (20/8/2021).
Kadir mengatakan dirinya diangkat jadi komisaris baru satu bulan. “Jadi kalau dibilang sengaja misalnya memperlambat penurunan, bukan karena itu, saya kan baru satu bulan. Jadi tidak ada konflik kepentingan disitu,” imbuhnya.
Ia juga menyampaikan bahwa Kimia Farma tidak memiliki laboratorium dalam jumlah besar. Untuk itu, tidak ada kepentingan untuk menguntungkan perusahaan pelat merah tersebut.
Kadir menambahkan, ia secara kebetulan bertugas sebagai Dirjen Yankes serta membuat SE. Sedangkan, rincian biaya dihitung oleh auditor negara dengan mengacu harga pasaran. Kadir memastikan, masih ada potensi penurunan harga tes PCR.
“Kami lagi usul ke pemerintah untuk pembebasan bea masuk reagen PCR, jadi kalau disetujui, harga lebih murah, pasti akan turun harganya,” katanya.
Adanya penurunan tarif tes PCR baru bisa dilakukan, lanjut Kadir, karena harga reagen di pasaran juga turun.
“Harga-harga reagen di pasaran itu sudah jauh lebih turun dibandingkan tahap awal pandemi Covid-19. Berdasarkan itulah maka dilakukan evaluasi batas atas tarif PCR,” tandasnya.[]