Titik Nadhir #47

Temayang

Oleh: Jendra Wiswara

Kuperhatikan dengan seksama, kondisi motorku sangat memprihatinkan. Sudah beberapa bulan ini dia tidak dimandikan. Bentuknya buruk rupa. Roda depan dan belakang penuh kotoran. Beruntung sebelum perjalanan ini dimulai aku sudah mengganti roda luar dan dalam, sehingga aku tidak pernah mengalami masalah ban bocor.

Pada badan motor, lumpur-lumpur melekat meninggalkan pemandangan menyedihkan, debu-debu jalanan sudah mengeras membentuk caranya sendiri. Jok motor atau tempat duduk sobek seperti terkena silet. Setiap kali hujan menerpa, pantatku sering basah sehingga banyak orang yang mengira aku sedang ngompol. Yang menyedihkan rem depan blong, sedang rem belakang ampasnya nyaris habis. Untuk mengerem aku terpaksa menjaga jarak terlebih dahulu agar tidak menabrak. Pun lampunya mendrip-mendrip. Sementara pajak STNK sudah dua tahun tidak dibayar.

Kasihan kau motor, hanya dipakai saja tanpa pernah dipelihara dengan baik. Entah sampai sejauh mana kau dapat menemaniku menempuh perjalanan ini. Semoga kau tidak rewel di jalan.

Perjalananku berikutnya (lagi-lagi) cukup menguras ketakutan. Seperti yang kukatakan sebelumnya bahwa tujuanku adalah Nganjuk. Untuk sampai Nganjuk aku dapat melalui dua pilihan: lewat Babat dan Jombang atau pilihan kedua memotong jalan dari Bojonegoro melewati hutan belantara.

Seorang penjaga SPBU mengatakan padaku, jika mengambil jalur Babat itu sama artinya aku memutar dan butuh waktu berjam-jam. Sebaliknya jika melalui Bojonegoro aku dapat langsung menembus Nganjuk. Resikonya aku harus bertatap muka dengan hutan Temayang yang kata orang terkenal rawan dan angker.

Menurut cerita, banyak orang mengalami kecelakan di daerah tersebut. Cerita sumir yang berkembang, sebelum terjadi kecelakaan beberapa dari mereka sempat diganggu penunggu hutan. Entah benar atau tidak, bisa juga sekedar cerita rekaan untuk menakut-nakuti.

Saat meninggalkan kampung nelayan aku memang selalu memikirkan kedua rute tersebut. Dan pilihanku jatuh pada rute Bojonegoro dimana aku harus melewati hutan Temayang. Beberapa tempat memang tidak bisa kusebutkan namanya karena keterbatasanku mengingatnya. Kalau boleh cerita sebenarnya jalan yang kulalui ini tidak ada dalam peta. Makanya ketika menceritakannya, aku selalu terbentur masalah penamaan.

Yang jelas dari arah Pandangan aku mengambil rute ke Timur sepanjang 25 kilometer. Dari sini aku bertemu pertigaan yang bila terus menghubungkan arah kota Tuban, belok ke kanan ke Jatirogo, masih kawasan Tuban.

Perjalanan kumulai dari Pandangan pukul dua siang. Memasuki Jatirogo jalanan sedikit bergelombang. Kulewati beberapa pedesaan dan hutan. Karena pada saat itu hari masih siang, maka perjalanan tidak terlalu menyusahkan. Cuma sewaktu keluar masuk pedesaan, aku membayangkan betapa mengerikannya desa demi desa yang kulalui sebab jarang dilewati pengendara. Coba kalau malam tiba, pasti daerah Jatirogo dan sekitarnya lebih mirip kuburan ketimbang jalanan.

Rutenya sedikit mengerikan. Selama 30 kilometer berkendara, aku tidak menemukan satu pun penjual bensin dan tambal ban. Bagaimana bila sewaktu-waktu warga sekitarnya mengalami ban meletus atau kehabisan bensin, kemana mereka akan meminta pertolongan.

Jalanan Jatirogo berhasil kulalui dengan baik. Tak satu pun kesulitan kudapati, hanya di beberapa tempat aku sempat kebingungan menentukan arah karena tiada penunjuk jalan. Kalau sudah begini satu-satunya harapanku agar tidak tersesat adalah bertanya kepada setiap orang. Beruntung mereka ramah, sehingga aku tak mengalami kesulitan berarti.

Memasuki Bojonegoro perasaanku sedikit plong. Di sini aku juga kebingungan menentukan arah. Apalagi memasuki perkotaan, yang kutemui cuma perempatan dan pertigaan tanpa penunjuk arah yang jelas. Membingungkan. Seorang polisi yang mangkir di pojok perempatan sempat kuganggu. Dia bilang jalanan menuju Nganjuk sangat beresiko pada jam-jam mendekati senja. Polisi yang baik budiman itu mengarahkanku mengambil rute Babat. Tapi dasar aku orangnya sukar dinasehati dan diajak kompromi, maka kata-kata petugas tadi kucueki. Aku tetap mengambil rute semula. Petugas tadi menyuruhku belok kanan menuju Dander. Apa itu Dander? Oh, ternyata ini adalah nama sebuah kecamatan.

Dari sekian banyak daerah di Bojonegoro, hanya Dander yang paling terkenal. Beberapa kali aku bertanya kepada orang, mereka menunjukkan arah yang sama. Mungkin terkenal, atau bisa jadi itu hanya perasaanku saja. Aku tidak sulit mencari Dander. Setelah menemukannya aku segera berhenti di sebuah warung.

Selain membasahi tenggorokan dengan air, aku juga ingin mengorek informasi sebanyak-banyaknya mengenai hutan Temayang. Benarkah hutan ini seperti yang dikatakan orang: angker.

Kukira aku sudah melalui separuh perjalanan, nyatanya hanya sampai seperempatnya saja. Bahwa perjalanan dari Dander ke Nganjuk ternyata masih membutuhkan waktu tiga hingga empat jam. Ini kuketahui setelah aku tiba di Nganjuk.

Sebelumnya aku sengaja berlama-lama di Dander sekedar melepas lelah dan bersantai-santai ria hingga hari menunjukkan senja. Dari sebuah warung di pinggir jalan ini tiada kudapati informasi apa-apa. Semua orang bercerita seputar dirinya sendiri. Membosankan.

Walhasil, akhirnya kuputuskan meneruskan perjalanan walau tiada banyak informasi kudapat. Bila tidak dicoba mana bisa tahu, pikirku. Lagipula dari Dander menuju rute berikutnya tidak terlalu sulit karena jalurnya hanya satu arah, tidak berbelok-belok. Kalau pun berbelok cuma mengikuti jalur satu saja. Ini terlalu mudah, siapapun pasti bisa melakukannya, sombongku.

Setelah menenggak sprite dingin yang menyegarkan tenggorokan, aku pamit kepada pemilik warung dan tentunya orang-orang di dalamnya. Nampak pula sebelum kepergianku mereka mengawasi gerak-gerikku tanpa berkedip.

“Apa benar mau ke Nganjuk sekarang, Mas?” Seorang Pak Tua menanyaiku.

“Iya, Pak. Kebetulan temanku sudah menunggu di sana. Kasihan kalau dia sudah menunggu cukup lama.”

“Maksudku apakah kamu sudah siap lahir batin menembus Temayang saat malam tiba.” Tanyanya lagi.

Wallahua’lam, Pak. Kalau tidak dicoba mana bisa tahu.” Balasku dengan mimik serius.

Ransel kulingkarkan pada kedua pundak, mirip penerjun payung siap terjun bebas. Dan jika beruntung aku akan tiba di Nganjuk pukul tujuh malam. Sebaliknya kendala di tengah jalan sewaktu-waktu dapat menghambatku, maka menurut perhitunganku–meski tidak begitu taktis–aku bakal terlambat satu jam, kecuali masalah ban meletus atau mogok kehabisan bensin, mungkin itu ceritanya lain.

Mengingat rute yang kutempuh sangat asing dan lagipula ini bukan mengenai ujian sekolah, jadi tidak ada batasan bagiku untuk melaju dengan terburu-buru. Setelah Dander kulewati, rute berikutnya memasuki hutan Temayang. Awalnya biasa-biasa saja. Medannya sedikit menanjak, tapi tidak terlalu curam. Hanya saja tiap tikungan yang kulewati membuat miris. Barangkali memang ini masalah yang dihadapi setiap pengendara di sini. Mereka tak bisa melihat pengendara lain dari balik tikungan. Maka jangan heran jika di daerah Temayang rawan kecelakaan. Beberapa pengendara nakal yang suka main serobot atau tidak berhati-hati, kemungkinan besar dapat menyebabkan kerugian bagi pengendara lain.

Selama berkendara, dalam benak selalu muncul yang aneh-aneh. Ah, jangan-jangan di balik tikungan itu ada mobil yang nyelonong menabrakku. Beruntung kalau bisa ngeles, jika masuk jurang, wah, bisa gawat.

Oleh karena itu, khusus kawasan yang tidak kukenal ini, aku sengaja memperlambat laju motor. Biarlah pelan-pelan asal selamat, pikirku. Aku memang sempat berpapasan dengan pengendara lain, bahkan tak jarang mereka saling beradu kecepatan di tiap tikungan. Hati kian miris saja melihatnya. Bagaimana jika di depan mereka ada mobil, belum lagi medannya yang semakin terjal. Bayanganku, mereka pasti sudah terbiasa dengan trek menanjak, bila tidak bagaimana mungkin berani kebut-kebutan di jalanan mengerikan semacam ini.

Selama dalam perjalanan aku berusaha bersikap tenang. Satu ketakutan muncul bisa membahayakan pendalamanku, perjalanan menjadi terseok-seok dan endingnya pasti tidak mengenakkan.

Memasuki pedesaan Temayang aku sedikit lega. Ternyata di tengah hutan masih ada kehidupan walau letaknya terpencil. Dari atas desa aku berhenti untuk menenangkan diri. Hembusan asap rokok sedikit banyak membantuku menghilangkan kegundahan. Begitu pula ketika hari menginjak gelap, dimana bentuk matahari yang bulat dari ufuk barat bersiap-siap meninggalkan penerangannya dan berganti menjadi malam. Kupacu motor dengan kecepatan di atas rata-rata. Entah kawasan mana lagi yang kujejaki, sebab semua pemandangan terlihat sama. Yang ada hanya pepohonan kayu jati yang lebat. Di pinggir jalan tertera tulisan berbunyi: Anda memasuki kawasan Waduk Pacal.

Meski begitu tetap saja hutan, kesannya masih suram dan menyeramkan. Semakin aku masuk ke dalam, suasananya bertambah gelap. Tidak ada penerangan sama sekali. Bodoh sekali kau ini, beginilah kalau kekhawatiranku muncul. Kadang aku kerap berbicara pada diri sendiri.

Dari kejauhan matahari nampak menghilang, pelan tapi pasti, dan akhirnya hilang sama sekali. Lampu motor mulai kunyalakan. Meski tidak seberapa terang namun untuk tempat-tempat gelap lampu menyebalkan ini menjadi penerangan yang sangat berharga. Bahkan di tengah gelapnya hutan Temayang, lampuku seakan menjadi satu-satunya penerangan paling berdaya guna tinggi.

Melongok ke belakang tak kudapati kendaraan satu pun. Aku sempat berhenti di tengah-tengah hutan, menengok lagi ke belakang belum juga ada kendaraan menyalip. Mengerikan. Pemandangan Temayang benar-benar membuat keberanian orang terpenjara. Bunyi-bunyian binatang di malam hari lebih mendekati cerita kehoror-hororan. Mereka terdengar saling bersahutan. Ketakutanku kembali membuncah. Motor kembali kupacu, kali lebih cepat dari sebelumnya.

Namun semakin jauh berkendara justru kengerian hutan Temayang seakan mengikuti kemana saja langkahku. Benar kata polisi dan orang-orang di warung, hutan Temayang di waktu malam tampak angker dan garang. Meski tidak ada setan, justru di sini dirimu bisa menjadi setan yang menakutkan. Jika kau tidak punya persiapan matang, jangan harap berani melintasi hutan ini sendirian. Kini aku mulai paham kata-kata mereka, jangan sekali-sekali kau meremehkan Temayang. Seadainya waktu itu aku mendengarkan nasehat mereka, mungkin tidak akan begini jadinya. Tapi sayang semua itu sudah terlambat.

Satu kejadian sempat membuatku down. Kala melintas di penanjakan tiba-tiba mesin motorku mengeluarkan bunyi kratak…kratak

Ya Allah, apa lagi yang menimpa hambaMu ini. Mengapa baru sekarang motor mulai rewel. Beberapa kali aku menyumpahi motor kesayangan. Bunyi itu menyebabkan kekhawatiranku semakin tak terbendung. Saat kucermati bunyinya berasal dari dalam mesin. Meski tak paham mesin, setidaknya aku tahu saat itu yang sedang bermasalah adalah stang seker.

Di tengah kesunyian hutan belantara ‘suara penganggu’ itu terdengar makin keras. Suaranya mengiba-iba seperti orang kelaparan. Seandainya mesinku mendadak mati di tengah jalan, aku tidak tahu apa yang mesti kuperbuat.

Ah, kau motor mengapa baru sekarang menyusahkan tuanmu ini. Beruntung suara tersebut tidak membuat mesin lainnya terganggu, sehingga aku masih dapat meneruskan perjalanan. Alhamdulillah, mesin tidak mati, tetapi gangguan lain seolah mengintaiku dan menyebabkan pendalaman ini ketar-ketir dibuatnya.

Kali ini seperti yang dikatakan orang bahwa di hutan ini banyak ditemui setan-setan beringasan. Inilah yang memicuku mempercepat laju motor. Bersabarlah motor, kali ini bantulah aku menghadapi masalah ini. Setiba di Nganjuk nanti kau bakal kuservice dengan sebaik-baiknya.

Sekali lagi kengerian hutan Temayang tak jua berlalu dari hadapanku. Setelah melalui bukit yang satu, aku bertemu dengan bukit lainnya dan lainnya, dan demikian seterusnya. Untuk kesekian kali jurus sakti kukeluarkan, bukan kesabaran melainkan kepasrahan tingkat tinggi.

Aku tidak peduli lagi dengan yang namanya setan, demit, genderuwo, kuntilanak, wewe gombel, sundel bolong, atau lain-lainnya. Semua itu hanya bermula dari perasaanku. Jika aku berpikir secara logis, bahwa sebenarnya setan sejati berada di dalam diri kita.

Maka perjalanan kulanjutkan dengan siulan kegembiaraan yang memecah di tengah kesunyian. Hati serasa adem. Perjalanan gelap malam tak lagi kurasakan sebagai ketakutan luar biasa seperti sebelumnya. Hanya saja sewaktu memasuki kawasan Gondang–masih di dalam hutan Temayang–aku melihat lampu-lampu kendaraan menyala menerangi jalanan. Sebuah truk terparkir di pinggir jalan. Beberapa orang berdiri di tengah jalan melambaikan tangan, dan aku memelankan laju motor. Sebagian lagi nampak sibuk duduk-duduk di pinggir jalan. Aku berhenti, seorang dari mereka kutanyai, “Ada apa, Pak?”

“Kecelakaan, Mas.”

“Bagaimana kejadiannya?” Tanyaku.

“Tadi ada pengendara yang melaju di tikungan dengan kecepatan tinggi, nah dari depannya ada sebuah truk. Pengendara itu banting stir dan terjatuh. Beruntung mereka tidak masuk jurang.”

Kulihat di antara orang tersebut terdapat seorang laki-laki tergeletak tak sadarkan diri, dan nyaris terjatuh dari bibir jurang. Lalu seorang lagi nampak diberi air minum. Sepertinya ia mengalami luka cukup parah pada kakinya. Saat kupelototi dari sorot lampu truk, barulah aku tahu kalau kedua pengendara motor itu adalah orang yang menyalipku.

Ternyata benar dugaanku, sepandai-pandainya orang pasti akan celaka menghadapi tikungan semacam ini. Sebelum berlalu kutanya apakah ada yang perlu dibantu. Mereka menjawab, “Tadi sudah ada yang melaporkan ke rumah sakit Nganjuk dan kantor polisi. Dari sini tempatnya tidak jauh kok.”

“Apa mereka selamat, Pak?”

“Alhamdulillah cuma luka-luka saja. Hanya satu yang tak sadarkan diri, tapi selamat kok!”

“Syukurlah.”

Aku pun kembali meneruskan perjalanan. Menurut orang itu lokasi rumah sakit tidak jauh, berarti sebentar lagi aku akan tiba di Nganjuk. Kupacu motor sekencang-kencangnya. Aku sudah tidak sabar bertemu Si Embah dan memberikan oleh-oleh blangkon pesanannya.

Benar juga, dari tempat kecelakaan jaraknya hanya 10 kilometer dari perkampungan Rejoso. Dari pertigaan Rejoso aku mengambil rute ke kanan menuju Guyangan. Lalu dari Guyangan aku melaju terus menuju Desa Patranrejo yang terletak di bawah kaki bukit gunung Wilis. Setiba di sana waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Kedatanganku disambut Si Embah dengan jamu racikannya penghilang rasa lelah.[bersambung]

bukunoveltitik nadhir
Komentar (0)
Tambah Komentar