Titik Nadhir #49

Ngajidin

Oleh: Jendra Wiswara

Malamnya aku tak bisa tidur nyenyak. Seperti yang kuduga sebelumnya bila badan ini diforsir terus-menerus, akan kalah. Benar saja, seluruh badanku seperti terkena sengatan listrik, panas.

Saat kutempelkan tangan pada kening terasa lava panas keluar dari dalam. Tenggorokanku terasa sakit untuk menelan. Mata berbinar-binar. Pun bagian dalam menggigil tak karuan. Kuraih sarung sebagai selimut.

Simbah kupanggil-panggil: Mbah…Mbah…tetapi dia tetap cuek dengan mimpinya. Bersamaan itu bayangan baru muncul di sekeliling. Semua benda-benda di sekitar seakan bergerak dengan sendirinya. Mereka, ada yang melayang di atas kepalaku, berputar-putar, dan kemudian berkata padaku: inilah akibat dari kesombonganmu. Sebentar lagi kau bakal menemui ajal.

Allahuakbar, teriakku. Apakah aku akan mati. Haruskah aku mati di tempat ini. Kalau memang ajalku sudah dekat, maka tiada seorang pun yang sanggup kumintai tolong, kecuali Allah.

Lama kutunggu-tunggu tapi malaikat Izroil tak jua menampakkan batang hidungnya. Mungkinkah dia takut denganku atau memang belum saatnya kontrakku habis.

“Izroil, kau dimana?” Kupanggil Izroil, “Kalau pun kau sudah turun ke bumi, jangan sungkan untuk menemuiku. Aku sudah siap menantimu.”

Lama benar aku menunggu Izroil hingga akhirnya aku jatuh terlelap dalam tidur. Esoknya kurasakan tubuh ini kian menggigil. Panas badanku tak kunjung reda. Pada hari itu aku menjadi pelamun sejati.

Setiap bertemu Simbah dan keluarganya, aku hanya melihat mata mereka saja. Aku diam membisu bagai patung dengan tubuh berbalut sarung pinjaman. Selama perjalanan memang rupanya tubuhku sedikit menyusut. Aku tidak tahu, orang lain yang bilang padaku. Setidaknya saat itu aku telah roboh kehabisan tenaga, pikirku.

Dan sekarang, aku sangat dan amat membutuhkan bantuan orang lain. Selama seharian aku tergeletak di ranjang yang sudah usang. Kasurnya saja sudah tipis dan nyaris aku bisa merasakan bagian keras ambin. Aku tak bisa berdiri, hampir seluruh kulitku terasa terbakar. Persendian seakan copot dari pergelangannya.

“Kau sakit?” Tanya Simbah yang hampir-hampir suaranya tak kukenali.

Aku mengangguk.

Duh, gusti, apakah benar sebentar lagi Izroil bakal menjemputku. Ibu, maafkan segala kesalahan anakmu ini. Jika memang hari ini ajalku sudah tiba, akan kubawa namamu ke liang lahatku dan mencari ayah serta adik di alam kubur sana. Akan kubilang kepada mereka bahwa ibu baik-baik saja.

Tanpa sadar tiba-tiba aku menangis, bukan lantaran kesedihanku melainkan rasa sakit yang kuderita sangat hebat dan tak tertahankan. Betapa mengibakan. Aku tahu penyakitku sangat parah, tapi Simbah malah menimpalinya dengan candaan.

“Cuma meriang saja. Sebentar lagi juga sembuh kok setelah minum jamu,” katanya penuh keyakinan. Kau begitu mudah mengucapkan, tapi lihatlah aku yang merasakannya, seluruh badan ini serasa remuk.

“Mbah, mungkinkah ajalku akan tiba?” Tanyaku sembari mengatupkan bibir.

“Diamlah kau. Kau selalu menjadi temanku. Kau mampu mengerjakan yang aku tidak mampu.
Kau akan hidup, teman.” Simbah berusaha memberiku semangat.

Laki-laki itu duduk di sebelahku. Tangannya meraih keningku, pipiku. Suhu badanku dirasanya cukup tinggi.

“Terima kasih telah memeriksaku.”
Simbah tidak membawaku ke dokter, karena dialah dokterku. Dan menurut keyakinanku, hanya dia yang sanggup mengobatiku. Aku lebih percaya padanya ketimbang siapapun juga. Lagipula biaya untuk ke dokter tak aku punya. Mungkin dengan jamunya, Insya Allah, penyakitku ini akan segera berlalu.

Simbah kemudian memeriksa seluruh badanku, mataku, jantungku, dan urat nadiku. Ah, kau, sekarang begini jadinya. Tapi, biarlah untuk kali ini hanya aku yang mengucurkan kesedihan, jangan orang lain.

Ibu tak perlu tahu, Kayla juga. Yoga, biarlah dia setia menunggui isterinya yang sedang hamil tanpa perlu kuberitahu sakitku ini. Selin, entah sekarang bagaimana kabarmu di Australia. Kemudian Astrid, ah, kau gadis yang penuh misteri.

Kuharap mereka tidak tahu juga bahwa temannya ini sedang tergeletak tak berdaya di tempat yang jauh. Aku tak ingin semua orang yang kukenal menumpahkan satu titik curahan untukku. Biarlah aku, Simbah dan Allah yang tahu. Baiklah, aku tak perlu banyak mengeluh. Hari itu aku dirawat dengan sungguh-sungguh. Banyak makanan yang enak.

“Setelah minum jamu, kamu tiduran saja. Insya Allah, sore nanti kamu akan baikan. Aku berangkat dulu ya,” kata-kata Simbah sedikit menenangkanku.

Jamu kutegak habis. Rasanya pahit benar. Lebih pahit dari arak Bali. Tapi semoga saja kepahitan ini mendatangkan anugerah dari Yang Di Atas.

Setiap jam Simbah pulang ke rumah untuk menengoki. Suaraku makin lamban dan pelan. Nyaris aku tak tahu kalau Simbah datang untuk memeriksa keadaanku. Simbah juga membawakanku makanan.

Semula aku menggeleng karena perutku menolak dimasuki makanan. Tapi aku terus memaksakan menelan makanan itu sampai habis, walau harus mengunyahnya pelan-pelan.

“Maafkan aku, teman, jika saat ini telah menyusahkanmu dan seisi keluarga. Tapi aku beruntung bisa membawa sakitku ke rumahmu ketimbang ke tempat lain. Beruntung pula Allah telah menjadikanmu dokter untukku. Setelah sembuh nanti, aku akan semakin menghargaimu teman. Jangan kuatir, jika ada masalah aku bakal datang untukmu. Itu janjiku.” kataku dalam hati.

Seharian penuh aku tertidur, mungkin efek dari jamu itu yang membuatnya begini. Gigilan deman telah lenyap dari tubuhku. Keringat mulai bermanik-manik pada dahiku. Sore hari aku bangun. Aku kini dapat bangkit dan tersenyum manis pada kaca lemari, mungkin senyumanku lebih manis lagi. Bila tidak bagaimana mungkin Kiftiya tergila-gila padaku, pada lesung pipitku.

Setelah merasai badan kembali bugar, aku segera lari ke belakang, mandi. Masuk kamar, mengenakan pakaian kemarin yang masih bau. Tak tahu lagi aku bagaimana permunculanku. Dan sandalku yang sebelah…ah, kau sandal, dimana pula kau bersembunyi? Mengapa pula ikut-ikutan menganggu aku?

Rupa-rupanya aku lupa meletakkannya. Setelah kucari-cari akhirnya kudapati sandal bersembunyi di bawah kolong ambin. Kuraih dan kupakaikan sandal pada telapak kaki. Dan aku pun melangkah keluar menuju toko Simbah. Sewaktu bertemu dengannya, Simbah menyambutku dengan gembira. Mungkin karena dia telah berhasil mengobatiku. Yah, teman, kau akhirnya berhasil membuatku tertawa lagi.

Kukatakan kepadanya, “Dengan perawatan seperti ini semua yang sakit akan sembuh dalam tanganmu.”

“Insya Allah.” Jawabnya.

“Kukira kau memang cocok seperti ini, teman. Tak perlu lagi kau kembali ke kota. Di sini tenagamu juga dibutuhkan.”

Simbah mengangguk sambil menghisap rokoknya dalam-dalam.

“Oh iya, nanti malam di pondok Kyai B ada pengajian. Melu ta?”

Kyai B memiliki pondok Tauhid. Dulu, beliaulah yang mewejang kami. Semenjak beliau wafat banyak santri-santrinya yang kebingungan mencari pengganti. Setelah sekian lama akhirnya penggantinya berhasil ditemukan. Dia Kyai N dari Surabaya. Konon, Kyai N adalah santri yang digadang-gadang oleh Kyai B sebagai penggantinya sebelum beliau wafat.

“Oke, aku manut!” Jawabku penuh keyakinan.

Pukul sembilan malam toko ditutup lebih awal. Kami pun melangkah meninggalkan desa menuju pemondokan. Suasana di masjid tempat mengaji lumayan ramai. Kami datang terlambat dan memberi uluk salam. Semua orang membalasnya. Kami duduk di antara orang-orang. Suasananya sangat hening.

Hanya suara Kyai N yang berkibar memenuhi seisi masjid. Dari situ kami mendapat banyak wejangan terutama mengenai Allah. Kami seperti dua orang yang mengasingkan diri dari kehidupan duniawi. Aku mendengarkan dengan seksama dan pikiran melayang kemana-mana, bahkan Simbah seperti orang kesurupan.

Setiap mendengarkan ceramahnya tak terasa ia telah menghabiskan lima batang rokok. Tak banyak materi yang dibahas pada malam itu. Hanya saja aku tahu satu hal bahwa setiap orang memiliki tanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan terhadap Allah.

Malam itu telah kuambil tanggungjawab karena perasaan dadakan yang muncul dengan tiba-tiba. Telah kujanjikan, dan akan kulaksanakan dengan sebaik-baiknya sebagai seorang murid. Disebut murid adalah mereka yang melemparkan niatnya kepada Allah dan tidak membungkuk kepada selain Allah.

Mungkin ada benarnya dalam perjalanan kemarin sosok lelaki misterius di Kadiangu itu melarangku mampir, karena ternyata di sini ada suatu anugerah besar bakal kuterima. Apa itu? Ilmu.

Awal tasawud adalah ilmu, pertengahannya amal dan akhirnya anugerah. Dengan ilmu dapat menjagaku sedangkan kebodohan merupakan ilusi.

Dengan kejujuran telah kuterima sebuah amanah. Dengan silahturahmi berarti kebadiaan akan melekat dan memutuskannya berarti musibah. Kesabaran seseorang merupakan sebuah keberanian, kebohongan justru kelemahan diri.

Malam itu semua pengajian yang kuikuti berisi tentang Allah, selain Allah tidak ada. Dengan demikian maka segla sesuatu yang bukan Allah tidak terlepas dari kebingungan. Bukan kebingungan karena kemiripan akan tetapi kebingungan karena menyaksikan cahaya Sang Maha Mulia.

Dan selama Allah tidak mengubah penampakanNya maka orang tersebut akan terus terkuasai kemudian hilang dari segala sesuatu dan dari tingkatan kehidupan.

Di sini aku semakin yakin memaknai arti sesungguhnya dari kalimat tauhid. Kata kyaiku dulu kalimat tauhid merupakan kalimat penuh rahmat. Tergantung dari orang yang menafsirkannya. Kalimat Laa ilaaha illallaah mengandung arti bahwa Tiada Tuhan Yang Patut Disembah Selain Allah. Aku mengartikannya begini: Tuhan pada kata pertama ditujukan bagi benda-benda (barang) baru yang tampak (dhohir) maupun tidak tampak (batin). Dimana benda-benda itu diciptakan sebagai barang baru yang kemudian banyak dituhankan oleh manusia atau dengan catatan menjadi hijab bagi manusia itu sendiri.

Apakah benda baru itu? Bumi dan langit. Manusia. Malaikat. Setan. Surga dan neraka. Oleh karena itu banyak manusia yang tersesat oleh dirinya sendiri karena hijab tersebut.

Kalangan sufi bahkan memiliki penafsiran sendiri dalam menghaluskan arti kalimat tauhid menjadi begini: Tiada yang lain yang patut disembah selain Allah. Artinya yang lain itu tidak ada, dan jika ada yang lain–seperti barang-barang baru–maka Allah sama saja diduakan.

Kyai N dalam ngajinya menyebut orang-orang tersebut masuk dalam golongan Kufur. Bahkan merupakan kekafiran apabila yang menyaksikan tidak dapat melihat yang disaksikan. Melihat Al-Haq akan menghilangkan bentuk. Kemabukannya melebihi kemabukan akibat minuman.
Mengenai wujud (kemunculan) sendiri adalah kata yang dipakai dengan tiga makna.

Pertama, kemunculan pengetahuan yang menghancurkan pengetahuan lahir dan dengannya digapai penyingkapan Al-Haq. Kedua, kemunculan Al-Haq dengan perwujudan yang tidak dapat dideskripsikan. Dan yang ketiga adalah munculnya bentuk al-wujuud (Allah).

Oleh karena itu jika seorang hamba telah mencapai penyingkapan sempurna, mabuk kalbunya, merintih, dan linglung rohnya.
Kajian lain yang mulai kupahami, yakni mengenai keberadaan Allah. Aku pernah mendengar ada seorang kyai mengajar santri-santrinya dengan membuka kitab Alquran. Sang kyai membukanya secara acak di bagian tengah. Kemudian dia menjelaskan panjang lebar mengenai Allah. Dan sebelum ajalnya tiba, kyai tersebut masih saja memberikan wejangan terhadap santri-santrinya dengan halaman Alquran yang sama, yakni di tengah-tengah.

Seorang santri bertanya, “Ya, guruku, mengapa dari dulu kau mengajarkan kami tentang Alquran pada halaman yang itu-itu saja.

Sang guru menjawab, “Di dalam Alquran ini berisi tentang semua perintah dan larangan Allah. Di sini pula Allah menerangkan mengenai isi alam jagat hingga kiamat tiba. Dan manakala kiamat telah tiba, maka Alquran ini tiada gunanya lagi. Yang perlu kalian pahami dari isi Alquran adalah bahwa bila ada nama maka mustahil tak ada wujudnya. Bila Allah memiliki nama mustahil tidak ada wujudnya (Dzat). Jadi kenapa harus menunggu kiamat, sekarang pun kalian bisa mengetahui Allah. Dan bahwa semua kejadian di muka bumi ini, adanya surga dan neraka (akherat), setan dan malaikat, sedih bahagia, baik dan buruk, siksa dan pahala, pada hakekatnya ada pada hari ini. Tidak perlu menunggu esok.”

Kyai dari Pasuruan pernah pula memberi kami wejangan. Bahkan metode yang beliau terapkan sangat sufistik. Saat memberi pelajaran di belakangnya terdapat sebuah papan tulis. Dalam papan tersebut digoreskan kapur dengan bentuk bundar atau melingkar hampir menghabiskan seisi papan tulis. Kata beliau, kita ngaji gambar bulat ini.

Menurut santri-santri terdekatnya, beliau akan mengajarkan pada santri-santrinya mengenai bentuk bulat itu sampai ajal menjemput, bahkan sampai kiamat tiba. Kami memahaminya dengan serba kebingungan. Penalaran kami tidak sampai ke sana. Bagaimana bisa bulat?

Setelah itu dijelaskan oleh beliau, bahwa Allah tidak menempati ruang dan waktu. Bila Allah bertempat, berarti Allah itu ada sudutnya, bisa berbentuk segi empat atau segitiga. Maka, kalau mau tahu bentuknya Allah, bahwa Allah itu berbentuk bulat. Dia berada di mana-dimana.

Bumi dan langit, surga dan neraka, berada di dalam bulat itu. Dia bisa berada di hati manusia, di bawah bumi, di atas langit, di surga atau neraka. Oleh karena itu tidak ada satu pun ciptaan Allah yang kekal di dunia ini, termasuk akherat. Kalau ada yang menganggap bahwa akherat itu kekal, maka itu bukan akherat. Sebab akherat juga ciptaaan Allah. Yang kekal selamanya adalah Allah.

Malam itu, Kyai N juga menjelaskan mengenai Allah. Jika kau ingin dekat dengan Allah, maka jalan terdekat kepadaNya adalah mencintaiNya. Dan cinta kepadanya tidak akan jernih hingga hanya roh tanpa nafsu yang tersisa dari yang mencinta. Selama nafsu masih ada dalam roh maka dia akan mencinta karena Allah. Dan ketika nafsu tersebut hilang, datanglah cinta Ilahi yang sebenar-benarnya.

Waktu mengasoh tiba. Pengajian yang berlangsung selama tiga jam itu kemudian diakhiri. Para santri, demikian juga aku dan Simbah duduk di luar masjid sambil menikmati wedang kopi yang sudah disiapkan. Menginjak pukul dua belas pertemuan penuh barokah tersebut bubar. Kami pulang. Pukul tiga pagi aku baru tertidur, tapi hanya berselang dua jam setelah itu terbangun lagi karena kegelisahan sendiri.

Daripada dilamun pikiran tak menentu begini, lebih baik aku meneruskan perjalanan. Toh, aku sudah merasa bugar kembali. Kubangunkan Simbah, kukatakan kepadanya bahwa aku hendak meneruskan perjalanan. Kali ini tujuanku Malang sekaligus menjadi tujuan terakhir dari semua perjalanan ini.

Sebelumnya aku sudah berjanji kepada kekasihku, Kayla, setelah perjalanan ini selesai, aku berjanji bakal mampir ke Malang untuk menemuinya. Saat ini aku yakin kalau Nganjuk merupakan tujuan terakhirku. Di Nganjuk aku merasa telah mendapatkan semua kesimpulan dari perjalanan berkelilingku.@

noveltitik nadhir
Komentar (0)
Tambah Komentar